Chaerini Noviyanti*: RUU Ciptakerja Disahkan, Suara Rakyat Dipinggirkan?

Opini672 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Aksi dan protes massa yang terdiri dari banyak elemen masyarakat Indonesia tak henti bersuara membela hak rakyat terkait adanya RUU Cipta Kerja yang dinilai akan menyengsarakan rakyat. Pro dan kontra terhadap RUU ini terus ramai diperbincangkan, baik oleh kalangan elit penguasa atau rakyat kecil tak berkuasa hingga terdengar sayup-sayup suara dari Senayan sana bahwa RUU Cipta Kerja akan disahkan meski ditengah pandemi covid-19 yang juga belum usai.

Ratusan ribu orang yang tergabung dalam organisasi buruh, petani, dan mahasiswa dari 30 kota di Indonesia dijadwalkan akan menggelar mogok nasional dan aksi unjuk rasa serentak untuk menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang direncanakan bakal disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, 8 Oktober mendatang.

Kelompok buruh menyebut aksi selama tiga hari ini merupakan perjuangan terakhir mereka demi menjegal pengesahan Omnibus Law yang dianggap merugikan buruh dan hanya menguntungkan pengusaha.

Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, mendesak DPR dan pemerintah membatalkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada Rapat Paripurna, Kamis, 8 Oktober nanti. Ini karena di dalam RUU tersebut, ada setidaknya tujuh poin menyangkut ketenagakerjaan merugikan kelompok buruh, seperti skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK diubah dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan (bbc.com, 05/10/2020).

Dari berita diatas, hal yang patut disoroti adalah bahwa rakyat rela melakukan mogok nasional dan aksi unjuk rasa ditengah situasi pandemi, yang sebenarnya hal tersebut akan membahayakan kesehatan dan keselamatan nyawa masyarakat yang seharusnya menjadi hal utama yang diperhatikan pemerintah. Kenapa pemerintah tetap ngotot mengesahkan RUU Cipta Kerja dan tidak mendengar suara rakyat? Bukankah dalam sistem hari ini kedaulatan ada ditangan rakyat?

Pernyataan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat adalah kemasan manis dalam sistem Demokrasi-Kapitalisme hari ini untuk melindungi kepentingan para elit kapitalis yaitu pengusaha atau investor oleh penguasa, hingga terkesan bahwa penguasa melindungi dan mendengarkan suara rakyat, namun nyata tidak.

Ini menjadi karakter dari sistem hari ini bahwa legislasi hukum bisa direkayasa sesuai kepentingan penguasa yang dikendalikan oleh pengusaha. Fenomena pengesahan RUU Cipta Kerja ini menjadi salah satu bukti sikap pemerintah tersebut.

Dilansir dari Dekannews.com (04/10), salah satu kritik keras mengenai pengesahan RUU Cipta Kerja datang dari mantan sekretaris Kementerian BUMN yang juga salah satu deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Muhammad Said Didu.

“Inilah praktek oligarki kekuasaan yang diatur oleh cukong. DPR menjadi alat untuk wujudkan kepentingan mereka,” kata Said Didu melalui akun Twitter-nya, @msaid_didu, Minggu (4/10/2020).

Alih-alih pemerintah beralasan bahwa RUU Cipta Kerja tetap disahkan karena akan menguntungkan pekerja dan menyelamatkan ekonomi investasi bangsa, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan M. Teguh Surya mengatakan poin-poin yang ditetapkan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau RUU Cipta Kerja tidak menyentuh akar masalah investasi. Ia mengatakan, dari sisi lahan, masalah utama yang dihadapi negara atas hambatan investasi adalah silang sengkarut izin (tempo.co, 04/10/2020).

Kisruhnya RUU Cipta Kerja bisa diselesaikan apabila berbagai kalangan memahami akar permasalahannya. Selama ini solusi yang ditawarkan bagi setiap permasalahan tidak tepat dan menuruti kepentingan pihak tertentu. Pembuatan aturan diserahkan kepada kemampuan berpikir manusia yang lemah, terbatas, serba kurang sehingga seringkali perbedaan pendapat dan konflik muncul ditengah masyarakat yang berakibat kepada ketidakadilan dan kesengsaraan hidup. Padahal hanya Allah-lah yang berhak membuat aturan dan memutuskan perkara.

“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling dari (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. (Q.S. Al-Ma’idah : 49)

Keleluasaan membuat aturan atau undang-undang sesuai kepentingan elit tertentu, tentu tidak dibenarkan oleh Islam. Islam menetapkan bahwa pembuatan undang-undang adalah untuk memudahkan negara dalam mewujudkan kemaslahatan rakyat sesuai dengan aturan Islam.

Islam memperhatikan dan merealisasikan jaminan pencapaian kebutuhan individu agar terwujud kesejahteraan masyarakat sehingga negara memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan itu.

Namun dalam sistem Kapitalisme, peran negara diminimalkan hanya sebatas pengatur, sehingga kesejahteraan rakyat diabaikan.

Kebutuhan-kebutuhan hidup seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan keamanan merupakan kewajiban negara kepada rakyat yang harus dipenuhi. Bila pemenuhan kebutuhan hidup diselesaikan, maka persoalan ketenagakerjaan juga dapat diselesaikan dengan tuntas.

Permasalahan antara buruh dan pengusaha dapat diselesaikan juga dengan ketentuan hukum syariat Islam. Pemerintah menjadi pengawas sekaligus penengah jika terjadi persoalan yang tidak dapat diselesaikan di antara keduanya.

Demikianlah pandangan dan solusi yang ditawarkan oleh Islam, bukan hanya solusi tambal sulam atau bersifat temporal, melainkan solusi fundamental dan komprehensif.

Sudah saatnya manusia beralih dan mengambil sistem Islam sebagai jalan hidup (way of life) dalam setiap permasalahan sehingga kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dapat tercapai.[]

 

*Mahasiswi Pakuan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB), Bogor

Comment