Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya (4)

Novel384 Views

 

Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya

Novel

Karya Athfah dewi

Bab 4. Diakah Pelakunya?

__________

“Hahaha ….” Aku tergelak melihat reaksi Dhimas. Dasar culun, mendengar begitu saja dia sudah terlihat ketakutan.

Dhimas memang orangnya lembut, hatinya gampang tersentuh dan penyayang. Dia juga sabar dan agak pendiam. Malah mungkin, untuk urusan perasaan, dia lebih sensitif dibanding aku.

Tawaku terhenti seketika, karena melihat Dhimas malah menunduk dan mengusap ujung matanya. Apakah dia menangis?

“Hey! Kamu kenapa? Nangis?” tanyaku sambil menunduk mengintip wajahnya.

Terlihat kedua matanya seperti basah. Dhimas benar-benar menangis.

“Cengeng amat, sih! Aku yang sedang sial. Kenapa kamu yang kaya gitu?” Aku memalingkan wajah. Mencoba menyembunyikan kedua mata yang mulai memanas.

“Aku minta maaf, Ra ….” Bisik Dhimas. “Aku yang nyebabin kamu jadi kaya gini.”

“Kenapa kamu jadi ngerasa bersalah? Apa yang menimpaku, itu bukan salah kamu.”

Kenapa jadi aku yang harus menenangkan dia? Seharusnya, dia yang menenangkanku. Saat ini, aku yang butuh dukungan.

“Coba malam itu, aku gak ke parkiran. Mungkin ….”

“Sudahlah, Dhim. Aku sedang kalut ini. Gak bisa ngasih kamu kata-kata bijak biar gak ngerasa bersalah. Jangan bikin aku tambah pusing ….”

“Maaf, Ra. Aku gak bermaksud.”

“Sudah. Kamu istirahat. Aku juga mo tidur. Kali aja, pas bangun semua ini ternyata hanya mimpi.” Aku bangkit dan meninggalkan Dhimas yang masih terduduk di kursi dengan lesu.

**

“Pokoknya, aku akan sering-sering ke sini buat jengukin kamu. Aku juga, akan sering-sering telepon kamu,” ucap Dhimas keesokan harinya.

Dia dan Pak Abas akan segera kembali ke Bekasi.

“Dan soal tawaranku, aku masih menunggu jawaban dari kamu. Pikirkan dengan baik. Mumpung kandungan kamu belum terlihat,” ucapnya lagi.

“Iya. Kamu hati-hati dan terima kasih,” ucapku dengan tenggorokan yang terasa tercekat. “Aku pasti kangen banget sama kamu, Dhim.”

“Makanya, ayok ikut balik. Dan terima tawaranku.” Dhimas menatapku penuh harap.

Aku menggeleng. “Cepat pergi, sana! Pak Abas udah nungguin itu.”

“Kamu baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, kabari aku.” Dhimas masih menatapku. Sekarang, dari sorot matanya, terlihat rasa khawatir yang begitu dalam.

Aku mengangguk. Berusaha meyakinkannya, kalau aku akan baik-baik saja.

“Mbah, saya permisi. Titip Dhira, ya, Mbah.” Sahabatku itu melirik Mbah Uti dan menyalaminya.

“Tenang saja, Mas Dhimas. Mbah akan menjaga Dhira dengan baik.”

Perlahan, mobil yang mereka tumpangi menjauh. Sama persis dengan harapanku yang semakin terlihat samar.

Aku harus terdampar di tempat asing ini. Kota Brebes kalau kata Pak Abas kemarin. Bersama perempuan tua yang sama sekali tidak kukenal. Mungkin saja, dia akan menyiksaku seperti di film-film. Sebab, Mbah Uti ini adalah ibu dari ibu tiriku.

Pasti, perempuan perebut Papa itu sudah banyak cerita tentang aku. Menitipkan rasa bencinya kepadaku.

“Hayu masuk Dhira, di luar dingin. Mbah bikinin sarapan buat kamu.” ucap Mbah Uti.

Aku melirik ke arahnya. Kenapa dari nada bicaranya dia tidak berubah? Padahal, Pak Abas dan Dhimas sudah tidak ada di sini. Ah, mungkin karena ini di luar rumah. Dia khawatir, ada tetangga yang mendengar.

