Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya
Novel Karya Athfah Dewi
Bab 6. Menikah?
__________
“Ayok, Dhira. Shalatnya mau dimulai.” Mbah Uti mencolek lenganku.
Aku pun tersadar, dan gegas menyusulnya ke dalam.
***
Satu bulan berlalu.
Hari ini aku ikut Mbah Uti ke pasar. Sebab, ada beberapa barang yang harus dibeli. Salah satunya adalah baju hamil.
Meski tidak merasakan sesuatu seperti perempuan hamil pada umumnya, tetapi aku merasa perutku semakin membesar.
Mbah Uti pernah berkata, jika aku ngidam atau menginginkan sesuatu, bisa bicara kepadanya. Atau, barangkali aku merasa mual atau tidak nyaman, bisa juga meminta bantuannya.
Hanya saja, aku tidak merasakan semua itu. Justru, aku merasa sehat-sehat saja. Makanya, terkadang aku masih berharap, kalau perut buncitku ini bukan karena sedang hamil.
Selama di sini, aku belum pernah memeriksakan diri ke dokter kandungan. Mbah Uti pernah mengajakku menemui bidan desa, tetapi aku menolak.
Sekarang, aku semakin terbiasa tinggal di rumah Mbah Uti. Aku merasa, ada seseorang yang memperhatikan. Tidak seperti tinggal di rumah Papa. Meski banyak orang, tetapi aku merasa kesepian.
Sepertinya, Papa benar-benar sudah tidak peduli denganku. Jangankan menengok ke sini, menanyakan kabarku saja, tidak pernah.
Saat ini, Arini dan ibunya yang munafik itu pasti sedang bersenang-senang. Menguasai perhatian Papa.
Lihat saja, suatu saat aku akan merebutnya kembali. Aku tidak rela, apa yang seharusnya milikku, mereka rampas begitu saja.
“Mbah, gak ada toko besar?” tanyaku begitu kami sampai di pasar.
“Harus ke kota. Jauh. Di sini saja, banyak juga toko. Kamu mau beli baju seperti apa?” tanyanya.
“Yang nyaman aja.”
“Ya, harus yang longgar. Jangan pakai baju ketat. Kaya sekarang ini. Itu, perut kamu keteken, kasihan bayinya.” Mbah Uti melirik perutku. “Di sini, yuk. Kita cari,” ajaknya sambil masuk sebuah toko.
Aku pun mengikutinya.
Mbah Uti langsung mencari baju-baju hamil. Dia sibuk memilihkannya untukku. Sambil terus menawar harga.
“Ini saja, ya, cukup?” tanyanya kepadaku.
“Cukup, Mbah.”
“Berapa semua?” Dia membuka dompetnya.
“Pakai uangku, Mbah.” Aku segera mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet.
Meski tidak banyak, Papa masih memberiku sejumlah uang. Memang, tidak sebesar yang dikirimkannya kepada Mbah Uti.
“Udah, uang mbah aja,” jawabnya sambil memberikan beberapa lembar uang kertas ke penjaga toko.
“Tapi, Mbah. Uang yang dikirim ke Mbah ‘kan itu buat makan. Nanti kurang.”
“Insya Allah enggak. Mbah ‘kan baru panen, jadi pengen jajanin kamu.”
“Nraktir, maksudnya?” Aku melirik perempuan tua yang semakin hari semakin kurasakan ketulusannya.
“Ya, begitulah,” jawabnya sambil tersenyum.
“Makasih, ya, Mbah.” Kupeluk tubuh rentanya dengan segenap perasaan.
“Sama-sama. Lagian, ini cuma baju murah. Kamu bisa beli lebih mahal dan banyak.”
“Murah mahal itu udah gak penting lagi, Mbah. Yang penting Mbah tulus ngasihnya ke aku.”
“Pasti tulus, dong. Kamu ada-ada saja.” Mbah Uti terkekeh sambil menerima kembalian dari penjaga toko, lalu mengucapkan terima kasih.
Pulang dari pasar, kami membongkar belanjaan. Mbah Uti membeli buah, camilan, dan keperluan dapur. Selain itu, dia pun selalu membelikanku susu hamil meski aku selalu menolak meminumnya.
“Kamu harus jaga bayi ini dengan baik. Karena dia titipan dari Allah. Terlepas dari bagaimana caranya dia hadir di rahimmu.”
“Mbah tahu kalau kehamilanku ini ….” Aku melirik kepadanya.
