Oleh: Rindyanti Septiana, S.H.I, Pengasuh Majelis Darun Nawawi Sumut
________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Salah satu kunci keharmonisan rumah tangga terletak pada komunikasi di antara pasangan suami istri. Hal itu juga dijadikan sebagai cara untuk mengukur kualitas rumah tangga. Oleh sebab itu, seorang istri membutuhkan ilmu untuk berkomunikasi karena apabila dilakukan dengan tepat, rumah tangga bahagia akan tercipta.
Lisan yang lembut tatkala berbicara pada suami akan semakin menambah rasa cinta di antara keduanya. Terutama saat memberikan nasihat. Hendaknya seorang istri memahami beberapa hal berikut ini.
Pertama, suami bukanlah makhluk sempurna begitu pun juga istri. Suami tak lepas dari kesalahan dan kekhilafahan. Perasaannya juga berpotensi terluka karena istrinya. Hendaknya tidak memaksakan kesempurnaan dari suami. Tidak menuntut suami mudah memaafkan jika istri pun tidak mudah memaafkan.
Salah satu keburukan istri ialah ketika ia jarang meminta maaf pada suaminya dan salah satu keburukan suami ialah ketika ia tidak berbuat baik pada istrinya. Padahal Rasul saw mengingatkan kita, “Sebagaimana kamu memperlakukan sebagaimana itu pula kamu diperlakukan.”
Kedua, istri berperan sebagai partner terbaik bagi suami. Istri mendorong suaminya dalam ketaatan dan kebaikan dengan cara makruf, melakukan sesuatu yang disenangi suaminya. Jika sudah melakukan hal ini akan semakin mudah untuk membangun komunikasi dengan suami.
Sabda Rasulullah saw, “Tidak ada simpanan yang terbaik dalam kehidupan seorang lelaki kecuali seorang laki-laki memiliki seorang istri yang membantu kehidupannya dalam persoalan akhiratnya.”
Ketiga, setiap suami membawa dua hal dalam rumah tangga, yakni;
1.bunga indah yang menjadikan istr banyak bersyukur. Contohnya, suami yang menafkahi keluarganya dengan sesuatu yang hal dan selalu mengutamakan kepentingan keluarga. Suami seperti ini tentu harus disyukuri,
2.suami yang membawa luka yang menjadikan istri banyak bersabar. Contohnya, suami tidak berupaya mencari nafkah, suka memukul, berkata kasar, dll. Ini adalah ujian dari Allah Swt untuk menguji manusia. Bersabar dan berikanlah nasihat kepada suami dengan cara yang terbaik.
Cara menasihati suami dilakukan dengan makruf. Tidak sedang dalam keadaan adanya orang lain selain suami. Sebaiknya berbicara empat mata. Seperti yang pernah disampaikan oleh Imam Syafi’i, “Kalau kamu menasihati aku di tengah keramaian manusia maka jangan salahkan aku jika aku tidak mengikuti apa yang kamu sampaikan.”
Jangan terburu-buru mengatakan bahwa suaminya berhati batu, tidak mudah menerima nasihat, sulit diajak bicara, dan sebagainya. Semestinta kita mengetahui beberapa perkara berikut ini.
Pertama, memastikan bahwa nasihat yang disampaikan berasal dari hati, bukan berdasarkan atas kepuasan emosi saja. Menyampaikannya dengan ikhlas dan biarkan kuasa Allah bekerja karena apa yang datang dari hati akan sampai ke hati pula.
Kedua, berilah nasihat dengan sabar, berulang, dan tidak langsung keseluruhan dalam satu waktu. Sebaiknya istri menjadi seorang yang paling lapang terhadap kekurangan dan kesalahan suami. Tidak mudah mengaitkan satu masalah dengan masalah-masalah yang lainnya.
Ulama salaf mengatakan bahwa Allah saja menurunkan Al-Qur’an secara bertahap selama 23 tahun karena untuk menjaga perasaan kebaikan manusia. Manusia tidak bisa menerima nasihat sekaligus banyak. Begitu pula halnya dengan nasihat yang diberikan pada suami. Tidak bisa serta merta diberikan seutuhnya dalam waktu yang sama. Membutuhkan jeda agar mudah diterima.