Karena udaranya memang terasa sangat dingin, aku pun terpaksa mengikuti Mbah Uti masuk rumah.

Aku duduk di kursi di ruang tengah. Kaki aku angkat ke atas, karena terlalu dingin jika harus menyentuh ubin. Bahkan tubuhku saja hampir menggigil di buatnya.

“Kamu gak bawa baju hangat?” tanya Mbah Uti tiba-tiba.

Aku menggeleng. Karena di Bekasi hawanya panas, aku hampir tidak memiliki baju hangat.

“Ini pakai punya Mbah. Tidak bagus, tapi bersih dan bisa bikin tubuh kamu hangat.” Perempuan yang kulitnya sudah keriput itu memberikan sebuah baju tebal berwarna abu-abu.

Aku tidak langsung menerimanya. Karena, masih merasa tidak percaya kalau dia masih bersikap baik.

“Ini wangi, kok.” Diciumnya baju itu. “Dari lemari, dan sudah dicuci.”

Perlahan, aku mengulurkan tangan menerimanya.

“Kamu di sini saja. Mbah gak lama,” ucapnya, kemudian berlalu ke dapur.

Semalam pun, sebenarnya aku agak kesulitan untuk tidur. Meski di rumah selalu pakai AC, tetapi suhu udara di sini benar-benar dingin dan rasanya menusuk tulang.

Apalagi waktu Subuh. Tadinya, aku tidak mau mengambil air wudhu. Namun, Mbah terus memaksa dan itu membuatku merasa risih.

“Indhira, sini sarapan,” ajak Mbah Uti dari meja makan yang masih terletak di ruangan ini.

Aku tidak langsung beranjak, tetapi hanya meliriknya saja.

“Mau makan di sana? Mbah bawain, ya?”

“Gak usah,” jawabku, lalu bergegas turun dan menghampirinya.

“Mbah bikin tempe mendoan. Kamu suka?” tanyanya.

“Gak,” jawabku.

“Terus, kamu mau apa? Mbah gak bikin apa-apa lagi.” Dia tampak kebingungan.

Kenapa aku jadi merasa seperti orang jahat memperlakukannya seperti itu? Apa aku salah menilai Mbah Uti ini?

Namun, dia itu mbahnya si Arini. Pasti jahat juga seperti dia dan ibunya. Aku, harus bisa membela diri.

“Ya udah, gak apa-apa ini,” jawabku akhirnya.

“Icip dulu, ya. Siapa tahu suka. Terus, kamu bilang sama mbah, makanan apa saja yang kamu suka dan tidak. Jadi, Mbah gak ngasih kamu makanan yang salah,” ucapnya sambil mengambilkanku makanan.

Kenapa begini? Mbah Uti ternyata sangat baik kepadaku. Apa dia ada maksud? Atau, sedang menyusun rencana jahat untukku?

Tidak mungkin kalau istri Papa meminta Mbah Uti untuk memperlakukanku dengan baik. Bahkan, aku sangat yakin sekali, kalau semua ini rencana mereka. Mereka ingin menjauhkanku dari Papa.

Aku harus tetap waspada. Siapa tahu nenek-nenek ini seorang psikopat, kan? Iihh … aku jadi merinding.

“Kamu jangan sungkan sama mbah. Anggap mbah kaya nenek buyut kamu. Mbah juga nganggap kamu cucu buyut, sama kaya ke Arini ….”

Nah, kan, ada yang ganjil? Kalau Mbah Uti nenek buyut si Arini, kenapa terlihat masih muda?

Istri Papa itu berusia sekitar empat puluh lima tahun. Kalau orang tuanya menikah di usia dua puluh tahun, saja. Berarti, sekarang sudah sekitar enam puluh enam tahun. Pas dengan usia si Mbah.

Namun, kenapa dia mengaku sebagai mbah buyut si Arini?

Apa sebenarnya, Mbah Uti ini bukan keluarga si Arini? Lalu, dia lupa apa yang sudah dikatakan istri Papa, untuk mengaku sebagai nenek Arini.

Ya, sepertinya begitu.

