Oleh: Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T, Dosen dan Pemerhati Sosial
__________
RADARINDINESIANEWS.COM, JAKARTA — Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2022 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diteken 6 Januari 2022, menuai kritik dari banyak pihak. Di tengah luka yang makin menganga, rakyat disuguhi beragam kebijakan yang memperparah kondisi.
Masalah di negeri ini sangat kompleks mulai dari kelangkaan minyak goreng, kasus JHT, mahalnya kedelai impor, bencana alam, islamofobia dan segudang problem lainnya.
Di tengah kompleksitas persoalan tersebut, kini terbit Inpres terkait BPJS. Rasanya kebijakan demi kebijakan makin memperjelas kerusakan sistem sekuler kapitalis yang diemban. Negara tidak optimal (kalau tidak mau disebut abai) dalam melayani rakyat. Bahkan fatalnya, pemerintah sering kali melanggar perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya.
Sebagaimana diwartakan banjarmasin.tribunnews.com (22/2/2022), pemaksaaan masuknya syarat kepesertaan BPJS tak sejalan dengan Permenpan-RB No.26 Tahun 2020 Tentang Pedoman Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi.
Dalam Permen tersebut mengamanahkan setiap birokrasi untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih aman, lebih murah, lebih cepat, lebih mudah dijangkau, dan partisipatif.
Hal berbeda diungkapkan Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, yang mengatakan bahwa informasi yang tersebar ke publik banyak tidak tepatnya. Menurutnya, isu utama dari Inpres tersebut adalah bagaimana kehadiran pemerintah atau negara memastikan seluruh masyarakat memiliki perlindungan sosial bidang kesehatan (tribunnews.com, 24/2/2022).
Jika dicermati ungkapan di atas, rasanya rakyat sudah muak dengan permainan diksi dari regulasi yang diterbitkan pemerintah. Banyaknya produk hukum sebelumnya juga menuai polemik, membuat rakyat menjadi antipati. Misal UU sapu jagat Ciptaker, Permen PPKS, UU HIP, UU Minerba, dan lainnya.
Sebagaimana dilansir suara.com, (14/12/2021), Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Persi Daniel Wibowo mengklaim bahwa indeks harga pembayaran klaim tidak naik secara signifikan. Data historis unit biaya tarif rawat jalan dan inap selama 2015-2019 indeksnya tidak berubah. Artinya, yang diterima rumah sakit tidak naik bahkan selama perjalanannya lebih banyak pembatasan-pembatasan untuk pasien JKN.
Lebih lanjut, menurutnya pembatasan manfaat peserta JKN membuat RS tidak bisa memberi layanan maksimal kepada pasien sehingga penurunan layanan peserta juga mempengaruhi pendapatan RS.
Pro kontra di antara pejabat publik sering kali dipertontonkan dengan sangat vulgar di negara yang menganut sistem demokrasi sekuler ini. Rakyat sebagai obyek penderita hanya bisa menjadi penonton kebobrokan sistem yang ada. Alih-alih memikirkan kesejahteraan rakyat, masih saja ada oknum pejabat pemerintah sibuk dengan urusan “kantong” sendiri.
Polemik BPJS bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya sudah banyak perubahan kebijakan yang endingnya makin menyengsarakan rakyat, salah satunya kenaikan tarif per Desember 2021. Belum lagi dana yang dikorup oknum tertentu. Pun, layanan kesehatan Masih sangat minimal.
Selanjutnya Inpres ini hadir di tengah himpitan beban ekonomi, yang mengharuskan rakyat menjadi peserta aktif JKN. Layanan publik yang paling alogis adalah terkait jual beli tanah. Walau layanan lain pun tak kalah zalim seperti pengurusan SIM, SKCK, haji/umroh, dan lain-lain.
Setengah Hati Melayani Rakyat
Tak dimungkiri, berbagai persoalan yang mendera negeri ini termasuk BPJS kesehatan, adalah akibat asas paradigma berpikir yang keliru. Penguasa terkesan setengah hati dalam melayani rakyat. Banyak kartu sakti yang didesain seolah demi kesejahteraan rakyat namun fakta yang terlihat malah mempersulit bahkan menzalimi.
Bagaimana tidak, korupsi masih merajalela di banyak BUMN. Itu yang terekspose di media. Diduga kuat, persoalan kongkalikong antara birokrat dan korporat bagaikan fenomena gunung es. Jika masih berkuasa, aroma busuk itu masih bisa mereka tutupi. Belum lagi, tangan-tangan oligarki juga “bermain” di antara jeritan rakyat yang tersakiti.
Jika demikian, seyogianya menjadi perhatian bersama bahwa kebijakan yang ditempuh penguasa untuk kepentingan siapa? Tak berlebihan jika banyak pihak yang menilai bahwa berbagai regulasi dibuat bukan untuk kepentingan rakyat. Jika pun ada, hanya setengah hati. Layanan publik yang seharusnya aman, murah, mudah, dan partisipatif sebagaimana tertuang dalam Permenpan-RB di atas, hanyalah isapan jempol belaka.
Inilah karakter dasar dari sistem sekuler kapitalis. Regulasi yang dibuat seolah hanya dipersembahkan untuk sang tuan besar. Para pemilik modal bernyanyi di atas derita rakyat. Beragam kerusakan yang terjadi, sepatutnya menjadi pelajaran untuk semua bahwa sistem saat ini telah melahirkan kebijakan yang pincanh dan tidak layak lagi dipertahankan.
Sistem yang Menyejahterakan
Bercermin dari peradaban gemilang yang dihasilkan oleh sistem Islam selama kurun waktu 1300 tahun lamanya. Sepanjang masa tersebut, tidak ditemui kezaliman akut seperti saat ini. Padahal, sistem saat ini baru berusia 101 tahun. Namun, penderitaan dan kerusakan yang ditimbulkan sedemikian parah.
Negara dalam sistem Islam berkewajiban menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokok individu dan publik setiap individu rakyat. Instrumen yang digunakan berdasar hukum syara sehingga penguasa melaksanakannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Ketakwaan menjadi motivasi dahsyat untuk menjalankan amanah tersebut.
Terkait kesehatan yang terkategori kebutuhan pokok publik, negara memberi pelayanan secara murah bahkan gratis. Sejarah mencatat dengan tinta emas, bagaimana orang sakit dirawat dengan sepenuh hati dan sangat manusiawi. Kondisi RS dengan fasilitas yang nyaman dirasakan semua orang, tanpa beban administrasi yang berbelit-belit.
Pelaksanaan hukum syara secara paripurna menjadikan ketakwaan individu tercipta. Jangankan kebutuhan pokok publik, kebutuhan pokok individu pun terpenuhi dengan sangat luar biasa. Inilah sistem yang mampu menyejahterakan. Sistem yang bersumber dari zat Mahasempurna, pencipta manusia dan seluruh isi semesta. Wallahua’lam bish Showab.[]
Comment