Bunuh Diri di Kalangan Mahasiswa, Generasi Darurat Kesehatan Mental

Opini264 Views

 

Penulis: Eno Fadli | Pemerhati Kebijakan Publik

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Banyaknya kasus bunuh diri pada mahasiswa akhir-akhir ini, membuat semua kalangan prihatin. Hal ini tentu saja menambah deretan panjang pekerjaan rumah yang harus dibenahi oleh dunia pendidikan.

Terbaru kasus bunuh diri Aulia Risma Lestari, seorang Mahasiswi dari PPDS Anestesi Undip yang ditemukan bunuh diri di kamar kosnya pada Senin (12/8). Bertepatan dengan ditemukan jasad Aulia, juga ditemukan buku diary yang menyiratkan bagaimana Aulia tersiksa dan tidak kuat terhadap perundungan yang dialaminya selama menempuh pendidikan di Undip.

Juga ditemui kasus bunuh diri pada seorang Mahasiswi semester 11 Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang. Berdasarkan penyelidikan kepolisian dan sejumlah barang bukti yang ditemukan di sekitar korban, bunuh diri diduga dilakukan karena persoalan keuangan karena terlilit utang pinjaman online (JawaPOs.com, 17/08/2024).

Dilansir dari Kompas.com (2023) terdapat 2.112 kasus bunuh diri di Indonesia dalam 11 tahun terakhir, dengan 985 kasus atau 46,63% diantaranya dilakukan oleh remaja. Jumlah kasus ini meningkat dari sebelumnya pada tahun 2018 dengan 772 kasus dan pada tahun 2022 menjadi 826 kasus, dan menurut data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) kepolisian RI, pada periode Januari hingga Oktober 2023 mencapai 971 kasus.

Dari sejumlah kasus bunuh diri yang ditemukan pada tahun 2022 terjadi di perkuliahan sebanyak 16 kasus, di SMA 100 kasus, di SMP 55 kasus dan SD 88 kasus, sedangkan sisanya tidak terdeteksi.

Mengingat meningkatnya kasus bunuh diri pada Mahasiswa, Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Dikti Ristek) NIzam, saat di wawancarai oleh Republika co.id di Jakarta menghimbau seluruh kampus di Indonesia untuk menghadirkan kampus yang SAN yaitu kampus yang sehat, aman dan nyaman. Ini bertujuan agar Mahasiswa dapat belajar secara optimal dengan sehat fisik, mental dan psikologis, sehat finansial dan sehat sosial.

Hal ini senada dengan perkataan Dr. Imelda Ika Dian Osi, M.Psi. Sebagai seorang psikolog Imelda menjelaskan bahwa penting bagi universitas untuk mengatasi masalah ini dengan serius dengan memperhatikan faktor pemicu yaitu depresi.

Mengingat bahwa mahasiswa sering mengalami emosi negatif tinggi karena mereka berada pada masa transisi dari remaja ke dewasa, mereka harus beradaptasi dengan perubahan sosial yang signifikan, sehingga hal ini menimbulkan kecemasan yang tinggi (Sahabatguru.com, 13/10/2023).

Lemahnya mental generasi muda sehingga menghasilkan generasi rentan depresi, membuktikan penerapan kapitalisme-sekularisme justru menghasilkan buah busuk peradaban. Diterapkannya sistem pendidikan yang hanya berorientasi pada nilai materi sehingga melihat kemampuan anak didik dari sisi nilai akademis, dan kurikulum pendidikan yang diterapkan pun mengarah kepada industri. Menyiapkan anak didik dari dini agar nanti mereka mampu terjun ke dunia industri, menjadikan tujuan pendidikan yang mendasar terabaikan.

Sebagaimana tujuan dasar pendidikan yaitu untuk melahirkan generasi yang beriman, bertaqwa, berbudi luhur dan mulia. Sedangkan saat ini tidak didapati pembentukan karakter pada anak didik dalam dunia pendidikan. Kalaupun ada penanaman karakter pada anak didik, hanya transfer ilmu dan diajarkan sekedarnya saja, sehingga tidak tumbuh kesadaran yang mendalam dan tidak lahir kecerdasan secara emosi pada generasi saat ini.

Generasi muda saat ini cenderung bertindak impulsif, jika menemui suatu persoalan yang mereka anggap tidak ada jalan keluar. Dan ketika ada sedikit pemicu mereka tidak berpikir panjang dengan mengakhiri hidup mereka.

Berbeda dengan sistem pendidikan Islam, pembentukan karakter menjadi tujuan utama. Dengan landasan akidah Islam menjadikan generasi paham akan tujuan hidup mereka di dunia. Melalui kurikulum pendidikan yang berasaskan akidah, mereka akan mempunyai kecerdasan pemikiran dan kecerdasan secara emosional, sehingga melahirkan sikap dan tingkah laku yang Islami.

Menjadikan generasi mempunyai mental baja yang tidak akan mudah terprovokasi dengan masalah kehidupan yang menjadikan mereka memilih mengakhiri hidup.

Dalam sistem ini diajarkan bagaimana menguasai ilmu kehidupan. Ini didapat dari ilmu terapan seperti sains dan teknologi serta ilmu pendukung lainnya, dengan tidak meninggalkan asas dasar yaitu akidah. Ilmu-ilmu ini diperlukan agar mereka dapat meraih kemajuan secara material sehingga dapat menjalankan fungsi sebagai khalifah Allah dimuka bumi dengan baik.

Sistem pendidikan Islam terbukti melahirkan para ahli yang sampai saat ini masih menjadi rujukan peradaban, seperti dalam ilmu kedokteran Ibnu Sina sebagai bapak kedokteran modern dan penemu obat bius, dan Ibnu an-Nafis sebagai pakar siklus peredaran darah manusia dan sirkuit paru, dan dalam dunia teknologi Abbas bin Firnas sebagai seorang pakar prototipe dan pesawat terbang, serta banyak para ahli lainnya yang dilahirkan dalam sistem pendidikan yang shahih ini.

Oleh karena itu yang dibutuhkan oleh mahasiswa sebagai pilar peradaban yaitu adanya penerapan sistem pendidikan yang shahih yang didukung dengan penerapan sistem Islam lainnya seperti sistem ekonomi, sistem sosial dan sistem pemerintahan.

Sehingga dengan penerapan sistem-sistem ini akan menjadikan Mahasiswa sebagai pilar peradaban mengetahui fungsi dan tanggung jawab mereka pada peradaban.

Menjadikan mereka individu yang bertakwa yang memiliki akhlak mulia. Support sistem dari lingkungan dan keluarga juga dapat mempengaruhi perkembangan mental mereka.

Dengan adanya suasana lingkungan yang penuh ketakwaan, menjadikan mental mereka berkembang dengan sehat. Untuk itu perlu penyelesaian permasalahan Mahasiswa diselesaikan secara sistematis, sehingga persoalan Mahasiswa ini dapat diatasi dari akar dan tidak akan terulang kembali. Wallahu a’lam bishshawab.[]

Comment