Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya
Novel
Karya Athfah Dewi
Bab 12. Perasaan Saja Tak Cukup
__________
“Apa?” Rahman melirikku tidak mengerti.
“Aku pengen ke atas, tapi kakiku sakit. Gimana ini?” Aku tidak menghiraukan pertanyaannya. Sebab, aku baru sadar, kenapa juga harus mengatakan kalimat sinis itu?
Rahman tampak berpikir, lalu melirik ke atas karena orang-orang di sana terus saja berteriak. “Mbak Indhira jatuh dan sekarang kakinya terkilir. Ada yang bisa bantu dia naik ke atas?” tanyanya sambil berteriak juga.
“Kenapa gak kamu saja yang bantu aku?” tanyaku kesal. Apa masalahnya jika dia sendiri yang melakukan itu?
“Karena sekarang ada orang lain yang bisa bantu Mbak, jadi biar dia saja yang melakukannya,” jawabnya.
“Memangnya kamu gak bisa bantu aku naik ke atas?”
“Kita bukan makhram.”
“Bukan makhram, bukan makhram. Dari tadi dia sendiri yang ikut jatuh ke sini,” ucapku masih dengan nada kesal.
“Kalau tadi, di sini hanya ada saya. Kalau sekarang, lihat. Banyak ibu-ibu yang bisa bantu Mbak.”
“Emang, mereka bisa?”
“Insya Allah bisa.”
Aku melihat ke atas. Ada dua orang ibu-ibu dengan pakaian lusuh dan kotor sedang berusaha turun. Sepertinya mereka sedang bekerja di kebun.
Setelan kedua ibu-ibu sampai di bawah, Rahman memberi tahunya kakiku yang mana yang cedera.
“Ayok, Mbak. Kami bantu naik ke atas,” ucap salah satunya sambil membantuku berdiri.
Dia mengikatkan kain panjang ke tubuhku dan tubuhnya. “Untuk jaga-jaga,” ucapnya.
Aku pun tidak bisa menolak. Hanya menuruti apa yang mereka katakan.
Aku diapit oleh mereka, dengan perlahan kedua orang itu membantuku naik. Meski sulit dengan kaki yang semakin terasa nyeri, akhirnya kami sampai di atas.
Aku langsung terduduk sambil meringis.
“Bikin tandu, kita bawa ke tempat urut,” ucap si Ibu.
“Pakai ini saja.” Seorang bapak-bapak memberikan kain sarung yang dia dililitkan di pinggangnya.
“Ayok. Ini ada kayu. Sepertinya kuat,” ucap Rahman.
Mereka memasukkanku ke dalam sarung itu, lalu, aku disuruh tiduran dan mencari posisi yang nyaman.
“Mas, apa gak ada cara lain?” tanyaku kepada Rahman yang sedang menyiapkan kayu.
“Gak ada, Mbak.”
“Tapi, ini sarungnya bau banget. Aku rasanya pengen muntah,” bisikku.
“Tahan saja, sampai kita di tempat urut.”
“Gak bisa kamu gendong saja? Aku gak berat, kok.”
Rahman melirik, lalu menatapku dengan sorot mata yang seolah ingin menembus jantung. “Oke. Tapi, gak sekarang. Nanti, tunggu saja saatnya,” ucapnya.
“Eh, apa?” tanyaku tidak mengerti.
Rahman bukannya menjawab pertanyaanku, tetapi dia malah berdiri. “Ayok, Mas. Kita mulai jalan.”
Aku mendengkus kesal. Selain bau dari kain sarung yang sepertinya hampir memenuhi rongga dadaku, aku pun merasakan kaki yang terus berdenyut nyeri.
“Mas Rahman, saya pergi duluan, ya?” tanya seorang perempuan. Suaranya terdengar sangat lembut.
“Iya, La. Tapi, nanti kamu nyusul, ya? Mas butuh bantuan kamu,” jawab Rahman.
Itu pasti pacar Rahman yang tadi.
“Kami juga mau kembali ke ladang. Kalian bisa berdua saja, kan?” tanya seseorang.
“Bisa Pakde. Terima kasih bantuannya, ya, semua …,” jawab Rahman.
Tidak lama, terdengar langkah orang-orang yang menjauh.
“Kita berangkat sekarang, Mbak. Kalau gak nyaman, bilang. Kita perbaiki posisinya,” ucap Rahman.
Aku hanya mencebik. Dari tadi aku sudah bilang, kalau sarungnya bau dan sangat membuatku tidak nyaman. Namun, dia tidak peduli.
Kami mulai berjalan. Aku hanya bisa pasrah. Entah mereka mau membawaku kemana.
“Masih jauh, gak, Mas?” tanyaku setelah beberapa saat.
“Bentar lagi,” jawab Rahman.
Namun, setelah lama berjalan pun, kami belum sampai juga. Sedangkan mereka tetap menjawab sebentar lagi.