Ketiga, memastikan suami merupakan orang yang pertama untuk didoakan setelahnya mendoakan anak dan oran tuanya.
Jika komunikasi masih buruk dengan suami, sudah sesering apa istri mendoakan suaminya?Mendoakan untuk keselamatannya, kesehatannya, kemudahan dalam setiap perkara yang dilakukannya, dan dalam menunaikan kewajibannya sebagai seorang kepala rumah tangga.
Apakah tuntutan kita yang selalu tertuju pada suami sementara ketaatan kita masih jauh dari kata baik? Duhai istri, sesungguhnya suami lebih berhak mendapatkan doa terbaik dan di waktu mustajab dari istri. Karena suamilah yang bertanggung jawab atas segala hal yang dilakukan oleh istrinya. Suamilah yang akan ditanya oleh Allah Swt pertama kali atas semua kebutuhan yang dipenuhinya pada istri dan anak-anaknya. Lalu mengapa seorang istri sulit berlaku makruf pada suaminya?
Tanda cinta itu ialah mendoakan. Adakah itu pada hati kita selaku istri?Ataukah kita hanya menuntut apa yang kita ingingkan? Kita tak pernah meraba sebelum mengerjakan. Menikah itu bukan perkara siapa kalah dan menang. Menikah itu memahami hak dan kewajiban agar membawa keberkahan. Semoga kita sebagai istri bisa menjalin komunikasi dengan baik pada suami. Tidak banyak memprotes dan berupaya mengubah diri menjadi lebih baik untuk suami.
Firman Allah Swt., “Dan janganlah kamu melupakan kebaikan di antara kalian.” (QS Al-Baqarah: 237).
Di sela-sela menjelaskan hukum perceraian, Allah menyelipkan sebuah narasi yang indah, “Jangan pernah melupakan kebaikan yang terjadi di antara kalian.”
Setiap pasangan sering amnesia (lupa ingatan) dengan kebaikan pasangan, terutama para istri (wanita). Setiap pasangan tidak ada yang sempurna. Di balik senyuman terkadang ada kemarahan, di balik ketenangan terkadang ada riak-riak kecil yang menggoyahkan hubungan rumah tangga. Namun, janganlah setiap kekecewaan menjadi alasan bagi kita berpisah dengan pasangan.
Syekh Ali Tantawi, pernah mendapatkan pasangan yang ingin bercerai. Lalu beliau membacakan hukum-hukum tentang talak. Akhirnya sampailah pada ayat 237 dalam Al-Baqarah. Akhirnya pasangannya tidak menuntutnya lagi meminta cerai.
Allah Swt. berfirman, “ … mereka (istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…” (QS Al-Baqarah: 187).
Hal ini merupakan prinsip penting dalam rumah tangga, termasuk pula yang menjadikan kita saling menutup aib dari pasangan masing-masing. Makin banyak orang yang mengetahui masalah kita, makin sulit untuk menyelesaikan masalah rumah tangga tersebut.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa kalau ada orang yang sering curhat masalah keluarganya dengan orang lain, artinya orang itu meninggalkan Allah Yang Maha Penyayang (Rahim), lalu berlari ke makhluk yang terbatas rahimnya.
Allah Swt. berfirman, “ … kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisa: 19).
Ayat ini berarti bahwa dalam kehidupan rumah tangga tidak mungkin kita tidak menemui apa yang kita benci ada pada pasangan kita. Namun, jangan sampai hal itu menjadi alasan untuk memisahkan kita dari pasangan.
Semoga Allah selalu menjaga rumah tangga kaum muslimin, merahmatinya dan penuh dengan keberkahan. Suami istri hidup harmonis, mampu menyiapkan generasi cemerlang untuk peradaban Islam. Amin.[]
____
*Materi ini telah disampaikan dalam kajian nafsiyah Majelis Darun Nawawi dan sebelumnya telah dimuat dalam rubrik nafsiyah website muslimahnews.net. Penulis menyuntingnya kembali.
Comment