Cerpen Karya Aisyah Syafa: Berharap Kau Melihatku

Cerpen222 Views
Aisyah Syafa, Penulis
Bergegas kustandar kendaraan milik bapak, selepas kupakai untuk menjenguk teman yang sedang sakit. Tampak usang benda beroda dua itu. Terlihat dari warna dibagian body-nya yang telah memudar.
Kebututannya nampak jelas, kala bunyi kencang beserta gumpalan asap hitam mulai keluar dari lobang dibagian samping mesin bawah berwarna logam. Benda inilah yang bertahun-tahun menemani kemanapun bapak pergi.
“Ri, bapakmu Ri, bapakmu,” ujar wanita paruh baya, yang biasa berjualan rujak dan kolak di kampungku. Lek Nah mencoba berkomonikasi denganku ditengah kekalutannya. Maklum dia memang cukup dekat dengan keluargaku.
“Iya, Lek Mah. Sudah tau.” kalimat singkat keluar dari mulutku, cukup menandakan aku telah mengerti tentang apa yang terjadi.
“Bapakmu, Ri. Sekarang di rumah sakit ditemani ibumu.” Om Agus, tak kalah kalut dengan Lek Mah. Terlihat dari guratan cemas diwajahnya. Om Agus, merupakan lelaki yang sudah cukup lama bertetangga denganku. Rumahnya pun berada persis didepan rumah.
Dengan cepat aku memasuki rumah. Tak seperti biasa. Taplak meja terlihat tak beraturan letaknya. Gelas berisikan air putih berada diatasnya. Teh yang masih terasa hangat, berada tepat disisi tempat tidur, masih penuh isinya seakan belum sempat terminum. Di sisi lain ada sarung yang lepek, terkena muntahan sepertinya, dapat kuterka dari bau anyir yang terendus hidung. Ku duga bapak sempat muntah sebelum tak sadarkan diri.
“Kenapa bapak bisa tak sadarkan diri, Om!” tanyaku dengan volume meninggi, pada lelaki tua yang sedari tadi berada di belakangku. Om Agus tersentak, menjadi gugup lantaran kerasnya suaraku,
“Om, juga nggak tau, Ri. Tadi ibumu tiba-tiba teriak minta tolong, karena melihat bapakmu tergeletak ditempat tidur itu dan sudah tidak sadarkan,” jari telunjuk kanan om Agus terangkat kedepan, seakan ingin memberitahuku dimana posisi bapak tak sadarkan diri.
Tetangga samping kanan kiri mulai berdatangan satu persatu memenuhi halaman depan rumahku. Ada beberapa telah mengahui apa yang terjadi saat ini pada keluargaku, sebagian lain terlihat sibuk bertanya-tanya. Hal itu memang biasa terjadi. Maklum saja, saat ini aku beserta keluargaku tinggal di pemukimam padat penduduk. Jalan dengan ukuran kecil seakan menambah gaduh dan ramai suasana saat ada kejadian menimpa salah satu warganya.
Dari pertama kali aku datang di rumah, kemudian mendengar berita mengenai keadaan bapak yang tak sadarkan diri sungguh membuatku nelangsa. Aku begitu bingung. Tidak tau harus berbuat apa. Aku hanya ingin bapak sembuh dan sadar kembali. Di tengah kegalauan, aku harus mengambil keputusan tetap berada di rumah sambil menunggu kabar atau beranjak pergi kerumah sakit menemani ibu.
“Om, sebaiknya, Riri ke rumah sakit aja ya. Mungkin kalau Riri kesana, Riri bisa menemani Ibu. Kalau Bapak butuh obat atau lainnya masak Ibu yang beli. Lagian, Riri bisa gantian sama Ibu buat jagain Bapak.” Aku sangat yakin keputusanku ini benar. Aku harus secepatnya bergegas menuju rumah sakit dimana bapak dirawat.
Rumah Sakit Dr. Suparlan merupakan rumah sakit daerah terbesar juga terlengkap di kotaku. Lokasinya tidak terlalu jauh. Hanya berjarak sekitar 5 km dari rumahku. Melihat jarak rumah sakit dengan rumah cukup dekat. Aku berharap bapak bisa mendapatkan penangan dengan cepat.
“Om, Lek Mah. Riri berangakat ya. Minta tolong jagain rumah.”
“Iya, Ri. Kamu bantuin Ibu kamu ya …, Om doain Bapak kamu cepat sembuh dan segera pulih.” Ucap Om Agus.
“Terima kasih, Om.”
Aku melangkah keluar rumah sambil menjinjing tas ransel hitam berisi beberapa potong pakaian milik bapak dan baju ganti ibu. Aku berjalan memecah kerumunan warga yang sedari tadi berdiri tepat di depan rumah. Aku tertunduk lesu, langkahku gontai. Tanganku terus saja menyeka tetesan air yang keluar dari pelupuk mataku.
