Cici Aprisa |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pendidikan merupakan salah satu hak dari warga negara yang merupakan kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Maka berdasarkan hal itu pemerintah kembali pemerintah berusaha membuat kebijakan yaitu zonasi pendidikan dalam penerimaan peserta didik baru PPDB.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Efendi menegaskan zonasi menjadi kriteria utama dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) berdasarkan jarak atau zona radius terdekat.
PPDB ini diatur dalam permendikbud no 17 tahun 2917 tentang PPDB pada TK,SD, SMP, SMA, SMK, dan bentuk lainnya yang sederajat. Permendikbud ini ditandatangani 5 mei 2017 dan langsung diterapkan pada masa pendaftaran siswa baru juni-juli 2017 lalu.
Menteri Pendidikan menyampaikan soal penerapan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) zonasi merupakan rangkaian kebijakan pemerintah yang utuh dengan tujuan untuk mempercepat pemerataan sektor pendidikan di tanah air. Muhadjir menegaskan sistem zonasi bukanlah kebijakan yang terpisah dengan kebijakan lain dan sistem zonasi ini sekolah yang dieenggarakan oleh pemerintah daerah wajib memberikan kuota sebanyak 90 persen dari keseluruhan murid yang diterima untuk calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Hanya 10 persen sisanya yang boleh diberikan untuk siswa di luar daerah provinsi sekolah itu. https://nasional.tempo.co/read/1101066/mendikbud-muhadjir-effendy-jelaskan-kebijakan-sistem-ppdb?utm_source=dable
Namun tahun ini merupakan tahun kedua kebijakan itu diterapkan, masih banyak terdapat keluhan dari masyarakat terhadap kebijakan zonasi pendidikan ini. Sejak dibuka pada bulan Mei lalu, jumlah pengaduan terhadap pelaksanaan sistem penerimaan peserta didik baru PPDB online 2018 tumbuh semakin besar hingga senin 25 juni saja jumlahnya sudah tembus 4000. Jumlah dipastikan masih terus meningkat karena posko masih dibuka hin hingga tanggal 21 juli 2018.
Kepala bagian humas dinas pendidikan DKI Jakarta Junaidi pada kamis 28 juni 2018 lalu membenarkan hal itu. Junaidi mengatakan mayoritas aduan berkaitan dengan masalah catatan sipil. Dia merujuk kepada masalah tidak terbacanya NIK atau NIK peserta PPDB. Junaidi memastikan Nik tidak akan terbaca oleh sistem PPDB jika idenditas peserta tercantum dalam kartu keluarga yang tidak sesuai dengan peraturan menteri No 14 tahun 2018 tentang PPDB. Junaidi tidak menyebut eksplisit tapi aturan ini dibuat untuk meredam praktek numpang kartu keluarga calon murid sekolah luar daerah. https://nasional.tempo.co/read/1101066/mendikbud-muhadjir-effendy-jelaskan-kebijakan-sistem-ppdb?utm_source=dable
Namun dibalik hiruk pikuk masalah Nik dan kartu keluarga, terungkap kehadiran siswa di tahap pertama PPDB. Mereka yang asal sekolah luar zonasi dan bahkan luar daerah jakarta melenggang di tahap pertama PPDB yang sejatinya untuk zona lokal. Dan juga terdapatnya praktek pungutan liar dalam kebijakan zonasi pendidikan ini.
Pertanyaannya mengapa hal itu terjadi? Mengapa setiap kali kebijakan yang dibuat pemerintah dalam hal pemerataan pendidikan selalu saja terdapat banyak keluhan dan pendidikan yang diimpikan tidak juga bisa mensejahterakan rakyat?
Akar masalah pendidikan bukan sekedar zonasi saja tetapi kurangnya tanggungjawab pemerintah dalam mengurus pendidikan. Hal itu bermula karena sistem kapitalisme yang menyebabkan adanya privatisa pendidikan yaitu penyerahan tanggungjawab pendidikan ke pihak swasta yang menyebabkan pemerintah sudah tidaktida ikut campur dalam pengelolaan sistem pendidikan. Disini peran pemerintah hanya sebagai regulator/fasilitator dan kebijakan sepenuhnya diberikan ke pihak swasta.
Penerapan kapitalisme dalam sistem pendidikan di Indonesia inilah yayang menyebabkan pemerataan pendidikan kurang merata, karena masih banyak warga negara yang belum bisa mengakses pendidikan dan pendidikan berkualitas hanya bisa diakses oleh orang-orang yang memiliki modal.
Selain itu Paradigma kapitalisme sekularisme telah gagal dalam mengelola pendidikan dengan benar. Kurikulum yang tidak jelas mau dibawa kemana, infrastruktur dan suprastruktur pendidikan yang tidak hanya merata atau kacau balau, pemisahan pendidikan agama dengan pendidikan formal serta intervensi pihak asing (Unesco) dalam urusan pendidikan, sukses menjadikan output pendidikan di negeri ini menjadi semakin hancur.
Sejak dulu berbagai pengamat pendidikan dan orang-orang yang concern terhadap aspek pendidikan ini sebenarnya memang memahami bahwa pendidikan negeri ini bermasalah, sakit parah. Hanya saja analisis yang dilakukan masih belum mengakar dan solusi yang ditawarkan pun hanya sekedar menambal panci bocor.
Bagaimana solusi Islam?
Pendidikan dalam pandangan Islam merupakan salah satu kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh oleh manusia dalam hidupnya. Pendidikan adalah hak setiap warga negara tanpa membedakan martabat, usia maupun jenis kelamin seseorang.
Dalam Islam telah menetapkan bahwa negara secara langsung menjamin pengaturan pemenuhan pendidikan. Rasulullah Saw bersabda:
“Seorang imam atau khalifah (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam negara berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi, gaji guru, metode pengajaran dan bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah.
Jika ingin semua permasalahan pendidikan ini selesai, dan pendidikan bisa dirasakan semua warga negara secara merata maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mencampakkan sistem pendidikan kapitalisme dan diganti dengan sistem pendidikan islam yang sudah diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Allah SWT berfirman: وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ ۗ وَاِلَى اللّٰهِ تُرْجَعُ الْاُمُوْرُ
“Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan.”(QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 109)”
Mari kita perjuangkan sistem yang mulia ini, yang akan mengatur segala urusan manusia dengan mulia.[]
Penulis adalah mahasiswi UIN Imam Bonjo, Padang – semester VIII Fakultas Tarbiyah,
Comment