Oleh : Asma Ridha*
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kasus SMK Negeri 2 Padang yang diketahui adanya siswi non muslim yang mengenakan jilbab, berujung pada terbitnya aturan pelarangan yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah. Meski persoalan atribut ini bukanlah kali pertama mencuat ke permukaan, namun kasus saat ini dianggap penting terbitnya SKB 3 Menteri.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ( Mendikbud) Nadiem Makarim bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas resmi menerbitkan SKB 3 Menteri. (Kompas.com, 4/02/2021)
Dikutip dari sumber yang sama (Kompas.com, 5/03/2021), berikut ini 6 poin isi SKB 3 Menteri:
1. Keputusan bersama ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda)
2. Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara:
– Seragam dan atribut tanpa kekhususan agama
– Seragam dan atribut dengan kekhususan agama
“Hak untuk memakai atribut keagamaan adanya di individu. Individu itu adalah guru, murid, dan tentunya orang tua, bukan keputusan sekolah negeri tersebut,” ujar Mendikbud Nadiem.
3. Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
4. Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan.
Jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, maka sanksi yang akan diberikan kepada pihak yang melanggar
6. Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan keputusan bersama ini sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.
Kebijakan tersebut membuat pro dan kontra dari berbagai kalangan, termasuk Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Anwar Abbas mengkritik Surat Keputusan Bersama (SKB) tetsebut. Beliau mengingatkan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti dalam Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. “Ini artinya negara kita harus menjadi negara yang religius bukan negara yang sekuler,” (Republika.co.id, 4/2/2021).
Demikian pula tanggapan dari Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang penggunaan seragam sekolah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah terkait kekhususan agama. Ia menyebut SKB tersebut sebagai kebijakan yang tidak proporsional. (detiknews.com, 04/02/2021)
Kasus yang mencuat di Padang, pada dasarnya tidak ada persoalan yang signifikan. Tidak ada ketentuan Perda yang mewajibkan dan memaksa siswi non muslim untuk berjilbab.
Kesaksian dari mereka yang menggunakan juga telah jelas, bukan karena dorongan peraturan pihak sekolah, namun murni karena keinginan sendiri, pun sikap toleransi sudah sangat dilakukan. Lantas apa yang membuat keputusan Surat Keputusan Bersama (SKB) ini harus dikeluarkan?
Justru yang dikhawatirkan adalah aturan khas Minang yang sangat kental dengan sendi-sendi Islam menjadi fokus persoalan dan menjadi pemicu konflik beragama yang notabene Indonesia adalah mayoritas muslim.
Identitas muslim dalam menjalankan syariat-Nya tidaklah tepat jika hanya diterapkan pada wilayah tertentu saja, misal seperti Aceh.
Karena pada dasarnya, seorang muslim memiliki keyakinan dan kewajiban untuk menjalankan perintah Allah SWT dalam kehidupan sehari-hari, dimana dan kapan saja wajib terikat dengan syariat-Nya. Aneh, jika keputusan ini dikecualikan dari Aceh, yang notabene Padang juga sangat kental dengan nuansa ke-Islamannya.
Pendidikan Sejatinya Mendidik Untuk Mentaati Perintah Agama
Tidak semua poin dari SKB 3 Menteri ini harus dikritisi. Namun, poin-poin yang perlu diperhatikan ketika memberikan ruang dan kesempatan pada siswi untuk bertindak dengan bebas dan tanpa paksaan dalam menggunakan atribut sekolah yang sesuai agama tertentu. Padahal, pendidikan itu sifatnya mengajarkan dan mengikat.
Misal kepada siswi muslim, harusnya sekolah juga punya tanggung jawab untuk mengajarkan sejak dini cara menutup aurat. Karena tugas dari sebuah pendidikan tidak hanya menciptakan kecerdasan intelektual, namun kecerdasan emosional dan ketaatannya pada agama yang dianut adalah tanggung jawabnya.
Seorang muslimah ketika sudah baligh, secara syariat jatuh hukum taklif wajib untuk menutup aurat dengan sempurna. Senang atau tidak, hukum wajib melekat pada dirinya. Jika sekolah menerapkan aturan berpakaian muslimah kepada siswi muslim, tentunya tidak menjadi persoalan. Dan Islam juga tidak memaksa non muslim untuk melakukan hal yang sama.
Dalam Islam, justru seorang perempuan yang telah menutup auratnya dengan sempurna adalah cerminan dari perempuan yang baik dan salihah. Karena perilakunya menunjukkan ketaatan pada agama-Nya Islam yang telah mewajibkan jilbab dan Khimar sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS : An-Nur : 31, dan QS : Al-ahzab :59.
Maka, Islam sebagai agama yang sempurna telah menjadikan tujuan dari sebuah pendidikan haruslah tersusun dengan rapi dengan visi dan misi terprogram, dan tersistematis dalam membentuk anak didik agar memiliki kepribadian Islam, menguasai pemikiran Islam, menguasai IPTEK, dan memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna bagi kepentingan banyak orang.
Sungguh amat disayangkan, jika pendidikan dimandulkan dalam bidang ruhiyah, karena pentingnya untuk mentaati ajaran agama yang dianut.
Tidakkah, ini semakin menunjukkan bahwa pendidikan telah teracuni dengan pandangan sekuler yang kian menggejala.
Bukankah dambaan orang tua dan negara ingin melahirkan generasi yang terbaik dalam bidang agama maupun sains dan teknologi duniawinya? Namun, jika sekolah saja hilang fungsi edukasi untuk mentaati agama yang diyakininya, bagaimana bisa membentuk generasi yang salih dan salihah bagi agama, orang tua, masyarakat dan negara.
Rasulullah SAW bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَا أَرَاهُمَا بَعْدُ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ عَلَى رُءُوسِهِنَّ مِثْلُ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَرَيْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِجَالٌ مَعَهُمْ أَسْوَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ
“Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia“ [HR. Imam Ahmad].
Cukuplah hadits ini menjadi pengingat, bahwa tanggung jawab mengajarkan pentingnya menutup aurat bagi perempuan yang telah baligh, adalah tanggung jawab bersama, tidakcukup peran orang tua saja. Namun membutuhkan kerjasama semua pihak mulai dari sekolah, masyarakat dan negara.
Bagaimanapun Islam telah mewajibkan ketentuan menutup aurat dengan sempurna bagi perempuan yang telah baligh, dan ini bagian dari cerminan perempuan salihah yang taat pada apa yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan.Wallahu A’lambishhawab.[]
*Pegiat Literasi Aceh
_____
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.
Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.
Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang
Comment