Kupandangi beberapa tetangga yang wajahnya tidak asing bagiku. Aku melihat kecemasan pada raut wajah mereka. Mereka juga sama denganku, tidak ingin terjadi apa-apa pada Bapak.
“Ri, salam buat Ibu kamu ya. Sabar. Bapakmu juga orang baik, Ri. Bapak kamu pasti sembuh.”
“Aamiin. Terima kasih doanya, Bu. Maaf, Riri mesti buru-buru ke rumah sakit.”
Sekelebat bayangan tubuhku dan sepeda motot butut bapak pun tak terlihat. Aku ingin cepat bertemu ibu. Bertemu Bapak yang tadi pagi masih bercanda denganku.
***
Duduk lelaki berusia paruh baya diatas sepeda motor kesayangannya. Menggunakan topi pelindung kepala berwarna hitam dengan kaca dibagian depan wajah yang sudah nampak buram. Hawa panas sang surya terasa menyengat tubuh. Membuat lelaki itu enggan melepas pelindung kepala dan jaket yang melekat pada tubuhnya.
Di depan gerbang lelaki itu menunggu, tak ada niatan untuk mencari tempat berteduh untuk sekedar mengurangi rasa panas yang tertangkap tubuh. Lelaki itu hanya sesekali berdiri, tetap diposisi, menggunakan kaki sebagai tumpuan. Kalau sudah begitu dia akan menggerak kedua siku tanganya kedepan kebelakang. Sesekali bola matanya melihat penunjuk waktu yang melingkar dipergelangan tangan kirinya.
Sudah dua puluh lima menit berlalu, lelaki itu masih tetap menunggu sambil menengok ke dalam gerbang besar yang diatasnya tertuliskan nama salah satu akademi pariwisata di kota Surabaya. Tanpa mengeluh lelaki itu tetap menunggu. Namun yang ditunggu belum terlihat juga sosoknya.
“Bapak.” Terdengar sapaan nyaring lima menit kemudian dari gadis hitam manis berlesung pipi dengan rambut hitam lurus terjuntai cantik sebahu.
“Bapak, sudah lama nunggu ya? Maaf tadi ada kegiatan tambahan. Jadi pulangnya agak telat. Riri pikir cuma sebentar, eee … ternyata lama.” Bibir Riri ditarik kedepan karena dia sendiri pun kesal telah membuat Bapak tersayang menunggu cukup lama.
“Nggak papa, nggak lama Ri. Bapak juga baru datang,” jawab bapak yang sedikit berbohong karena tidak ingin anak gadisnya merasa bersalah karena telah membuatnya menunggu.
“Oh gitu. Alhamdulillah kalau gitu,” jawab Riri sambil menerima pelindung kepala dari bapak, yang kemudian naik motor, duduk di belakang bapak. Deru mesin tak lama terdengar, motor itu berlalu dengan meninggalakan asap putih menggumpal.
Hampir tiap hari, bapak menjemput aku di kampus. Dari dulu aku paling tidak suka naik angkutan umum, bukan karena sombong, tapi bau solar sering membuat aku pusing, kata orang mabukan. Karena itu aku lebih memilih diantar jemput bapak. Syukur, bapak tidak keberatan jika aku meminta bapak menjemputku meski aku telah kuliah. Untungnya bapak bukan orang kantoran, yang sebagaian waktunya dihabiskan di kantor. Sebab itu aku takut dan tidak mau terjadi sesuatu sama bapak.
Pernah dengar kalau anak perempuan itu paling dekat dengan bapaknya. Kemungkinan itu benar, karena dari pada dengan Ibu, aku lebih sering berdiskusi dan melakukan banyak hal dengan bapak. Aku juga anak bungsu dari 3 bersaudara. Kedua kakakku sudah lama tak tinggal bersama kami. Jadilah aku anak kesayangan.
“Ri. Ikut Bapak yuk,” ajakkan bapak diminggu pagi yang cerah, saat kami berdua sedang bersantai di ruang tamu.
“Kemana Pak,” tanya Riri.
“Sudah, ikut aja. Ayo.” Akku dan bapak bangkit kemudian berjalan beriringan menuju pintu depan.
Bapak memang sering mengajak aku keluar rumah. Entah itu sekedar makan di warung atau jalan keliling kota. Ibu terkadang sering cemburu dengan kedekatan kami. Karena kalau bapak mengajak aku, pasti ibu yang harus diam di rumah. Karena kami hanya punya motor, jadi tak bisa kami bertiga pergi bersama.
“Riri terus yang diajak, Ibu kapan Pak!” Keluhan ibu ditujukan pada bapak, sambil kedua tangannya bergerak membereskan rak buku yang nampak sedikit berantakan.