Kepalaku sudah teramat pusing. Rasanya, aku hampir pingsan menahan bau dan nyeri di pergelangan kaki.
“Lama banget, sih? Aku udah gak kuat ini …,” ucapku.
“Alhamdulillah, sudah sampai, Mbak!” jawab orang yang membantu Rahman menggotongku.
Aku pun diturunkan di sebuah bale depan rumah seseorang.
Rahman menyingkap kain sarungnya.
“Aku pengen muntah,” ucapku sambil menutupi mulut.
“Sabar ….” Rahman membantu menyingkirkan kain sarung itu.
“Man, saya mau ke ladang lagi, ya?”
“Iya, Mas. Terima kasih sudah bantu kami,” jawab Rahman.
“Iya, sama-sama. Mari, Mbak.” Laki-laki yang pakaiannya terlihat kotor itu mengangguk kepadaku.
“Iya, Mas. Terima kasih,” ucapku.
Sepeninggalan laki-laki itu, Rahman mengetuk pintu rumah yang sepertinya milik tukang urut yang dimaksud. Namun, tidak ada yang menjawabnya.
“Pergi sepertinya,” gumam Rahman.
“Terus gimana?” tanyaku.
“Kita tunggu,” jawabnya sambil merogoh kantong celananya. Rahman mengeluarkan ponsel. “Mbah Uti belum tahu, kan?”
“Kamu mau ngasih tahu Mbah Uti? Jangan!” seruku.
“Kenapa? Kasihan Mbah, pasti sekarang sedang bingung karena Mbak belum pulang.”
“Pokoknya jangan!”
“Lho, terus?”
“Gak ada terus. Pokoknya jangan kasih tahu Mbah Uti. Lagian, aku udah gak tinggal lagi di sana.”
“Gak tinggal di rumah Mbah Uti lagi?” Rahman menatapku. “Terus, Mbak tinggal di mana?”
Aku menggeleng.
“Ini pasti ada yang lagi ngambek sama mbah. Padahal, mbah itu orangnya baik sekali. Tapi, masiiih … saja ada yang kaya gitu,” gumam Rahman lagi.
“Maksudnya apa? Ngomong aja langsung,” ucapku. “Lagian, kalau gak tahu masalahnya apa, jangan ikut berkomentar, deh!”
Rahman hanya terkekeh. Dia seperti mengejekku.
“Jadi orang jangan nyebelin! Kalau mau mengejek, lebih baik kamu juga pergi, sana!”
“Baik.” Rahman berdiri. “Kalau ada apa-apa, saya gak bertanggung jawab,” ucapnya sambil mengedarkan pandangan.
Aku pun mengikutinya. Tampak sekeliling tempat ini hanya kebun. Tidak ada tetangga sama sekali. Seketika aku merinding.
“Ya kamu harus bertanggung jawablah, kan kamu yang ninggalin aku di sini sendiri,” ucapku.
Rahman terkekeh lagi. “Mbak … makanya, sama orang lain tuh, jangan asal menuduh. Sebab kita ini hidup butuh orang lain. Gak bisa sendiri.”
“Ya, tapi … orang-orang sekitarku tuh gak ada yang tulus. Semuanya benci sama aku.”
“Kata siapa?”
“Kata aku.”
“Tapi, yang saya lihat Mbah Uti itu sayang banget sama Mbak.”
“Itu cuma dilihat di luar. Aslinya, Mbah Uti benci sama aku.”
“Kalau benci, kenapa selama ini mbah begitu sayang dan perhatian sama Mbak?’
“Ya gak tahu. Tapi, kenyatannya Mbah Uti belain istri papaku yang jelas-jelas udah merebut papa dari aku dan mama.”
“Saya kurang paham kalau masalah itu. Tapi, mbak jangan hanya menuruti perasaan saja. Sebab, perasaan saja tidak akan membawa kita kepada kebenaran, Mbak ….”
“Maksudnya?” Aku melirik laki-laki berhidung mancung itu.
“Kenapa dia?” tanya seorang perempuan tiba-tiba. Dia sepertinya berusia sekitar enam puluh tahunan.
“Terkilir, Mbah,” jawab Rahman sambil bangkit.
“Oalah … di mana?” tanyanya sambil mendekatiku.
“Di dekat sungai. Dia jatuh.”
“Ngapain ke sungai?” Perempuan yang dipanggil Mbah oleh Rahman itu menatapku.
“Cuma main saja,” jawabku.
“Main kok, di pinggir sungai,” ucapnya sambil masuk rumah. Rumah yang mungkin lebih cocok disebut gubuk.
“Saya pergi dulu, ya? Mbak bisa sendiri, kan?” tanya Rahman.
“Jangan. Temenin aku dulu.”
“Tadi nyuruh pergi ….” Rahman terkekeh.
“Tadi ya tadi, sekarang ya sekarang,” jawabku dengan pipi yang rasanya menghangat.
