Eka Hendry Ar*
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sehebat apapun kecerdasan buatan (artificial intelligence) masih kalah hebat dengan kecerdasan alami _(natural intelligence) yang Tuhan anugerahkan kepada Manusia.
Pernyataan ini bukan semata slogan, akan tetapi kebenaran yang didasarkan pada realitas objektif dan filosofis. Secangih apapun sistem kerja komputer, masih tidak sebanding dengan kecerdasan yang Tuhan tanamkan pada manusia.
Karena manusia memiliki fakultas kecerdasan yang jauh lebih rumit, besar dan dahsyat. Sehingga sampai kapanpun, komputer tidak akan pernah dapat menggantikan manusia.
Maka tepat kiranya apa yang dikatakan oleh Sydney Justin Harris (jurnalis Amerika) bahwa, “Ancaman nyata sebenarnya bukan pada saat komputer mulai bisa berpikir seperti manusia, tetapi ketika manusia mulai berpikir seperti komputer”. Karena ini sama halnya dengan merendahkan kemanusiaan itu sendiri.
Pikiran seperti ini penting ditegaskan, menginggat tidak sedikit manusia sekarang yang dikendalikan oleh kecerdasan buatannya sendiri. Ironi, kita memasuki era 4.0, yang ditandai oleh hegemoni kecerdasan buatan (arificial intelligence) dan internet of thing. Sehingga dituntut literasi dan kemampuan dalam penguasaan tekhnologi informasi.
Di balik segala kemudahan yang diberikan tersebut, ternyata menyimpan masalah yang tidak bisa dipandang remeh. Seperti 2 wajah Dewa Janus, satu wajah kemudahan dan wajah kemuraman.
Internet memiliki sistem penyaringan algoritma yang bekerja dengan kecerdasan buatan mendeteksi dan menganalisa situs atau informasi yang sering diakses oleh pengguna internet. Sistem tersebut menganalisa riwayat penjelajahan pengguna di media sosial, seperti riwayat klik, like, komentar dan berbagai pencarian. Termasuk situs apa yang paling sering kita kunjungi, sering dibuka, seperti kajian agama, hiburan maupun politik misalnya.
Sehingga tidak heran, secara otomatis di laman kita akan muncul tawaran berita atau situs yang berkenaan dengan riwayat yang kita miliki.
Positifnya, ini akan mempermudah mendapatkan informasi yang diminati. Namun negatifnya, dapat menutup atau menyumbat datangnya informasi lain yang berbeda.
Lambat laun ternyata penyaringan algoritma ini dapat berdampak terhadap pembentukan bias kognitif pada pengguna. Bias ini yang disebut dengan filter bubble effect (FBE). Atau ada yang secara sarkas menyebutnya “penjara bubble algoritma”.
Menurut Elli Pariser (orang pertama yang menggunakan istilah ini) bahwa filter bubble adalah dunia yang dibangun dari kesamaan atau hal yang familiar.
Kemudian membentuk ekosistem informasi personal (personal ecosystem of information). Namun yang kadang tidak kita sadari, sebenarnya kita telah masuk ke dalam perangkap kognitif tertentu, yang disebut efek echo chamber. Di mana kita sebenarnya sedang menciptakan terowongan kebenaran secara eksklusif. Karena bahan-bahan yang kita akses dan “menghampiri” adalah yang berhubungan dengan kecenderungan pengguna.
Dalam terowongan tersebut, pengguna terus memperdalam ruangnya, dengan bacaan yang menjustifikasi apa yang diyakini. Lambat laun kita tenggelam dalam gaung yang mengitari ruang terowongan tersebut.
Padahal kita sebenarnya hanya “ribut” atau “ramai” dengan gaung kita sendiri. Semakin lantang kita bersuara semakin besar gemanya, semakin besar pula over confident atas kebenaran yang kita yakini. Seolah-olah kita mengetahui semua hal yang terjadi, padahal sebenarnya tidak.
Ini sebuah ironi, kita hidup dalam keberlimpahan dan heterogenitas informasi dunia yang borderless, namun sejatinya kita tersesat dalam “lorong sempit” yang kita rintis sendiri.
Jadi bubble algoritma ini kemudian membentuk algoritme sosial media, yaitu pembelahan sosial berdasarkan bacaan atas kecenderungan pengguna.