“Tahu. Mbah tahu semuanya,” selanya.
Aku cukup terkejut mendengar hal itu, jika ternyata Mbah Uti tahu kondisiku yang sebenarnya.
“Terus, kenapa Mbah masih mau nerima aku? Kenapa Mbah juga gak bilang yang sebenarnya kepada ibu-ibu di bazaar waktu itu?”
“Karena kamu gak salah. Anakmu apalagi. Gak ada alasan mbah buat gak nerima kamu,” jawabnya.
“Mbah percaya sama ceritaku?”
Mbah Uti mengangguk.
Membuat rasa haru seketika menyelinap ke sela-sela hati. “Bahkan papa aja gak percaya, Mbah,” lirihku.
“Mbah percaya kamu gadis yang baik. Gak mungkin melakukan itu dengan sengaja.”
Mendengar itu, tangisku pecah. Aku merasa bahagia, ternyata ada yang percaya kepadaku seratus persen. “Kenapa Mbah percaya sama aku, padahal kita baru ketemu?”
“Karena mbah sudah mengenal kamu.”
“Kenal dari mana?”
“Dari Rossi.”
“Dari istri papa?” tanyaku tidak mengerti. Rasanya sesuatu yang mustahil dia mengatakan yang baik-baik tentang aku.
“Itu juga alasannya, kenapa Mbah nutupi semuanya dari warga di sini. Terus, tidak semua yang kita alami orang lain harus tahu. Apalagi, sesuatu yang bisa menimbulkam salah paham. Jadi, mending kita simpen saja tentang ini dalam-dalam, selama Allah pun masih menutupinya.”
“Terima kasih, ya, Mbah,” ucapku sambil memeluknya. “Padahal, aku udah jutek sama Mbah dari awal. Tapi, Mbah selalu baik sama aku.”
“Mbah ngerti, jadi Mbah maklum.”
“Iya, Mbah. Aku pikir, karena Mbah ini ibu dari istri baru Papa, pasti bakal benci sama aku kaya dia.”
Mbah Uti melepaskan pelukanku. “Tidak ada yang benci sama kamu. Termasuk Rossi.”
“Dia benci sama aku, Mbah. So baik di depan papa dan selalu ngelarang aku begini-begitu. Tapi, ngerti sih … semua ibu tiri itu memang jahat.”
“Gak semua … dan gak boleh kita menyamaratakan. Karena, gak semua orang itu sama.”
“Ya … mungkin juga. Tapi, istri Papa ini termasuk yang jahat.”
“Kamu gak mengenalnya saja, atau kamu yang menutup diri darinya.”
“Maksudnya?” Aku menatap Mbah Uti.
“Sama seperti sama mbah. Awalnya, kamu gak mau ngomong, kan? Selalu curiga dan berprasangka buruk. Tapi, sekarang kenapa kamu berubah sama mbah?”
“Karena Mbah baik.”
“Karena kamu membuka hati kamu sendiri untuk melihat apa yang sebenarnya. Gak menutupinya dengan prasangka buruk.”
“Tetep aja, Mbah. Aku gak nemu, tuh, apa kebaikan ibu tiriku itu. Maaf, lho, ya, Mbah … meski dia saudara Mbah. Aku gak akan bisa nerima dia gitu aja. Bahkan, selamanya aku gak akan pernah bisa nerima dia,” geramku.
“Ya sudah … jangan dipikirkan. Ibu hamil itu, gak boleh stres.” Mbah Uti mengusap punggungku
“Eh, iya. Mbah ini, bukan ibunya Rossi. Tapi, adik neneknya Rossi. Adik paling kecil. Makanya, hampir seusia dengan ibunya Rossi, ponakan Mbah.”
“Jadi?” Aku menatapnya agak bingung.
“Mbah ini bisa disebut neneknya Rossi dan buyutnya Arini. Makanya mereka manggilnya mbah.”
“Oh, ya … aku ngerti.” Aku manggut-manggut.
“Sejak remaja, Rossi tinggal bersama mbah. Makanya, dia dekat sekali sama mbah.”
“Anak-anak Mbah, di mana sekarang?”
Mbah Uti menggeleng dengan mimik wajahnya yang terlihat sedih seketika.
“Maaf, Mbah. Aku gak bermaksud ….”
“Iya, gak apa-apa.” Mbah Uti mengusap pundakku. “Rahman mau ke sini, suruh tunggu mbah mau ke kamar mandi dulu.”