Tidak lama, mbah itu pun keluar dengan sesuatu di tangannya. Lalu, dituangkannya cairan dalam botol ke piring kecil. Bibirnya komat-kamit seperti membaca mantra.
Aku melirik Rahman. Sebab, merasa tidak yakin dengan metode pengobatan yang akan dilakukan si Mbah.
Seolah mengerti, Rahman mengangguk. Dia seperti meyakinkanku kalau semuanya akan baik-baik saja. Entah kenapa, hatiku pun terasa lebih tenang.
Si Mbah mulai mengurut kakiku. Aku meringis.
“Tahan ya, Nduk. Gak lama, kok. Lagian ini gak parah. Sebentar juga selesai dan kamu akan sembuh,” ucapnya. Lalu, kemudian dia berkomat-kamit lagi.
Setelah kudengarkan dengan teliti, ternyata si Mbah sedang berdzikir. Tadi pun, sepertinya bukan mantra aneh yang dia lafalkan, melainkan dzikir juga.
Aku terus meringis, menahan rasa sakit di pergelangan kaki. Sesekali mengaduh ketika terasa lebih sakit.
“Pelan-pelan, Mbah,” ucap Rahman.
“Ini udah pelan,” jawab si Mbah.
Aku melirik Rahman yang sedang memperhatikan si Mbah. Dari raut wajahnya, tampak rasa khawatir yang teramat sangat.
“Sudah,” ucap si Mbah. “Jangan dulu dipakai jalan, ya. Besok lusa ke sini lagi, biar mbah periksa.”
Aku mengangguk.
“Itu banyak lukanya juga. Sekalian obatin, Man.” Si Mbah melirik Rahman.
“Iya, Mbah,” jawabnya. “Tuh, obatnya sudah datang.” Rahman melirik ke arah seseorang yang baru datang dengan sepeda motor.
Seorang perempuan berkerudung menghampiri kami sambil menenteng sesuatu di tangannya.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya.
Si Mbah dan Rahman menjawabnya serentak. Sedangkan aku, hanya menjawabnya dalam hati.
“Mbak, ini Lela, yang mau bantu Mbak obatin luka lecetnya,” ucap Rahman kepadaku.
“Saya Lela, Mbak.” Perempuan berkulit putih itu pun mengangguk kepadaku.
“Aku Indhira,” jawabku.
“Iya, Mbak Indhira. Biar saya bersihkan lukanya.” Lela membuka kotak yang dibawanya.
“Lela ini perawat, Mbak. Di rumah sakit umum di kota,” terang Rahman sambil tersenyum.
“Oh,” jawabku singkat.
Perempuan bernama Lela ini hanya tersenyum. Kuakui, dia memang cantik dan lembut. Pantas saja jika Rahman jatuh hati kepadanya.
“Alhamdulillah selesai,” ucap Lela setelah beberapa saat.
“La, anterin Mbak Indhira ke rumah Mbah Uti, ya?”
“Iya, Mas,” jawab Lela cepat.
“Enggak,” selaku.
“Terus Mbak mau kemana?”
“Ke … ke mana pun terserah aku, dong!”
“Iya, tapi sekarang Mbak mau kita anter ke mana?”
“Ke ….” Aku menghentikan kalimatku. Karena merasa bingung mau kemana sekarang. Selain itu, aku pun tidak membawa uang.
“Anter ke rumah Mbah Uti aja, La.” Rahman melirik Lela lagi.
“Gak mau!”
“Mbak, jangan bikin saya bingung. Gak mungkin saya tinggalin Mbak di sini. Nanti ngerepotin si Mbah.”
Aku menurunkan kaki, lalu dengan pincang berusaha berjalan ke jalan setapak.
“Eh, ini bayarannya gimana?” Si Mbah tiba-tiba berteriak dari dalam rumahnya.
Aku menghentikan langkah. “Nanti, Mbah, aku ke sini lagi. Sekarang gak bawa uang.”
“Gak bisa gitu ….”
“Tapi sekarang aku gak bawa uang ….”
“Ini saja, Mbah.” Tiba-tiba Lela membuka tas selempang kecilnya dan menyodorkan sejumlah uang kepada si Mbah.
“Jangan, La. Pakai uang mas saja.” Rahman pun dengan cepat mengeluarkan sejumlah uang dari kantong kemeja kucelnya.
“Gak apa-apa, Mas. Uang Lela saja.”
“Uang mas saja.”
“Lela ada, kok.”
“Mas juga ada.”
Melihat mereka yang berebut membayar ongkos urutku, aku jadi merasa malas dan kesal. Dengan tertatih, aku segera melangkah meninggalkan mereka.
Dasar tidak punya hati, kenapa juga harus mempertontonkan hal seperti itu di depanku? Apa mereka tidak tahu, kalau hatiku terasa memanas. Bersambung (Insya Allah)
Comment