Bulog Antara Utang Dan Kebijakan Pemerintah

Opini951 Views

 

 

Oleh: Suriani, S.Pd.I, Pemerhati Kebijakan Publik

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Seolah tak ada habisnya, persoalan demi persoalan terus mendera bangsa ini. Utang menjadi salah satu polemik yang hingga kini masih sulit untuk dituntaskan. Dari tahun ke tahun beban utang luar negeri yang ditanggung oleh negara terus meningkat.

Setelah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dikabarkan menanggung utang sebesar 35 triliun untuk menutupi biaya operasional sejumlah bandara baru yang mengalami sepi penumpang selama masa pandemi, kini menyeruak lagi ke permukaan kabar bahwa Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) juga mengalami nasib yang sama.

Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso membeberkan bahwa total utang pokok yang dimiliki Bulog saat ini mencapai Rp 13 triliun. Utang tersebut digunakan untuk belanja penyediaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1 juta ton. (KumparanBisnis.com, 29/12/2021)

Pembelanjaan CBP dengan pinjaman utang dari Bank tersebut harus segera dibayar oleh pemerintah. Sebab jika tidak akan semakin banyak bunga yang akan ditanggung oleh Bulog. Utang dan bunga tersebut makin menggunung karena pemerintah belum membayar utang ke Bulog sebesar Rp 4,5 triliun. Utang tersebut berkaitan dengan penyediaan bantuan beras Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan Bantuan Sosial Beras Sejahtera (Bansos Rastra).

Belum selesai persoalan tersebut, di tahun 2022 Perum Bulog berencana akan mengambil kembali utang jika mendapat penugasan dari pemerintah. Hilirisasi penugasan tersebut adalah penyerapan hasil pertanian petani dalam negeri. Misalnya penugasan penyerapan 2 juta ton beras untuk hilirisasi program pemerintah seperti Kementerian Sosial yang memanfaatkan beras Bulog atau kepala daerah yang mengambil beras Bulog untuk kepentingan karyawan.

Jika utang pemerintah terdahulu belum dibayarkan, besar kemungkinan Bulog akan kembali berhutang untuk membiayai program-program pemerintah.

Dirut Perum Bulog yang akrab disapa Buwas menekankan agar pemerintah tak hanya mengeluarkan tugas untuk melakukan penyerapan tersebut, tetapi juga harus memperhatikan pembiayaannya.

Sebab jika pemerintah tidak membayarkan biaya penyerapan tersebut hal itu akan membebani keuangan Bulog. Secara otomatis Bulog akan mendanai penyerapan tersebut menggunakan dana pinjaman yang jika tak segera dibayar oleh pemerintah semakin besar pula beban bunga yang harus dibayarkan oleh pihak Bulog. (Liputan6.com, 28/12/2021).

Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bersedia membayar sejumlah utang itu namun masih terganjal peraturan Kementerian Sosial yang memerlukan perubahan terlebih dahulu. Sampai saat ini belum ada perubahan sehingga utang tersebut belum bisa dibayar. (Kompas.com, 28/12/2021).

Penyebab lain terjadinya kerugian yang dialami oleh Perum Bulog adalah kebijakan impor pangan yang dilakukan oleh pemerintah. Tak hanya beras, pemerintah juga masih berhutang terkait penugasan impor dalam rangka cadangan stabilitas harga pangan (CSHP) gula. Sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan beras dalam jumlah yang besar.

Penyaluran bantuan dan pemanfaatan beras Bulog berdasarkan arahan pemerintah harus dilakukan secara bertahap.

Kondisi tersebut mengharuskan adanya perawatan dengan biaya yang mahal namun di sisi lain kualitas beras akan menurun dan mempengaruhi harga jual. Perawatan bahan-bahan pokok yang disimpan tersebut menjadi salah satu pemicu kerugian yang dialami Perum Bulog.

Tentu saja sikap dan kebijakan pemerintah tersebut menciptakan beban tersendiri dan merugikan Bulog. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Indra Setiawan. Dia mengatakan, penugasan untuk menjaga stok penyangga nasional tanpa kebijaka distribusi yang jelas di tingkat hilir akan memiliki dampak jangka panjang untuk pengelolaan Bulog. Indra juga mengungkapkan bahwa selama ini Bulog mengandalkan kas negara untuk pengadaan bera padahal, penugasan tersebut memunculkan biaya tambahan. (Medcom.id, 12/08/2021).

Di sisi lain, pemerintah mengizinkan sektor swasta untuk berpartisipasi dalam program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) atau kartu sembako. Hal ini memberi konsumen pilihan untuk membeli komoditas pangan yang dibeli dan didistribusikan sendiri.

Selain itu, Bulog akan terus mengalami kerugian jika bersaing dengan sektor swasta sebab pihak swasta bisa menawarkan harga beras yang lebih tinggi kepada petani dan meminta kualitas beras yang lebih baik, sedangkan Bulog tidak bisa.

Langkah impor beras tak hanya berdampak pada melemahnya sektor pertanian dalam negeri tetapi juga mematikan sumber ekonomi petani. Tak hanya itu, pihak swasta juga akan bermain dalam monopoli harga beras di pasaran yang bersaing dengan harga beras milik petani.

Pemerintah sejatinya tidak berperan sebagai regulator yang hanya sekedar memberi perintah atau mengeluarkan kebijakan dan mengabaikan aspek pengawasan, kontrol dan evaluasi.

Dalam hal jaminan ketersediaan pangan bagi masyarakat, pemerintah selayaknya tidak sekedar mengeluarkan kebijakan agar Bulog melakukan penyerapan beras untuk memenuhi CBP tetapi menyerahkan sepenuhnya pelaksaan kebijakan itu kepada Bulog.