Mendengar lengkingan suara ibu, kami berdua mundur beberapa langkah. Aku kembali duduk di ruang tamu sedangkan bapak berjalan menghampiri ibu dan berdiri di samping rak buku
“Ibu, juga sering diajak kan sama Bapak? Riri itu tugas kuliahnya banyak, dia butuh refresing, Bu … sudah, Ibu nggak usah khawatir, habis Bapak sama Riri keluar, Bapak pasti ajak Ibu jalan-jalan.” Bapak tak terlalu menanggapi ocehan ibu. Semua dijawab santai tanpa amarah, karena bapak sebenarnya suka sekali menggoda ibu
“Bener ya … nanti malam Ibu diajak jalan-jalan.” Ibu mencoba memastikan janji Bapak. Aku yang mendengar percakapan mereka dari ruang tamu hanya bisa tersenyum melihat drama dua sejoli berumur lanjut. Lucu .
“Ayo, Ri. Kita berangkat,” ajak bapak kedua kali.
“Ibu, gimana, Pak?” tanyaku lirih. Bapak tak menjawab, hanya mengerjapkan mata. Aku pun langsung mengerti bahwa itu kode agar aku cepat beranjak menuju pintu depan.
“Bu, Riri keluar sama Bapak, ya?” Tak terdengar sautan dari dalam dalam. Bisa jadi ibu tak mau menjawab salamku karena sedang tak senang hati.
“Jangan lupa ya Pak, nanti malam, gantian jalan-jalannya sama , Ibu.” Aku dan Bapak saling berpandangan kemudia terkekeh melihat tingkah ibu.
Hari minggu pukul 09.00, aku dan bapak mulai menyusuri jalanan. Sama seperti biasanya. Pagi ini aku tak tahu kemana arah tujuan bapak. Hingga pada akhirnya motor berhenti di salah satu pasar dadakan di daerah Karang Menjangan. Lebih kurang 1 jam kami berkeliling , bapak telah menemukan apa yang dicari akupun mendapatkan apa yang ku inginkan. Perut mulai meminta jatahnya, kami segera memutuskan warung mana yang bisa memuaskan rasa lapar kami.
“Kita makan di warung Pak Said aja ya, Ri.”
“Ok, Pak. Setujuuu … .”
Sesampainya di depan warung Pak Said. Langsung tercium harum aroma daging bakar menggunakan arang hitam. Kepulan asap putih mengepul terus dari tempat pembakaran. Sedang di dalam etalase berukuran besar depan warung terlihat berjejer rapi berpuluh puluh daging segar berwarna merah yang ditusukkan pada bambu berujung tajam. Daging-daging itu sungguh menggoda.
“Pak Said, porsi biasanya ya,” pesanan bapak, pada pemilik sate gule Ponorogo yang cukup terkenal di daerahku.
“Siap, Pak Joko,” jawab Pak Said. Pesanan Bapak kemudian berlanjut dengan teriakan Pak Said pada anak buahnya.
Kami berdua mencari tempat duduk yang nyaman. Karena saat makan diluar rumah, bapak suka membicarakan banyak hal. Tentang aku, ibu, juga mas dan mbakku. Akhirnya kami memilih bangku paling belakang dekat standingfan, membut kami bisa makan dan berbincang dengan nyaman tanpa diganggu para pengunjung yang keluar masuk .
Tak lama pesanan kami pun datang. Sesuai pesanan. Satu porsi sate kambing ditambah semangkok gule berkuah banyak. Jeruk hangat sebagai peluntur lemak lebih dulu di sajikan. Aroma yang keluar dari perpaduan sate juga gule membuatku tak ingin membuat menu pagi ini menunggu terlalu lama.
“Ri, Bapak ini sudah tua. Umur Bapak bisa jadi nggak bakal lama. Bapak mau insyaf, Ri. Bapak pingin masuk surga. Riri, mau tolongin kan.” Kulihat bapak menghentikan suapan kemulutnya, kemudian menatapku nanar. Sedih raut wajahnya, membuatku sungguh iba.
“Apaan sih, Pak. Bapak itu masih memang sudah tidak lagi muda, tapi masih terlihat ganteng, sehat dan kuat. Insya Allah umur panjang sampai nanti, Riri nikah dan bisa kasih cucu buat Bapak dan Ibu.”
Inilah jawaban dari semua perubahan yang bapak tunjukkan hampir 2 bulan ini. Tingkah laku bapak terlihat berbeda. Aku sungguh menyukai perubahan bapak yang positif. Bapak mulai membiasakan sholat berjamaah di masjid. Membuka kembali lembaran quran sambil membaca huruf hijaiyah itu meski dengan terbata-bata. Mempelajari barisan artinya. Mendatangi beberapa majelis taklim. Melihat perubahan bapak. Aku meyakini kalau bapak memang ingin benar-benar berubah.
