Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya (13)

Novel282 Views

 

Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya

Novel

Karya Athfah Dewi

Bab 13. Iri

___________

“Mbak Indhira, mari saya antar.” Ternyata Lela langsung menyusul.

“Gak usah, Mbak Lela,” jawabku sambil terus berusaha melangkah.

“Tapi, itu kakinya nanti tambah sakit.”

“Gak apa-apa,” jawabku.

“Mbak, ayolah … biar Lela yang anter.” Rahman pun menyusul. “Malu, lho dilihatin orang,” bisiknya.

Aku terdiam sejenak. Sepertinya iya, aku harus ke rumah Mbah Uti dulu. Untuk mengambil barang-barang dan uang. Nanti, aku bisa langsung pergi lagi. “Ya sudah.”

“Nah, gitu … bagus.” Rahman mengacungkan jempol tangannya.

Dengan dibantu Rahman, aku pun naik ke jok belakang sepeda motor Lela.

“Kami duluan, Mas,” pamit Lela kepada Rahman.

“Ya, hati-hati.”

“Iya, Mas. Assalamu’alaikum.”

Rahman menjawab salam Lela.

Sedangkan aku, tidak mengucapkan sepatah katapun kepada laki-laki itu.

Lela menjalankan sepeda motornya dengan perlahan. Sepertinya, dia benar-benar menuruti kata-kata Rahman untuk berhati-hati. Membuatku merasa kesal saja.

Sampai di rumah Mbah Uti, ternyata dia sudah menunggu di teras. Dengan tergopoh dia menghampiri kami. “Ya Allah … kamu hati-hati, Nduk ….”

Aku tidak bereaksi.

Mbah Uti dan Lela membantuku masuk rumah. Lalu, Lela pun pamit.

Mbah Uti pergi ke dapur, tidak lama membawa minum dan camilan. “Mau makan sekarang? Biar mbah bawakan.”

Aku menggeleng.

“Mbah kira tadi kamu pulang, tapi ternyata gak ada di sini. Mbah cari lagi ke kebun, kata orang-orang kamu jatuh ke pinggir sungai. Tadinya, mbah mau nyusul ke tempat urut, tapi Rahman telepon, katanya kamu sudah mau pulang,” terangnya.

“Mbah minta maaf, kalau kata-kata mbah tadi, bikin kamu sakit hati. Tapi, mbah gak ada maksud belain siapapun.”

Mendengar itu, aku hanya terdiam.

“Kamu jangan kemana-mana. Jangan pergi tanpa tujuan. Kecuali kalau mau pulang ke Bekasi. Itupun, harus papamu yang jemput.”

Aku masih terdiam.

“Assalamu’alaikum,” ucap Rahman tiba-tiba. Entah sejak kapan dia berdiri di ambang pintu yang masih terbuka.

“Wa’alaikumussalam, Man. Makasih, ya, sudah bantu Indhira.”

“Iya, Mbah. Sama-sama,” jawabnya. “Ini nganterin obat buat Mbak Indhira. Tadi ketinggalan. Dioles-oles saja ke pergelangan yang terkilirnya.” Dia memberikan sebuah botol kecil kepada Mbah Uti.

“Oh, iya.” Mbah Uti menerimanya. “Sebentar, mbah bawakan dulu minum
Sepertinya kamu kecapean banget,” ucap Mbah sambil bangkit.

“Mbak lihat. Mbah Uti itu sudah sepuh. Tapi beliau mau minta maaf sama Mbak. Padahal, belum tentu beliau yang salah. Coba, lunakkan hatinya. Dan buang semua prasangka buruk itu. Sebab, yang rugi itu Mbak sendiri. Saya minta maaf kalau lancang. Tapi, saya gak mau kalau Mbak salah dalam bersikap,” ucap Rahman sepeninggalan Mbah Uti.

“Udah tahu lancang, masih diucapkan,” jawabku sinis.

“Terus terang, Mbak. Saya gak mau mbak kenapa-napa.”

“Kenapa?” Aku melirik Rahman yang tampak gugup seketika.

“Euh … karena, Mbak ini cucunya Mbah Uti. Dan saya sudah sudah menganggap Mbah Uti sebagai nenek sendiri.”

Aku memalingkan muka. “Jangan ngasih perhatian berlebihan sama perempuan lain. Sementara kamu sudah ada calon pendamping.”

“Apa? Siapa?”

“Lela. Pura-pura.” Aku mencebik.

“Hahaha ….” Rahman malah terbahak-bahak.

“Kenapa ini? Kalian kelihatannya senang sekali,” ucap Mbah Uti tiba-tiba.

“Ini, Mbah.” Rahman langsung menghentikan tawanya. “Katanya, Mbak Indhira mau minta maaf sama Mbah karena sudah berburuk sangka. Dia menyesal sudah marah sama Mbah,” ucap Rahman di luar dugaan.

Aku melirik Mbah Uti. Namun, belum sempat meralat ucapan Rahman, Mbah Uti sudah berkata duluan. “Gak apa-apa. Mbah mengerti. Yang penting, Indhira bahagia. Mbah ikut bahagia.”

“Nah, kan? Apa saya bilang tadi? Mbah ini baik banget. Pasti maafin Mbak.” Rahman melirikku.

Aku jadi urung menyangkalnya. Apalagi, ketika melihat wajah lelah Mbah Uti tetapi dengan senyuman yang terlihat begitu tulus.

Apa yang dikatakan Rahman itu benar, bahwa aku yang sudah salah menyimpulkan semuanya?

