Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya

Novel425 Views

 

Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya

Novel

Karya Athfah Dewi

Bab 11. Prasangka Buruk

_________

Ya, orang yang sedang berbicara dengan Mbah Uti adalah Rahman. Namun, kenapa Mbah Uti bertanya tentang hal itu kepadanya? Apakah dia akan paham?

Aku pun mendekati mereka.

“Insya Allah, Mbah,” jawabnya sambil melirikku. “Saya permisi dulu, Mbah. Ada yang harus dikerjakan. Mari, Mbak.” Dia pun menganggukkan kepala ke arahku.

Aku membalas anggukkannya.

“Mbah, emang Rahman bakal bisa bantu aku apa untuk ngelanjutin kuliah di sini?” tanyaku.

“Dia ‘kan asli orang sini. Jadi tahu semuanya. Kalau kamu sendiri, nanti nyasar. Mbah juga gak tahu keadaan kota sekarang gimana.”

“Aku bisa sendiri sebenarnya kalau masalah itu. Tapi, gak apa-apa kalau misal dia mau bantu,” jawabku pelan

**

Masa pamulihanku sudah selesai. Aku merasa semakin sehat sekarang. Selain tubuh yang tidak terasa sakit, juga harapanku untuk masa depan kembali menyala.

Papa jadi sering menghubungiku, bertanya kabar dan bahkan hal sepele. Seperti aku sudah makan atau belum. Bahkan, selalu ada kiriman barang-barang keperluanku. Aku tahu itu dari Papa, meski dia tidak bilang.

Papaku yang dulu sudah kembali. Bahkan, rasanya dia pun sudah bisa meredakan rasa rinduku kepada Mama. Ya, dulu hanya Mama yang paling paham semua tentang aku. Makanan kesukaan, pakaian dan segala macam yang sesuai dengan gayaku. Namun, sekarang Papa bahkan mengerti ‘skincare’ apa yang selalu aku pakai.

Sebenarnya, kebahagiaanku belum benar-benar sempurna, karena bayangan Dhimas masih sering melintas. Pengkhianatan dan penghinaannya kepadaku terus saja terbayang.

“Kamu hanya butuh waktu. Kalau untuk lupa, mungkin tidak akan benar-benar lupa. Tapi, Insya Allah nanti kemarahanmu bisa mereda,” ucap Mbah Uti.

“Rasanya sulit, Mbah. Sebab, sampai sekarang aku masih ingin membuatnya mati,” ucapku geram.

“Istighfar … kalau itu kamu lakukan, kamu yang rugi.”

“Dia pantas bukan, dapet balasan yang setimpal?”

“Biar itu Allah yang balas. Kamu sekarang, lebih baik fokus ke hidup kamu sendiri. Tata kembali masa depan kamu supaya jadi lebih baik.”

“Iya, Mbah. Makanya sekarang mau ngelanjutin kuliah.”

Mbah Uti menganggukkan kepalanya pelan.

“Ya sudah, mbah mau ke kebun dulu. Mau ngecek orang yang sedang ngasih pupuk.”

“Aku ikut, boleh?”

“Tapi jauh, terus jalan kaki.”

“Gak apa-apa. Aku udah sehat, kok.”

“Ya sudah, siap-siap sekarang.”

Hari itu, baru pertama kalinya aku ikut Mbah Uti ke kebun. Ternyata, kebun Mbah Uti cukup luas. Ditanami berbagai macam sayuran yang tampak sangat sehat dan subur.

“Ini semua berkat Rahman. Dia yang membantu warga desa ini untuk mendapat hasil panen yang bagus,” terang Mbah Uti. “Tuh lihat, punya warga yang lain juga, seger-seger, kan?” Mbah Uti menunjukkan kebun yang terhampar sejauh mata memandang.

“Emang, dia bantu apa, Mbah?” tanyaku.

“Banyak. Dia kasih tahu bibit yang bagus tuh kaya gimana. Cara ngasih pupuk dan merawat tanaman sampai panen yang bener bagaimana. Banyak pokoknya.”

“Pinter juga dia, ya?”

“Ya iya, karena dia belajar.”

“Belajar?” Aku melirik Mbah Uti yang merogoh ponsel dari dalam tasnyatasnya karena terdengar ada panggilan masuk.

“Mbah angkat dulu telepon, ya?” Tanpa menunggu jawabanku, Mbah Uti menjauh.

Aku kembali memperhatikan beberapa orang yang sedang bekerja. Mereka tampak serius dan teliti melakukan pekerjaannya.

Tiba-tiba, mataku menangkap sosok yang tadi dibicarakan Mbah Uti. Ya, dia Rahman. Aku semakin merasa kagum kepadanya. Rahman hanya pemuda desa sederhana, tetapi dia bisa membantu kehidupan warga di sini menjadi lebih baik.

Aku sudah melangkah untuk menghampirinya, tetapi tiba-tiba ada seorang perempuan berkerudung mendekat kepada Rahman. Membuat kakiku terhenti seketika.