“Minggu lalu, Bapak mendatangi kajian Ust. Akhmad, Ri. Kajian itu bertema ‘Kemana Kau Bawa Keluargamu’ setelah mendengarkan apa yang disampaikan Pak Ustad, Bapak merasa melakukan banyak kesalahan. Seharusnya Bapak tidak hanya mengurusi urasan kuduniawian saja. Akhlak,adab, aturan Allah menurut syariat, semestinya juga Bapak ajarkan. Salah satu hadits Rasulullah begini bunyinya “Seorang laki adalah pemimpin didalam keluarganya dan dia bertanggung jawab atas keluarganya. “ (Muttafaq alaih).” Bapak tertunduk sedih. Dia menyesali kekeliruan yang sudah dia lakukan. Bapak sungguh telah berubah. Semua yang dikatakannya memang benar. Bapak dan ibu jarang mengajari kami tentang keagamaan. Semua kami pelajari dengan niat kami sendiri.
“Riri juga sudah besar, sudah dewasa, Baligh juga sudah cukup lama. Seharusnya dari dulu Bapak meminta Riri menutup aurat. Bapak, baru tau kalau anak gadis yang sudah baligh diharuskan menutup aurat, Nak. Semuanya tertutup kecuali ini dan ini,” tangan tangan bapak menunjuk wajah serta punggung tanggannya.
“Riri, belum siap, Pak! Nanti kalau sudah kerja, berpenghasilan dan bisa membahagiakan Bapak sama Ibu, Riri mulai pakai kerudung,” elakku atas permintaan bapak. Jawaban itu membuat bapak terlihat sedih
“Riri, nggak mau Bapak masuk surga? Satu langkah Riri keluar rumah tanpa menutup aurat, satu langkah pula Bapak hampir masuk neraka, Nak.” Bapak tertunduk, mata tuanya terlihat berkaca. Kalau tidak dikeramaian, air mata itu pasti akan tumpah.
“Doain ya, Pak. Semoga, Riri bisa cepet penuhi permintaan Bapak.”
***
Termangu di ruang tunggu apotek rumah sakit. Serasa sendiri ditengah arus manusia yang begitu padat. Sedari tadi aku duduk menunggu. Menyandarkan kepala ke tembok kursi belakang ruang tunggu, sekedar untuk mengurangi rasa berat di bagian atas tubuhku itu.
Tiba-tiba, tetesan cairan bening di ujung mata mulai menetes. Saat bayangan kebersamaan aku dan bapak beberapa hari yang lalu memuncah keluar. Kata andai mulai menyelimuti hati yang sedang nelangsa. Kejadian jum’at pagi itu membuat diri menyesali, mengapa harus kuikuti ajakan beberapa teman yang ingin menjenguk teman sekuliahan. Andai waktu itu aku tak pergi, pasti semua ini tak akan terjadi. Ah, tapi sudahlah. Semua telah terjadi. Hari itu bapak memang harus tak sadarkan diri atas ketetapanNYA.
“Bapak Joko,” panggilan salah satu petugas apotik seketika membuyarkan lamunanku.
“Iya, Bu,” jawabku sambil bergegas menghampiri loket kasir apotek untuk menebus obat bapak.
Kukeluarkan dompet didalam tas ranselku. Dompet berisikan sepuluh uang kertas seratus ribuan, ditambah uang lima puluh ribu yang kuambil dari mesin ATM di area Rumah Sakit. Kubayarkan semua uang yang ada dalam dompetku. Menyisakan beberapa uang kertas bernominal kecil dengan jumlah tak banyak dan beberapa koin.
“Ya Allah … ini adalah uang terakhir yang kupunya. Jika ada tindakan atau harus menebus resep lagi untuk Bapak, dari mana lagi aku dapatkan uang,” bisikan lirih dalam hati seraya menyerahkan uang ke kasir.
Aku telah menghubungi Mas Achmad dan Mbak Lina yang ada di rantau untuk memberitahu keadaan bapak dari warnet yang berada didepan Rumah Sakit. Mereka memang tidak bisa secepatnya datang untuk melihat bapak, karena harus lebih dulu menyelesaikan beberapa pekerjaan. Aku sadar itu. Mereka hanya berpesan untuk terus memberi kabar perihal kondisi bapak.
Ya, saat ini tinggal aku, ibu dan Allah. Allah … nama yang telah lama aku lupakan, jarang kusebut. Namun dalam situasi ini, tiba-tiba aku kembali pada fitrah seorang makhluk. Membutuhkan penciptanya disaat kesulitan datang dalam hidup.
“Ya Allah… aku butuh pertolonganMU,” menyebut namanya seakan meringanku bebanku saat ini.
Sambil berlari kecil kubawa plastik warna putih berisi obat buat bapak. Sesampainya di ruangan, langsung kuberikan pada dokter muda yang tengah berjaga.
“Bapak gimana Bu, sudah sadar?” ibu menjawab dengan gelengan lemah sambil menghela napas.
“Bapakmu tak bergerak sedikit pun. Ibu sengaja memegang tangan Bapak terus, biar Ibu tau, Bapak mau bergerak meski sedikit,” ya kulihat kedua tangan putih ibu mendekap tangan kanan bapak.