Pemerintah meminta melakukan stabilisasi CBP tapi tidak mengucurkan anggaran pembiayaan, aka Bulog jualah yang akhirnya harus menanggung pembiayaan dan berutang dengan skema bunga berjalan.

Setiap kebijakan pemerintah harus terukur dan dibarengi perencanaan yang matang. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan harus menyiapkan anggaran memadai untuk menjalankan setiap program pemerintah terlebih jika itu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.

Alasan terhalang oleh kebijakan kementerian lain pun sangat tidak logis, sebab seharusnya tiap-tiap kementerian bekerja dengan prinsip saling memudahkan dalam rangka menciptakan kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya mempersulit dengan aturan birokasi yang rumit.

Kekeliruan pemerintah dalam upaya menjamin keberlangsungan kinerja Bulog tentuya akan berdampak pada peran Bulog itu sendiri untuk menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat. Bukan tidak mungkin, kondisi Bulog yang tengah terlilit utang akan mengundang desakan dari pihak-pihak tertentu agar kinerga Bulog dievaluasi.

Aroma kemungkinan tersebut sudah tercium, salah satunya dari CIPS, Felippa Ann Amanta menganggap bahwa keterlibatan pihak swasta berkaitan dengan impor beras dapat memperkuat upaya mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia. Menurutnya juga, pihak swasta berhak untuk diberikan kewenangan yang sama dengan Bulog untuk menciptakan persaingan sehat dan menutup kemungkinan adanya kartel beras. (CIPSIndonesia.org, 09/03/2021).

Kebijakan impor beras tak hanya berdampak pada melemahnya sektor pertanian dalam negeri tetapi juga mematikan sumber ekonomi petani. Tak hanya itu, pihak swasta juga akan bermain dalam monopoli harga beras di pasaran yang bersaing dengan harga beras milik petani.

Kebijakan ini bukan sebuah solusi yang apik. Usulan melibatkan swasta dalam upaya penyediaan bahan pangan bagi rakyat justru hanya akan memperpanjang masalah yang dihadapi bangsa ini.

Dalam Islam, pemerintah bertugas sebagai pelayan rakyat. Pemimpin rakyat dalam Islam berkewajiban untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat.

Hal tersebut memustahilkan kepemimpinan yang sekedar berfungsi sebagai regulator. Besarnya peran seorang pemimpin dalam Islam mengharuskan dirinya berada pada posisi eksekutor yang berfungsi jauh lebih strategis untuk membangun kesejahteraan rakyat. Eksistensi kepemimpinannya tidak hanya mengeluarkan kebijakan atau perintah tetapi juga wajib mengawasi dan memastikan bahwa kebijakan tersebut berjalan sebagaimana mestinya.

Islam memandang pangan sebagai kebutuhan pokok bagi masyarakat yang wajib dipenuhi oleh negara sehingga segala elemen yang berkaitan dengan pemenuhan tersebut berada di bawah kontrol langsung negara. Mulai dari mempersiapkan daerah-daerah yang bagus untuk lahan pertanian seperti memperhatikan juga peningkatan produktifitas lahan dan produksi pertanian melalui ekstensifikasi pertanian. Negara juga mendorong masyarakat untuk menciptakan pertanian secara mandiri dan tidak bergantung pada dominasi impor di sektor bahan pangan.

Negara bekerja sama dengan para ahli di bidang agronom dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian. Tak kalah penting adalah bahwa pembiayaan program jaminan kebutuhan pangan tersebut secara utuh ditanggung oleh negara. Termasuk ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai juga disediakan oleh negara. Anggara diperoleh dari lembaga keuangan dalam pemerintahan Islam yaitu Baitul Maal.

Syaikh Taqqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Sistem Ekonomi Islam menyebutkan bahwa salah satu pos pengeluaran Baitul Maal adalah pembelanjaan dalam masalah yang vital bagi umat di mana umat akan mengalami penderitaan jika hal tersebut tidak ada.

Demikian pula dalam hal distribusi, negara sangat berperan di dalamnya. Islam mengharamkan tindakan penimbunan barang-barang pangan oleh pihak-pihak tertentu, termasuk monopoli pasar dan larangan negara melakukan intervensi dalam penetapan harga sebab hal itu berpotensi menciptakaan pasar gelap.

Sistem birokrasi dalam Islam dirancang di atas prinsip memudahkan urusan rakyat, sehingga tidak dikenal dalam Islam penundaan pemenuhan kebutuhan rakyat dengan alasan jalur birokrasi yang rumit sebagaimana dalam sistem demokrasi saat ini.

Salah satu keunggulan lain dari sistem pemerintahan Islam adalah kesatuan kepemimpinan yang meliputi wilayah yang sangat luas. Sehingga seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam dengan potensi kekayaan alam yang dimilikinya akan meminimalisir kemungkinan rakyat mengalami kelangkaan ketersediaan pangan.

Bila satu daerah mengalami gagal panen akibat cuaca misalnya, wilayah lain yang mengalami surplus pangan hasilnya akan didistribusikan ke daerah yang tertimpa paceklik sehingga kebutuhan pokok mereka tetap terpenuhi.

Demikianlah sistem Islam ditetapkan oleh Allah dengan tujuan memenuhi segala kebutuhan dalam rangka menciptakan kesejahteraan bagi seluruh manusia tanpa terkecuali.

Sangat tepat kiranya jika pengaturan urusan rakyat berdasarkan perspektif Islam di atas diterapkan oleh masyarakat dan pemerintah negeri ini agar polemik seperti yang dialami Perum Bulog tak lagi terjadi.[]

Comment