Perempuan itu berbicara beberapa saat, lalu mereka pergi.

Siapa dia? Sepertinya, dia masih muda. Apakah pacar atau adiknya?

Mau pacar atau adiknya, apa masalahnya buatku, kan?

Benar, kenapa aku harus merasa peduli?

Aku membalikkan tubuh, mendekati Mbah Uti yang sedang duduk di gubuk sambil berbicara serius di telepon.

“Kalian gak usah khawatir, sampaikan sama suamimu. Dhira baik-baik di sini. Mbah juga jagain dia,” ucap Mbah.

Siapa yang telepon Mbah Uti? Kenapa dia menyebut namaku?

“Barang yang kamu kirim sudah sampai. Dia senang sekali. Katanya, semuanya cocok buat dia,” ucap Mbah lagi.

Apakah itu Papa? Sepertinya bukan. Tadi, Mbah bilang suamimu. Berarti dia istrinya Papa? Hanya saja, kenapa perempuan perhatian sekali kepadaku?

“Iya. Sekarang dia ikut ke kebun. Kelihatannya, sudah semakin membaik.”

Aku semakin mendekati Mbah Uti.

“Kamu jangan begitu. Dia buyut mbah juga. Sudah seharusnya mbah ikut jagain dia. Pokoknya, kamu dan suamimu gak usah khawatir. Kalau kangen, ke sini saja.”

“Mbah,” ucapku.

Mbah Uti melirikku. “Ya sudah, mbah tunggu, ya. Kalian baik-baik di sana. Mbah harus ngontrol yang lagi kerja,” ucapanya.

Setelah mengucapkan salam, Mbah Uti bertanya, “Kenapa, Nduk?”

“Itu yang telepon siapa?”

“Rossi. Kenapa?”

“Jadi, yang kirim barang-barang itu dia?”

“Iya. Memang kenapa? Papamu atau dia yang kirim, gak masalah, kan?”

“Tapi, kenapa dia perhatian sekali sama aku?”

“Dari dulu juga dia perhatian sama kamu.”

“Dulu, dia suka marah-marah dan baik kalau ada papa aja,” jawabku sambil memalingkan muka.

“Dhira, mbah mau bilang sesuatu. Mau dengerin, gak?” Mbah Uti menatapku.

“Tentang apa?” Aku melirik Mbah Uti.

“Tentang Rossi.”

Aku tidak menjawab.

“Waktu itu, dia bilang ada seorang laki-laki yang mengajaknya menikah. Tapi, dia tidak langsung menerimanya karena … Rossi khawatir gak bisa jadi ibu sambung yang baik buat kamu.”

“Dan nyatanya seperti itu,” ucapku sinis.

“Papamu meyakinkannya. Kalau kamu, bakal bisa nerima dia dengan baik. Mbah juga berusaha meyakinkan dia, kalau dia akan bisa manjadi ibu sambung yang baik. Mbah bilang begitu, karena melihat kesungguh-sungguhan papamu.”

“Papa memang genit. Itu yang bikin aku sakit hati. Aku kasihan sama mama.”

“Papa kamu butuh seorang istri di sampingnya. Dia gak mengkhianati mama kamu juga.”

“Tetep saja, Mbah.”

“Ini yang jadi masalah. Hati kamu yang terlanjur dipenuhi prasangka buruk, jadinya kebaikan yang orang lain lakukan tetap terlihat buruk.”

“Kenapa Mbah bilang kaya gitu? Mbah udah gak sayang lagi sama aku?” tanyaku. “Oh, tentu saja. Karena Mbah keluarganya perempuan itu. Sudah tentu Mbah belain dia.” Aku mulai merasa kesal dengan Mbah Uti.

“Baru saja mbah bilang, hati kamu itu dipenuhi prasangka buruk. Makanya, hanya keburukan yang kamu lihat.”

“Aku gak berprasangka buruk. Kenyataannya seperti itu, kok.”

“Kenyataan yang mana? Coba sebutkan, kapan Rossi memperlakukan kamu dengan buruk? Kalau pernah, biar mbah tegur dia.”

Aku tidak langsung menjawab, tetapi berpikir keras mencari kesalahan ibu tiriku itu.

Dulu, dia pernah menegurku untuk tidak pulang terlalu larut, sehingga Papa pun ikut-ikutan memarahiku. Padahal, aku sengaja berbuat seperti itu sebagai bentuk protesku kepada Papa. Namun, dia malah cari muka, dengan meredakan kemarahan Papa.

Suatu ketika, dia pernah menceramahiku karena aku memakai rok pendek ke kampus. Sehingga Papa saat itu, tidak memberiku uang saku selama satu minggu dan membakar rokku tersebut.

Ketika aku bertengkar dengan Arini, perempuan itu juga membelanya. Ya, meski sebenarnya aku juga yang mulai. Kugunting kerudung yang baru dia beli. Kenapa aku melakukan itu? Karena uang yang dipakai untuk membelinya itu dari Papa. Papaku!