Rahman mau ke sini? Aku cepat-cepat merapikan rambut.
Sudah beberapa kali aku melihat Rahman dengan penampilan berbeda. Tidak kucel dengan pakaian lusuhnya. Melainkan berpenampilan bersih, rapi dan wangi.
Sungguh, aku tidak menyangka, dia mempunyai sisi lain yang sangat menarik. Apalagi, sekarang sikapnya kepadaku jadi lebih baik.
Namun, sejujurnya aku lebih suka sikap Rahman yang dulu. Meski kata-katanya menyebalkan, tetapi rasanya kami lebih akrab. Dibanding sekarang, sikap Rahman kepadaku menjadi lebih sopan dan tidak lagi suka meledek.
Entah kenapa dia jadi berubah seperti itu.
“Assalamu’alaikum,” ucap orang yang sedang kupikirkan itu.
Aku segera bangkit sambil menjawab salamnya. Lalu pergi ke pintu depan. Tampak Rahman sedang berdiri di sana.
“Mbak Dhira, mbah ada?” tanyanya.
“Ada. Tunggu sebentar katanya,” jawabku.
“Iya, Mbak,” jawab Rahman sambil duduk di kursi teras.
Beberapa saat aku berdiri di ambang pintu. Sebenarnya, aku masih ingin berbicara dengannya. Hanya saja, aku tidak memiliki bahan obrolan.
Dengan sudut mata, kuintip dia yang sedang mengipas-ngipaskan topi lusuhnya. Meski sedang berpakaian seperti itu, tetapi sekarang aku melihatnya berbeda.
Secara fisik, dia cukup ganteng. Badannya tinggi dan tegap. Kulit sawo matang, membuatnya terlihat semakin menarik. Hidung mancung, mata bulat dengan alis yang tebal.
Selain itu, dia juga soleh. Rajin shalat dan suara adzan-nya menyejukkan hati. Laki-laki itu juga pekerja keras.
Ahh … kenapa aku suka sekali sama dia? Seumur hidup, baru sekarang aku merasakan hal seperti ini kepada lawan jenis. Padahal, di kampus banyak pemuda kota, ganteng dan kaya yang suka mendekatiku. Namun, aku tidak pernah merasa tertarik kepada salah satunya.
Entah perasaan apa ini. Sebab, baru pertama aku memilikinya. Gara-gara waktu di masjid setelah bazaar itu. Aku melihatnya dengan rambut dan wajah yang basah karena air wudhu.
“Indhira.” Tiba-tiba Mbah Uti mencolek pundakku.
Aku terperanjat. “Ih, Mbah ngagetin aja.”
“Kenapa bengong di pintu. Ngalangin jalan ….”
“Eh, iya, Mbah. Maaf.” Aku pun menepi.
Mbah Uti dan Rahman lalu berbicara serius. Sepertinya, mereka sedang membahas pupuk untuk di kebun.
Aku mendengarkan mereka. Terdengar Rahman begitu lancar menerangkan sesuatu kepada Mbah Uti. Sedangkan Mbah Uti, sesekali bertanya kepadanya.
Sepertinya, Rahman sangat paham tentang pertanian. Mungkin, karena sejak kecil dia berada di desa ini.
Sayup-sayup, terdengar dering ponselku dari kamar. Gegas aku mengambilnya. Takutnya itu sesuatu yang penting. Sebab, sudah beberapa minggu ini tidak ada satu orang pun yang menghubungiku.
Ketika kutahu siapa yang menelepon, aku semakin merasa heran. Meski begitu, aku langsung menerimanya.
“Wa’alaikumussam,” jawabku ketika terdengar ucapan salam dari seberang sana. “Ada apa, Pa? Tumben inget, kalau aku belum mati.”
“Papa telepon kamu, bukan buat bertengkar. Tapi, buat ngasih tahu kalau besok papa mau ke sana.”
“Kalau mau ke sini, ke sini aja. Kenapa mesti bilang dulu sama aku?” tanyaku sambil bangkit dan berlalu ke halaman belakang. Karena di sana, signal-nya lebih bagus.
“Sebab, besok papa mau jemput kamu. Jadi, kamu siap-siap.”
“Jemput aku? Tapi, kenapa?” tanyaku senang sekaligus heran.
“Mau menikahkan kamu.”
“Nikah? Nikah sama siapa? Aku gak mau!” [Bersambung]
Comment