Penulis: Ummu Balqis | Ibu Pembelajar
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Peraturan pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2024 terkait pelaksanaan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi polemik. Program Tapera ini banyak menuai penolakan baik dari buruh maupun pengusaha. Tersebab, program ini akan mewajibkan pemotongan gaji pekerja sebanyak 2,5% dan 0,5% ditanggung oleh pemilik perusahaan guna membantu pembiayaan pembelian rumah.
Tapera dinilai akan menambah beban rakyat. Rakyat sudah sangat terjepit dengan berbagai macam iuran, seperti pajak, iuran BPJS dan lain-lain. Tidak sepatutnya rakyat ditambah lagi beban melalui Tapera ini. Tidak hanya itu, program ini dinilai demi kepentingan pihak tertentu.
Pada laman Sindonews.com (06/06/2024), Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menyoroti, portofolio investasi dana kelolaan masyarakat yang membayar iuran untuk kepesertaaan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Nailul Huda menjelaskan, berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat, komposisi portofolio investasi dana kelolaan peserta Tapera nantinya akan dilarikan 47% ke korporasi, Surat Berharga Negara (SBN) 45%, dan sisanya di deposito.
Menurutnya, penempatan dana kelolaan ke SBN sarat akan kepentingan pemerintah, belum lagi Komisioner BP Tapera saat ini di isi oleh Menteri Keuangan, yang juga punya kepentingan untuk menyerap SBN yang sebelumnya telah diterbitkan”.
Lebih dari itu, pengelolaan dana yang sangat besar dinilai akan membuka peluang terjadinya mega korupsi sebagaimana yang sering terjadi. Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi dalam program Tapera.
Di sisi lain, gaji para Komite BP Tapera diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2023 tentang Honorarium, Insentif, dan Manfaat Tambahan lainnya untuk Komite Tapera. Disebutkan dalam Pasal 2 Perpres tersebut, Komite Tapera tidak hanya berhak mendapatkan gaji bulanan. Komite Tapera juga berhak mendapatkan honorarium, insentif, dan manfaat tambahan lainnya untuk meningkatkan kinerja.
Masih di laman Sindonews.com (30/05/2024), “Gaji untuk posisi Ketua Komite Tapera yang jabatannya ex efficio dari unsur menteri sebesar Rp32,508 juta. Lalu besaran honorarium Komite Tapera unsur profesional sebesar Rp43,344 juta. Sedangkan menteri lainnya yang menjabat anggota Komite Tapera secara ex efficio di BP Tapera mendapatkan gaji Rp29.257.200 perbulannya”.
Besaran gaji yang sangat fantastis. Sementara program ini belum tentu menjamin rakyat mendapatkan rumah yang layak. Terlebih lagi harga rumah (material) semakin hari semakin membengkak. Dengan total iuran 03% yang harus disetorkan perbulan, apakah mungkin mampu membangun/membeli sebuah rumah?
Andaikan saja gaji buruh Rp3.500.000 perbulan, lalu dipotong 03%, maka uang yang akan disetorkan sebanyak Rp 105.000 perbulan dan Rp 1.260.000 pertahun. Berati tabungan yang diperoleh selama 10 tahun hanya 12.600.000. Dengan demikian, apakah cukup tabungan 10 tahun dapat dibangun sebuah rumah? Jawabannya sudah pasti tidak cukup. Bahkan menabung selama 20, 30, 40 tahun pun belum tentu cukup untuk memperoleh rumah yang layak huni.
Pada dasarnya, Tapera bukan solusi penyediaan rumah untuk rakyat. Sejatinya program ini bentuk lepas tangan pemerintah dari kewajiban penyediaan rumah untuk rakyat. Bagaimana tidak, biaya untuk pembangunan rumah tetap bersumber dari kantong rakyat, bukan negara.
Menyediakan rumah yang layak untuk rakyat adalah kewajiban negara, bukan dibebankan kepada rakyat. Dengan adanya Tapera semakin menunjukkan lemahnya politik penyediaan rumah untuk rakyat.
Dalam pandangan Islam, rumah adalah kebutuhan primer yang wajib dipenuhi. Negara wajib berperan memenuhi kebutuhan rumah untuk rakyatnya. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh negara agar semua rakyat dapat memiliki rumah.
Penyediaan rumah bagi rakyat secara merata akan terwujud dengan penerapan sistem ekonomi islam. Di mana dalam sistem ekonomi Islam menuntut distribusi kekayaan secara merata. Saat ini harta banyak menumpuk pada orang kaya saja. Hal ini tidak terlepas dari penguasaan SDA yang melimpah ruah oleh individu/swasta.
Harusnya SDA wajib dikelola oleh negara dan hasilnya akan diserahkan kepada rakyat. Apabila ada rakyat miskin butuh bantuan rumah, maka negara memiliki dana dari hasil pengelolaan SDA.
Selain itu, negara juga harus menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya kepada para lelaki. Dengan adanya pekerjaan dan penghasilan, akan memudahkan mereka untuk membangun rumah secara mandiri.
Pada dasarnya, negara mampu membangun rumah gratis kepada rakyat dan menghapus tunawisma. Namun negara tidak serius melakukannya. Karena di level individu saja pembangunan rumah gratis mampu dilakukan. Seharusnya negara lebih mampu lagi membangun rumah gratis.
Namun apalah dikata, selama sistem kapitalisme yang diterapkan, maka kesejahteraan masyarakat tidak akan pernah terwujud. Berharap rumah gratis dari negara bagai mimpi di siang bolong.
Hanya dengan penerapan Islam, kesejahteraan akan terwujud. Pemerintaha dalam Islam memberi jaminan dan perolehan rumah bagi setiap warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Wallahu ‘alam.[]
Comment