Oleh: dr. Airah Amir, Dokter RSUD Kota Makassar
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Dua pasien di depan saya saat itu adalah pasien anak yang diantar oleh petugas dinas yang berkaitan dengan anak dan perempuan.
Kejadian 3 bulan lalu ini masih lekat di ingatan. Keduanya demam, tetapi yang mencengangkan karena keduanya berstatus korban prostitusi online pada usia 16 tahun. Jika merunut pada aturan WHO, kedua pasien ini masih kategori anak. Memprihatinkan tetapi terjadi di depan mata.
Di Depok, seperti ditulis detiknews.com, Satpol PP menemukan 100 kasus prostitusi online sepanjang tahun 2022. Berdasarkan aduan masyarakat, modus prostitusi online banyak terjadi di sebuah indekos atau kos-kosan.
Banyak anak jadi korban prostitusi online karena faktor pergaulan.
Sebagaimana ditulis di laman epaper.mediaindonesia.com, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak mengatakan bahwa mereka lebih banyak hanya ikut-ikutan supaya dibilang kekinian.
Alasan lain adalah adanya tuntutan hidup mewah dan juga karena terpaksa untuk membiayai kehidupan sehari-hari dan untuk biaya pendidikan.
Komisi Perlindungan Anak (KPAI) seperti ditulis laman tempo.co.id, mencatat tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi terhadap anak mencapai 147 kasus selama 2021.
Banyaknya kasus ini dianggap sangat memprihatinkan. Ibarat gunung es, bisa jadi jumlah sebenarnya jauh lebih banyak bahkan bisnis prostitusi ini telah bermetamorfosis menjadi bisnis prostitusi online yang jamak dijumpai di jejaring sosial.
Menjadi dilematis problem prostitusi online ini di tengah upaya pemerintah mengurangi kesenjangan digital berbasis gender yang meliputi digital skill, digital culture, digital ethic, dan digital safety. Hal yang patut disayangkan ketika cakap digital justru diarahkan ke hal negatif seperti halnya prostitusi online.
Dalam bisnis prostitusi berlaku hukum penawaran-permintaan sehingga sangat sulit untuk diberantas selama masih tingginya permintaan. Sebab bisnis prostitusi ini menjadi penawaran yang sangat menjanjikan bagi orang-orang yang terdesak kebutuhan hidup.
Keadaan ini membuat kita bertanya, apakah akar masalah kondisi ini? Pendidikan yang kita harapkan berasal dari rumah maupun sekolah tidak mampu melahirkan pribadi-pribadi yang berkarakter. Prostitusi, apalagi yang menyangkut eksploitasi anak selain melanggar norma agama juga melanggar norma budaya.
Dalam norma agama perbuatan tersebut adalah dosa besar. Jika dalam usia belia saja mereka berani melakukan bisnis prostitusi, bagaimana jika nanti saat dewasa? Tak ada yang berani menjamin bahwa mereka bisa dengan mudah keluar dari dunia prostitusi. Buktinya bisnis ini tak pernah lekang oleh perkembangan zaman.
Kondisi ini menjadi warning bagi para orangtua karena kasus prostitusi online atau Booking Online (BO) ini telah melibatkan anak di dalamnya. Kasus prostitusi yang melibatkan anak pada masa kini terjadi karena tidak menjadikan pemahaman agama yang benar sebagai standar perbuatan.
Standar kehidupan saat ini adalah asas manfaat dan kebebasan berperilaku yang merupakan penyebab munculnya berbagai macam pemikiran dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma agama dan budaya.
Atas nama kebebasan berekspresi dijadikanlah fasilitas jejaring sosial untuk mendapatkan materi dengan cara menjual diri. Asal mendapat manfaat materi apapun dilanggar, tak lagi menimbang halal dan haramnya.
Ditambah lagi tidak jelasnya tatanan kehidupan masyarakat yang mengakibatkan tidak adanya kontrol sosial akibat gaya hidup serba bebas dan individualis yang dianut oleh masyarakat saat ini.
Kian maraknya bisnis prostitusi diakibatkan oleh minimnya akses terhadap pendidikan yang diakibatkan oleh kemiskinan yang berbanding lurus dengan ketidakmampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Sedangkan lapangan pekerjaan yang tersedia amat minim. Jika pun ada, orang yang berkompetensi tinggilah yang memiliki kesempatan itu. Di bawah tekanan dan himpitan sulitnya hidup menyebabkan seseorang memilih pekerjaan tanpa memandang halal dan haram.
Semua harusnya berperan memberikan solusi terhadap masalah prostutusi anak ini dengan penerapan aturan yang terintegrasi dan menyeluruh. Pilar yang ambil bagian mestinya individu dalam hal ini keluarga, masyarakat, dan lebih besar lagi kebijakan negara. Mekanisme perlindungan terhadap anak harus dilakukan secara sistemis.
Hal yang perlu kita lakukan adalah memberikan edukasi atau kalau bahasa agamanya dakwah yang bermutu untuk menanamkan akar keimanan yang kuat kepada anak baik di keluarga maupun di sekolah. Selanjutnya kontrol sosial masyarakat harus lebih ditingkatkan dengan lebih peduli pada apa yang terjadi di sekitarnya.
Secara kebijakan, harusnya ada sanksi tegas bagi para pelaku prostitusi, pemerintah harus menghapus situs prostitusi online dan memberikan aturan terbaik sebagai upaya menghentikan akses anak terhadap pornografi dan pornoaksi.[]
Comment