Kutatap kembali Mbah Uti yang sedang tersenyum. Dia mengambilkan minum, lalu menyodorkan camilan. Ada perasaan bersalah, karena tadi sudah menuduhnya yang bukan-bukan.

Namun, untuk meminta maaf kepadanya secara langsung, rasanya lidahku masih kelu.

**

Keesokan harinya, tiba-tiba Papa, istrinya dan Arini datang. Mereka tampak cemas dan bergegas menghampiriku di kamar.

Papa memelukku sambil bertanya tentang kondisiku.

“Gak apa-apa, Pa. Cuma terkilir sedikit.”

“Kamu hati-hati makanya. Jangan bikin kami cemas.” Papa melepaskan pelukannya.

“Makanya, Kak. Jangan tinggal di sini. Sebab di sini tuh, masih kampung. Jalanannya tanah terus licin. Kakak ikut pulang sama kita, ya?” Arini pun mendekat dan memelukku.

Aku segera menepisnya.

“Aku kesepian, tahu … gak ada Kakak.”

“Apa? Gak ada temen berantem?” tanyaku.

“Hihihi … iya,” jawabnya. “Eh, tapi beneran, lho. Aku kangen banget sama Kakak.”

“Jijik!” Aku memalingkan muka.

“Kak, aku mau minta maaf sama Kakak.”

“Jangan sandiwara, deh. Gue tahu elo!”

“Kalian ngobrol dulu, ya. Papa sama mama mau ngobrol juga sama Mbah.” Papa bangkit dan diikuti istrinya. Mereka keluar kamarku.

“Kak. Aku beneran nyesel karena selama ini selalu bikin Kakak marah. Tapi, semua itu ada alasannya.”

Aku memalingkan muka. Merasa enggan mendengar ocehannya, tetapi tidak bisa menghindar.

“Aku kaya gitu, karena aku iri sama Kakak. Punya papa yang sangat banget. Sedangkan aku ….” Arini menunduk. Wajahnya terlihat murung.

“Papaku meninggalkan aku dan mama begitu saja, bahkan di saat aku masih dalam kandungan. Dia pergi bersama perempuan lain. Belasan tahun, aku tidak tahu bagaimana rasanya disayangi seorang papa. Ketika mama menikah dengan papanya Kakak. Aku baru tahu, ternyata sebahagia itu disayangi seorang papa. Tapi, aku iri. Sebab, papa lebih sayang sama kakak. Makanya, aku selalu berusaha supaya kasih sayang papa cuma buat aku …,” terang Arini dengan wajah sendunya.

“Gue gak bakalan ketipu sama elu!” ucapku sambil berusaha turun dari tempat tidur.

“Ini beneran, Kak. Tapi, sekarang aku sudah sadar. Kalau hal itu wajar. Papa lebih sayang sama Kakak, karena Kakak anak kandungnya. Aku hanya anak tiri.”

Aku tidak memedulikannya.

“Sekarang Kakak belum percaya, gak apa-apa. Tapi, aku minta maaf untuk semua perbuatanku yang bikin Kakak kesal dan marah. Aku ingin, kita jadi saudara beneran dan berbagi kasih sayang mama dan papa kita.”

Dengan tertatih, aku berusaha berjalan menuju pintu.

“Selain itu, aku juga iri sama kedekatan Kakak dan Kak Dhimas.”

Mendengar nama itu disebut, aku menghentikan langkah.

“Aku suka sama Kak Dhimas. Tapi, dia malah milih Kakak.”

“Maksudnya?” Aku membalikkan tubuh.

“Kak Dhimas cinta sama Kakak. Tapi, mungkin Kakak gak tahu itu.”

Aku terdiam. B******n itu menyukaiku? Rasanya tidak mungkin.

“Kak Dhimas pernah bilang sama aku. Dia cinta mati sama Kakak. Tapi, Kakak sulit sekali menyadari perasaannya itu. Padahal, dia sudah berusaha menunjukkannya.”

Aku baru ingat, beberapa kali Dhimas memang menunjukkan gelagat aneh. Dia menatapku dengan tatapan yang tidak biasa. Bahkan, dia pernah bilang kalau sangat menyayangiku. Aku pikir, sayang sebagai seorang sahabat.

Bahkan, dia juga pernah berkata kalau ingin hidup bersamaku selamanya. Aku pikir, hidup berdampingan sebagai seorang sahabat.

“Aku cemburu sama kalian. Tapi, itu dulu. Setelah sekarang, ternyata dia kurang ajar sama Kakak. Aku jadi membencinya setengah mati. Kalau ketemu, pasti kuhajar juga dia, Kak.”

“Elu gak bohong?” tanyaku dengan suara gemetar.

“Enggak. Ini beneran. Tapi, Kakak gak usah khawatir, menurut berita yang aku dengar, dia sudah dipindahkan ke kampung ibunya di ujung Indonesia. Gak mungkin balik lagi ke sini. Ayahnya juga udah pindah, semua keluarganya pindah setelah kejadian itu.”

‘Dhimas … aku gak akan pernah merasa tenang kalau belum melihatmu di neraka!’

“Kak, lupakan b******n itu. Nanti juga Kakak bakal ketemu laki-laki yang baik. Dan kalau itu terjadi aku gak bakal ikut jatuh cinta lagi. Pokoknya, aku janji, kita gak bakal suka sama orang yang sama.”

“Dih, lagian yang suka sama si b******n itu cuma elu. Gue mah enggak.”

“Iya … tapi, Kakak maafin aku, kan?”

“Enggak!” jawabku sambil berusaha melangkah lagi.

Tiba-tiba, Arini mendekat dan memegang lenganku. Dia membantuku berjalan keluar kamar.

Bersambung (Insya Allah)

Comment