Aku berdiri tepat di seberang ibu, kulihat tubuh bapak tergulai lemah tak berdaya. Tak nampak kegarangannya saat tengah menghadapi pemuda-pemuda iseng yang mencoba mengganggu anak gadisnya. Tak terlihat kejantanannya saat menjaga kehormatan istrinya dari umpatan tetangga yang terbakar hasutan.
Lelaki yang sedari dulu menjadi ksatria dalam hidupku, kini sedang tak berdaya. Wajahnya pucat, mata keriputnya terpejam, dan tubuh gagahnya saat ini hanya berselimut kain batik yang ibu bawa dari rumah. Kuelus pipinya yang menua. Kuusap rambut putihnya. Lagi-lagi air mata ini jatuh dengan sendirinya.
Kulihat penunjuk waktu diangka dua belas siang. Namun bapak masih saja di tempatkan di ruangan yang berbaris beberapa tempat tidur tanpa sprei, pemisah tempat tidur satu dengan lainnya hanyalah kelambu warna hijau. Warna khas rumah sakit.
Menurutku, tiada tindakan yang berarti pada bapak. Sesekali aku menanyakan pada dokter muda yang bertugas.
“Penanganan pertama sudah kami lakukan mbak, tindakan selanjutnya menunggu hasil observasi. Ditunggu ya, nanti Dokter sendiri yang menyampaikan,” mendengar Dokter Muda itu menyapaikan perihal kondisi Bapak dengan santai, aku malah tersulut emosi dan mengumpat lirih. “Sampai kapan nunggu hasinya Dok!”
Dua jam berlalu, akhirnya dokter yang perawakan terlihat lebih senior datang. Dokter itu mulai memeriksa keadaan bapak.
“Ibu dan Mbak, keluarga Bapak Joko?”
“Iya Dok, kami keluarganya,” jawabku.
“Bapak Joko, telah lama terkena darah tinggi. Karena sebelumnya tidak ada pengobatan secara serius, akhirnya dinding pembuluh darah beliau mulai rapuh. Inilah yang menyebabkan Bapak Joko tak sadarkan diri. Karena telah terjadi pendarahan pada otak beliau.”
“Darah tinggi!” berarti pergi ke warung Pak Said beberapa hari yang lalu, bisa jadi pemicu tekanan darah bapak naik!?”
“Ibu, tau kalau Bapak kena darah tinggi?” tanyaku pada ibu. Ibu menjawab dengan gelengan kepala.
“Ya Allah … Bapak. Kenapa nggak bilang ke Riri sama Ibu, kalau kena darah tinggi,” gumamku sambil memandang wajah bapak.
“Lalu, apa tindakan untuk Bapak saya selanjutnya, Dokter?”
“Operasi … Bapak Joko, harus segera dioperasi.”
“Operasi!” seketika kurasakan tombak tajam menghujam dadaku. Pandangan mataku mulai memudar. Kuraih kursi yang ada di sampingku agar aku tak terjatuh.
***
Ya Allah … operasi. Tindakan tak ingin kuyakini, tapi itulah yang terjadi.
“Haruskah Bapak saya dioperasi, Dokter. Apakah tidak ada cara yang lain?” tanyaku
“Maaf, untuk saat ini, tindakan itu yang tepat buat Bapak Joko. Jika keluarga setuju. Silahkan mengisi surat pernyataan operasi, supaya kami bisa segera melakukan tindakan,” ujar dokter.
Sesaat, otak dalam kepala ini seakan tidak berfungi. Untuk kesekian kali aku kebingungan, tak tau apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini. Ditambah melihat ibu, yang sedari tadi air matanya seperti enggan berhenti keluar. Aku kasihan melihat ibu. Tak tega menanyakan bagaimana mendapatkan uang untuk biaya Operasi.
“Ibu, disini aja, jagain Bapak. Biar Riri yang urus semua.” Secara otomatis kuambil semua tanggung jawab untuk kesembuhan bapak.
“Ri, biaya operasi khan nggak sedikit?” tanya ibu dengan nada lemah.
“Tenang, Bu. Insyaa Allah pasti ada jalan,” kalimat yang kutujukan pada ibu, tapi lebih tepat menunjuk padaku. Meyakinkan diriku. Buru-buru aku menuju meja tugas yang ada di sudut ruangan, tak jauh dari pintu masuk. Terlihat Dokter Muda dengan beberapa perawat yang berjaga disana.
“Maaf Dokter, saya mau mengisi Surat Pernyataan Operasi untuk Bapak Joko?”
Dokter muda itu menyodorkan kertas putih berukuran folio. Tak butuh waktu lama aku membaca semua isinya. Ucapan Bismillah dari mulutku, mengiringi tanda tangan yang kububuhkan pada kertas itu.