“Indhira, ayok dimakan. Keburu dingin nanti gak enak.”

Aku melirik ke arahnya. “Boleh tukeran, gak?” tanyaku.

“Oh, boleh.” Mbah Uti mengangguk. Dengan mimik bingung, dia menukar piring jatah kami.

Aku tidak langsung memakan makanannya, tetapi memperhatikan Mbah Uti yang tampak tidak ragu, langsung menyantap makanan itu.

Aku pun, kemudian dengan perlahan mulai mencicipinya. Ternyata enak, dan aku menghabiskannya.

Entah kenapa, akhir-akhir ini makanku bertambah banyak saja.

Selesai makan, Mbah Uti membereskan semua bekas kami makan. Sedangkan aku, disuruhnya duduk-duduk saja.

“Jam sepuluh, mbah mau ke pasar. Kamu mau ikut? Biar tahu lingkungan di sini dan kenal sama tetangga-tetangga.”

Aku menggeleng.

“Kalau gitu, kamu mau nitip beli apa?”

“Gak ada,” jawabku singkat.

“Indhira, boleh mbah ngomong?” tanyanya lagi sambil mendekat.

Aku tidak berreaksi. Untuk apa dia meminta izin? Bukankah sejak tadi juga dia sudah ngomong?

“Kamu jangan takut sama mbah. Mbah gak ada niat jahat sedikit pun,” ucapnya. “Ketika mbah denger tentang kamu dari Rossi, mbah bilang tinggal di sini saja. Sekalian biar mbah ada teman.”

Aku masih tidak berreaksi.

“Ya sudah, kalau tidak mau nitip apa-apa.” Mbah Uti berdiri, lalu beranjak ke belakang.

Sedangkan aku masuk kamar dan memeriksa ponsel.

Tidak ada satupun pesan dari Papa. Apakah dia benar-benar sudah tidak peduli lagi denganku?

Ah, aku lupa. Saat ini mereka pasti sedang berpesta dan Papa sudah diracuni berbagai pengaruh buruk oleh Rossi dan Arini.

Mereka sedang tertawa karena kemenangannya yang sudah berhasil menyingkirkan aku. Lihat saja, setelah semua ini berakhir, aku akan kembali dan membuat perhitungan.

Ya, sepertinya itu akan jadi tujuanku sekarang, membalas ibu dan saudara tiri dan mencari siapa b******n yang sudah melengkapi penderitaanku ini.

Tiba-tiba ponselku berdering, apakah itu Papa? Gegas aku memeriksanya. Namun, ternyata bukan.

Nomor Dhimas yang memanggilku dan aku pun mengangkatnya. “Apa Dhim?” tanyaku malas.

“Barusan Yudi telepon aku, nanyain kamu,” jawabnya.

“Terus?”

“Ya, dia nanyain kamu. Kenapa ponsel kamu gak aktif.”

Kemarin aku memang mengganti nomor ponsel. Nomor baru itu, hanya diketahui Papa dan Dhimas.

“Kamu jawab apa?”

“Pura-pura gak tahu.”

“Ya udah. Jawab aja gitu.”

“Tapi, Ra. Sepertinya dia penasaran sekali sama kamu. Sebenarnya, kalian ada hubungan apa?”

“Hubungan apa, gimana maksudnya? Ya, kami cuma teman biasa aja.”

“Tapi, dia kedengarannya panik gitu.”

“Panik karena apa?”

“Karena kamu tiba-tiba ngilang. Kalian beneran gak ada hubungan apa-apa?”

Mendengar ucapan Dhimas, aku jadi teringat sesuatu. Mungkinkah Yudi pelakunya? Dia adalah orang yang terjebak bersamaku di kampus waktu itu.

Ya, bisa jadi.

“Dhim, apa mungkin dia pelakunya?” tanyaku dengan gemetar.

“Pelaku apa?”

“Yang udah nyebabin aku kaya gini.”

“Kalian punya hubungan apa? Kalian pernah melakukan itu, Indira? Jawab!” Bentak Dhimas.

Hal itu membuatku terkejut bukan main. Kenapa Dhimas tiba-tiba marah sekeras itu? (Bersambung)

Comment