“Mbah yakin, Rossi tidak pernah memperlakukan kamu dengan buruk. Karena, mbah tahu siapa dia.”

“Kesalahan dia tuh, karena sudah merebut papa dari aku dan mama, Mbah. Kenapa Mbah gak ngerti-ngerti juga?”

“Dia tidak merebut siapapun dari kamu. Dia menikah dengan papamu, setelah mamamu meninggal lama. Dan sampai detik ini, papamu itu tetap papamu. Gak pernah direbut oleh siapapun.”

“Tapi, sejak menikah, papa jadi sering marah sama aku.”

“Itu karena kamunya sendiri yang selalu membuat papamu marah. Coba pikirkan dengan pikiran yang jernih. Kamu pasti akan bisa melihat semuanya dengan berbeda.”

“Ah, sudahlah. Mbah juga sekarang sudah mulai belain dia!” Aku membalikkan tubuh dengan kesal. Lalu melangkah meski Mbah Uti memanggilku.

Kenapa tidak ada yang bisa mengerti perasaanku? Kenapa semua orang membela perempuan yang sudah merebut semuanya dariku itu?

Hanya Dhimas. Tidak! Laki-laki b******n itu juga sama saja. Hanya memanfaatkanku yang sedang terpuruk. Bahkan, apa yang dilakukannya tidak akan pernah termaafkan.

Aku terus melangkah, menyusuri jalan setapak yang entah menuju kemana. Aku tidak peduli, aku hanya ingin pergi dari semuanya.

Kupikir, hidupku sudah mulai membaik. Namun, ternyata masih sama saja. Bahkan, sekarang aku tidak tahu harus tinggal di mana. Mbah Uti pun, ternyata membela perempuan itu.

Samar-samar, terdengar suara bergemuruh. Sepertinya di depanku ada sungai.

Setelah beberapa langkah, ternyata benar. Di bawah ada aliran sungai yang airnya tidak terlalu jernih. Tetapi arusnya cukup besar.

Dengan hati-hati, aku menuruni tanah yang agak miring. Tiba-tiba, terdengar seseorang berteriak memanggil namaku.

Aku melirik ke belakang, untuk memastikan siapa yang mengikutiku. Namun, seketika tubuhku merosot karena peganganku agak melemah.

“Mbak Indhira!” Orang itu berteriak lagi dan bergegas mendekat.

Dia membiarkan tubuhnya ikut merosot ke bawah, dengan cepat dia bisa meraih tanganku. Namun, kami terlanjur sudah sampai di pinggir sungai.

Aku meringis, meraba lengan yang lecet.

“Mbak gak kenapa-napa?” tanyanya.

“Gak kenapa-napa gimana? Tanganku lecet ini!” bentakku. “Ini semua gara-gara kamu yang ngagetin!” Aku berusaha berdiri.

Namun, tubuhku tiba-tiba oleng. Sebab, kaki kananku ternyata terasa nyeri ketika dipakai untuk menopang tubuh.

“Mbak, sepertinya terkilir.” Rahman meraih tanganku. “Duduk di sini,” ucapnya sambil membantuku duduk di atas batu yang cukup besar.

“Astaghfirullahal adzim,” ucapnya sambil memperhatikan pergelangan kakiku.

“Kenapa? Parah, ya? Kamu, sih! Terus sekarang gimana? Aku harus ke rumah sakit?” tanyaku.

“E-enggak, Mbak. Ini hanya terkilir.”

“Terus, kenapa mukamu pucet begitu?”

“Gak apa-apa,” jawabnya. Lalu dia terpejam sambil menarik napas dalam-dalam. “Bismillahirrahmanirrahim.” Dia bergumam dan perlahan tangannya menyentuh pergelangan kakiku.

“Pelan-pelan, sakit, tahu!” Aku meringis.

“Mbak, ini hanya pertolongan pertama saja. Mbak harus ke tukang urut profesional biar cepet sembuh. Sekarang, Mbak bisa, gak, kalau naik ke atas?”

Aku melirik ke atas. Sebenarnya, tidak terlalu terjal. Hanya saja, dengan kondisi kaki yang nyeri dan lengan yang terluka, rasanya agak sulit juga.

“Gak ada jalan lain?”

Rahman menggeleng.

“Makanya, jangan ngagetin orang. Jadi kaya gini, kan?”

“Saya khawatir Mbak berbuat nekad. Makanya saya teriak.”

“Nekad gimana? Bunuh diri, gitu?”

“Hey! Kalian ngapain?” teriak seseorang tiba-tiba.

Aku dan Rahman melirik ke atas. Ternyata, beberapa orang sudah berada di sana. Termasuk perempuan yang tadi bersama Rahman.

“Pacarmu tuh, gak cemburu?” tanyaku begitu saja.[]

Bersambung (Insya Allah)

Comment