“Kalau boleh tau, berapa biaya yang dibutuhkan untuk operasi, Dok?” Dokter muda yang tak bisa menjawab pertanyaanku, langsung mencolek perawat yang berada di sampingnya.
Betapa terkejutnya aku, saat perawat itu menyebutkan biaya operasi bapak. “Ya Allah … Ya Karim, yang Maha Pemurah. Hanya engkau yang bisa membantu kesulitanku saat ini,” bisikku lirih.
“Kapan batas saya melunasi biaya operasi?” tanyaku.
“Operasi baru akan dilakukan, setelah mbak membayar keseluruhan biaya operasi terlebih dahulu.” Perawat itu berbicara seakan tak memperhatikan perasaanku yang berkata, ‘apakah tidak ada keringanan untukku, ‘apakah tidak bisa Bapak dioperasi terlebih dulu’.
Saat ini yang ada di otakku hanya bagaimana bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi bapak dengan cepat. Aku mau bapak sembuh .
Tak ingin menyia-nyiakan waktu. Aku lalu bersimpuh di hadapan ibu, meminta doa restu, supaya cepat kembali dengan membawa berita baik, meski itu berarti, aku harus meminjam uang pada tetangga kanan kiri untuk biaya operasi.
“Ibu, jagain Bapak. Riri nggak lama. Doain Riri, ya,” pintaku tulus pada ibu dengan menyajikan wajah kepura-puraan agar terlihat yang tegar.
Aku layaknya terjun berjuang di medan perang. Inilah saatnya pengabdianku sebagai seorang anak pada orang tua. Aku merayapi lantai Rumah Sakit dengan cepat, menuju tempat parkir motor. Aku ingin segera sampai rumah dengan cepat karena, ‘ada yang harus kulakukan.’
Diperjalanan, air mataku membuncah keluar. Seraya terus memikirkan, pintu mana saja yang akan kuketuk untuk meminta derma.
“Riri. Gimana Bapakmu, Ri?” tanya para tetangga kala mata mereka menangkap kedatanganku.
Tak kuhiraukan pertanyaan mereka yang memberondongku. Saat ini, aku hanya ingin mengadu pada Zat yang menciptakanku.
Memasuki rumah, aku tau tempat mana yang pertama kali kutuju. Kucuran air jatuh itu menenangkan, kesegaran dapat kurasakan kala setiap tetesnya menyucikan dan membuat diriku memenuhi syarat sah berdua-duaan dengan Sang Pemilik Kehidupan.
Surat Yasin, terpilih untuk kubaca sebagai penenang hati yang merindu. Rindu pada seorang bapak yang sangat menyayangiku. Air mata deras ini pun jatuh, membuat suara menggugu ditengah-tengah bacaan doaku.
Tiba-tiba, dari belakang, Bu Haji Laksmi menepuk punggungku sambil berkata.
“Berdoalah, Riri. Berdoalah untuk Bapakmu. Semoga Allah mengambulkan doamu, Nak.” Kepalaku tak berputar sedikitpun padanya, tapi apa yang dikatakannya seakan benar hingga merasuk kesukma.
“Riri, kamu ingat ya. Allah itu baik. Maha melihat … Maha Mendengar, Ya Sami’ … Ya Bashir, jadi berdoalah. Insyaa Allah akan dikabulkan,” memori nasehat Pak Ustad, semasa kecil tiba-tiba mengapung di permukaan.
Mulai kutangkupkan kedua tangan menghadap wajah yang tertunduk dalam. Bait-bait doa kupanjatkan dengan khusyuk, serasa ingin doa untuk Bapak, dapat menembus langit dan sampai padaNYA.
Sebelum beranjak pergi, kulangkahkan kaki mendekati tempat tumpukan pakaian yang lama tak terpakai. Tangan ini mulai membelah tumpukan satu persatu. Mencari sesuatu. Kain berbentuk segi empat itu akhirnya kutemukan, berwarna merah muda dengan motif bunga mawar di setiap sudutnya. Dengan cepat kurapikan bentuknya sambil berdiri menghadap kaca.
‘Bapak, lihat Riri sekarang. Bapak mau Riri berkerudung khan. Ini Riri sekarang. Bapak sembuh ya, buat Riri.’
Inilah keadaan dimana aku harus berubah menjadi lebih baik. Aku ingin saat bapak sadar, dia melihatku dengan penampilan yang berbeda sesuai dengan harapannya. Biar bapak senang. Setelah puas bersimpuh menghamba dan minta pertolonganNYA. Sekarang, waktunya bangkit berusaha untuk kesembuhan bapak. Aku bergegas mendatangi beberapa rumah tetangga untuk mencari pinjaman. Entahlah, saat itu,tak terpikir untuk menghubungi saudara bapak atau ibu, juga tak mengabari Mas Achmad dan Mbak Lina.