Lorong-lorong ini terjadi dalam kontek politik, budaya, ilmu pengetahuan dan termasuk agama. Orang yang sering mengakses satu model beragama tertentu, secara perlahan akan “digiring” ke dalam bubble algoritme model beragama tersebut.
Jiwa ka bacaan atau informasi tentang pemikiran liberal yang sering diakses, maka lambat laun ia akan masuk dalam bubble liberal. Seakan-akan pemikiran liberal sebagai satu-satunya kebenaran. Demikian juga kalau bacaan dan informasi tentang fundamentalis maka ia akan terus tergiring dalam bubble fundamentalis.
Maka pandangan fundamentalis yang dianggap paling benar, paling otentik dan paling suci. Karena informasi tentang bidang yang diminati akan datang dengan sendirinya. Semula baik-baik saja, namun lama kelamaan akan terbangun kebenaran yang monolitik, serta pengabaian terhadap kemungkinan pandangan lain yang berbeda.
Hal ini terjadi karena bubble algoritma ini selain menimbulkan efek echo chamber, juga menyebabkan bias koginitif. Di mana dalam bias kognitif mengandung bias konfirmatif dan afinitif. Bias konfirmasi yaitu kecenderungan menilai kebenaran berdasarkan pendapat yang mendukung keyakinan dan kebenaran kita. Sedangkan bias afinitif yaitu kecenderungan hanya menyetujui pendapat orang yang memiliki kesamaan ideologi, kepentingan politik maupun pandangan agama.
Tidak penting esensinya benar atau salah, sepanjang mendukung keyakinan dan kepentingan, maka itulah “kebenaran”.
Maka wajar jika kemudian manusia akan terpolarisasi kedalam eksklusifitas kebenaran yang sempit (narrow minded). Klaim kebenaran _(claim of truth)_ dan klaim paling selamat (claim of salvation) akan semakin menguat, bukan atas dasar pengujian dan perbandingan, akan tetapi berdasarkan “dunia yang dikontruksi” sendiri tanpa sadar.
Fenomena ini setidaknya sedikit menjawab mengapa semakin dunia mengglobal, informasi tentang segala hal berlimpah, kemudahan akses mencari informasi, tetapi sikap dan pandangan manusianya semakin picik dan bersumbu pendek.
Demikian halnya dengan, mengapa eksklusifitas beragama dan keterbelahan masyarakat dalam konteks politik semakin hari semakin memburuk.
Sinyalemen ini harus cepat disadari oleh para orang tua, para guru dan agamawan.
Agar kita dapat melakukan enmalig atau interupsi, agar kita bisa keluar dari lorong echo atau bubble homogenitas dan monolitik yang membuat kita semakin “menyepi” dari hiruk pikuk keberagaman.
Seyogyanya pikiran dan pandangan agama dibuka demi menyerap berbagai rupa pengetahuan dan informasi.
Sehingga terbangun inklusi sosial, inklusi politik, inklusi budaya dan inklusi beragama. Kita butuh “alun-alun terbuka” tempat perjumpaan beragam pikiran dan gagasan. Agar terjadi proses saling menguji, dan saling serap menyerap manfaat antara satu dengan lainnya.
Mulai sekarang, kita mesti sadar, internet dengan segala kecanggihannya pada dasarnya hanya instrumen positif. Silakan memanfaatkan sesuai dengan apa yang ada (leafroging advantages), namun ingat, tetap kita yang harus mengendalikannya. Literasi tidak sekedar pemanfaatan, tapi juga berkenaan dengan dampak yang diimbulkannya.
Kemudian, tanamlah kesadaran bahwa kita harus membuka diri terhadap informasi yang lain, termasuk yang berbeda dengan kita. Selain agar kita dapat menguji keajegan pikiran dan pengetahuan yang kita yakini, juga membuat kita menyadari bahwa dunia ini tidak hanya selebar daun talas.
Sikap merasa benar sendiri sejatinya juga bertolak belakang dengan prinsip agama. Dalam Al Quran disinyalir agar kita tidak mudah mengklaim, karena yang tahu sebenarnya akan kebenaran adalah Tuhan (Qs. An Najm:32).
Dengan demikian akan mewujud pikiran agama yang kosmopolit dan terbuka, sebagai modal dasar hidup di era kekinian.[]
*Penulis adalah Dosen IAIN Pontianak
Comment