“Riri, nggak tau harus meminjam kemana lagi, cuma Pak Haris harapan saat ini.” Kusampaikan niatku dengan kepala tertunduk lesu sedangkan jari-jariku bermain menyakiti satu sama lain. Tak berani kutatap wajah lelaki yang usianya seumuran bapak itu. Aku begitu ketakukan, takut gagal meminjam uang lagi. Harapan terakhirku hanya keluarga Bapak Haris yang telah lama bersahabat dengan bapak.
“Memang biayanya berapa, Ri?” tanya Pak Haris yang menemuiku ditemani istri tercinta.
Bu Haris yang semula duduk berdampingan dengan suaminya, tiba-tiba berdiri melangkahkan kaki menghampiriku. Duduk di sampingku. Wanita yang tidak lagi muda namun masih tersirat sisa kecantikan masa mudanya, sepertinya mengerti apa yang kurasakan saat ini. Dia mengerti kalau aku sedang merasa sendiri.
“Riri, nggak usah takut sama kami. Keluarga Riri sudah kami anggap seperti keluarga sendiri. Memang berapa biaya Bapak operasi, Ri?”
“Besar, Bu Haris. Riri, sama sekali nggak punya tabungan. Sedangkan, kalau mau tanya ibu soal uang simpanan, Riri kasihan. Ibu dari tadi terlihat sedih. Biar Riri saja yang memikirkan semua keperluan Bapak selama di Rumah Sakit,” ujarku sambil terisak.
“Sekarang nggak usah binggung. Ibu sama Pak Haris, akan ikut ke Rumah Sakit. Kami, yang akan bayar biaya operasi dan semua keperluan Bapak Riri selama di sana,” kata Bu haris sambil membelai kerudung yang baru pertma kali ini melekat pada rambutku.
Aku tersentak mendengar apa yang di ucakan Bu Haris. Wajah muram yang sedari awal pertemuan kusembunyikan, mulai berani kuperlihatkan. Bibir yang seharian sirna dari senyuman detik ini bisa mengembang.
“Terima kasih, Bu, Pak. Riri janji akan mengembalikan karena ini hutang. Pasti.”
“Sudah, nggak usah dipikirin dulu. Sekarang, kita mesti cepat pergi ke Rumah sakit, biar Bapak Riri bisa cepat ditangani.”
Ya Allah … ini kah jawaban dari doa yang kupanjatkan. Aku merasa malu. Engkau baik padaku. Aku baru melakukan sedikit perintahMU, tapi Allah merengkuh dan tak meninggalkanku.
‘Bapak, tolong bertahan. Tunggu Riri datang’
***
Aku bersama bapak dan Ibu Haris, bergegas menuju Rumah Sakit. Namun setibanya di ruang UGD tak kudapati bapak dan ibu.
Segera ku hampiri meja jaga itu lagi, guna bertanya, keberadaan mereka berdua.
“Maaf, Suster. Bapak saya kemana ya?” tanyaku pada salah satu perawat.
“Bapak, siapa ya?” jawab suster penjaga.
“Bapak Joko, Suster. Tadi saya keluar sebentar untuk mengambil uang untuk biaya operasi Bapak saya, karena operasi tak akan dilakukan sebelum saya melunasi seluruh biayanya. Ini saya bawa uang buat bayar, tapi saya lihat Bapak saya sudah nggak ada di kamarnya.” Melihat aku bertanya dengan gelisah, bu Haris yang berada di samping, mencoba menenangkan dengan mengelus punggungku.
“Oh, Bapak Joko. Beliau dipindahkan ke ruang isolasi, tadi keadaannya sempet memburuk Mbak.”
‘Ya Allah, memburuk! keadaan bapak memburuk!’ bisikku dalam hati.
“Kenapa bisa, Bapak saya memburuk keadaannya! belum dioperasi kan, Sus?” tanyaku cemas.
“Sepertinya belum, tapi lebih jelasnya mbak bisa tanya ke Dokter , yang ada di ruang isolasi,” perawat itu menjawab sambil menunjukkan padaku lokasi ruang itu. Aku pun berlari kecil menuju ruang Isolasi, tak lupa dua pahlawan, bapak dan ibu Haris selalu mengiringiku.
“Bu, kenapa Bapak dibawa kesini? bukannya Bapak mau di operasi hari ini? di luar ada Bapak dan Ibu Haris. Mereka yang mau bayar operasi Bapak.”
Ibu terdiam, tak ada kata-kata keluar, tak nampak raut wajah senang dengan kabar baik yang kusampaikan. Aku tersadar, bahwa sekarang, bapak ada di ruangan yang berbeda dari sebelumnya. Ruang ini tampak spesial, karena hanya berisikan empat tempat tidur. Setiap tempat tidurnya terpasang mesin elektrokardiogram yaitu alat men-deteksi detak jantung dan kabel-kabel penting lainnya. Tidak semua orang bisa masuk, dilihat dari pintu stainless yang selalu tertutup.
Dokter yang tadi siang menyarankan bapak untuk operasi, datang dan menghampiriku. Dia kemudian meminta aku keluar dari ruang isolasi. Seakan ingin memberitahu sesuatu.
“Bapak saya, kenapa dipindah kesini, Dokter?”
“Bapak saya jadi dioperasi, kan?”
“Memang, keadaan Bapak saya saat ini bagaimana, Dokter?”
Semua pertanyaanku di balas raut muka tegang dari Dokter. Aku sendiri jadi ikut tegang, takut mendengar kabar yang tak menggembirakan tentang bapak.
“Mbak, keadaan Pak Joko, tadi siang semakin lama semakin menurun. Operasi pun sepertinya sudah tidak berguna lagi, karena pendarahan pada otak beliau sudah menyebar sangat luas.”
“Dokter, bilang apa!”
“Tidak perlu!”
“Kenapa, tadi siang, Bapak saya tidak langsung dioperasi, kenapaaa? Menunggu saya bayar dulu? ketakutan saya tidak bisa bayar!”
Amarahku meledak bagai bom waktu. Tak bisa lagi bicara pelan. Hanya inginberteriak memaki Dokter, yang serasa tak mengerti jerih payahku. Begitu mudah Dokter itu bilang tak berarti padahal aku sudah berusaha sejauh ini.
“Maaf, sekarang kita hanya bisa berdoa. semoga Allah memberi kesembuhan pada Pak Joko,” ujar Dokter.
“Dengar ya, Dok! tanpa disuruh pun saya sudah berdoa buat Bapak, karena itu memang tugas saya sebagai anak!” ku jawab anjuran Dokter dengan nada tinggi karena amarah.
“Dokter, yang seharusnya jaga Bapak saya baik-baik, malah tidak mejalankan tugas!” umpatan terakhirku pada Dokter karena setelah itu aku terdiam karena Bapak dan Ibu Haris mencoba menenangkanku.
“Riri, Istighfar, Nak. Istighfar?” pinta Bu Haris.
“Ini semua sudah menjadi ketetapan Allah. Riri, sebagai anak sudah berusaha, baik tenaga maupun doa. Sekarang kita serahkan kembali semuanya pada pemilik hidup ya?”
Ucapan Pak Haris menenangkanku. Aku pun melangkah gontai masuk ke ruang isolasi untuk menemani ibu. Aku duduk di samping ibu. Menggenggam tangan yang terdapat jari bapak di dalamnya. Mata ibu kemudian menatap harap padaku. Aku hanya bisa menggeleng lemah. Ibu menghela napas, tangannya yang sedari tadi menggenggam tangan bapak, sengaja di angkat agar dapat membelai rambut suaminya itu sambil berkata, “kalau Bapak sembuh, kita ke Panti Asuhan ya?” sekali lagi kulihat cairan bening itu keluar dari sudut mata indahnya yang sembab.
Aku dan ibu bergantian membacakan Surat Yasin untuk bapak, sampai pada suatu saat mesin yang terdengar bersuara mengikuti irama detak jantung bapak, tiba-tiba berubah suaranya. Suara detak jantung berubah menjadi suara lurus. Mesin pendeteksi irama jantung itu akhirnya tak menunjukkan adanya detakan.
Dokter yang berjaga pun segera mengambil tindakan. Beberapa alat yang tak kuketahui namanya mulai dipasang. Alat kejut jantung mulai digunakan. Namun sayang, setelah lima menit melakukan tindakan, suara mesin itu tetap tak berubah. Tetap lurus dan itu berarti. Menandakan nyawa bapak tak bisa diselamatkan.
“Baapaaakkk …” ku tangkupkan kedua tanganku pada mulut yang berteriak memanggilnya. Cepat kuhampiri tubuh yang terpejam itu untuk selama-lamanya . Tangisku dan ibupun pecah. Kupeluk tubuh bapak yang sudah tak bernyawa lagi.
“Bapak, kenapa tinggalin, Riri dan Ibu?” kucoba menggerak-gerakkan tubuh bapak, dengan harapan bapak bisa tersadar. Namun bapak tetap saja diam tak bergeming.
“Bapak, telah pergi dengan tenang. Bapak pergi dengan tidak menyusahkan Ibu dan Riri sama sekali. Terima kasih sudah menjadi Bapak yang baik dan selalu ada buat Riri,” kuusap rambut bapak dengan deraian air mata. Kulihat ibu juga melakukan hal yang sama.
“Bapak, tidak perlu khawatir. Biar Riri yang menjaga Ibu. Istirahat dengan tenang, karena Allah lebih sayang , Bapak.”
“Meski mata Bapak tidak bisa terbuka sekarang, tapi Riri yakin Bapak bisa liat. Bapak pasti tersenyum senang lihat Riri berkerudung sekarang , sesuai permintaan bapak. Riri berkerudung agar bapak bisa masuk surga.” Kucium dahi bapak untuk yang terakhir kali. [Tamat]

Comment