Penulis: Ummu Rasyid | Aktivis Muslimah, Pegiat Literasi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — NATARU (Natal dan Tahun Baru) sudah berlalu, Ramadhan Sedang berlangsung. Seperti biasa, akan banyak dan lebih diperketat lagi Razia “penyakit masyarakat” termasuk razia minuman keras (miras) atau minuman beralkohol (minol). Serta penertiban tempat huburan malam.
Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung mengambil langkah tegas dengan melarang seluruh tempat hiburan malam (THM) beroperasi selama bulan Ramadan 1446 H. Peraturan ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 024-Disbudpar/2025, yang mengharuskan penutupan sementara berbagai jenis tempat hiburan sejak 28 Februari hingga 2 April 2025.
Namun di daerah lain masih banyak tempat hiburan malam yang hanya di tertibkan saja. Boleh buka namun diatur jam operasionalnya.
Pengaturan jam operasional tempat hiburan selama Ramadan menunjukkan kebijakan penguasa yang masih setengah hati memberantas kemaksiatan.
Inilah potret pengaturan berdasarkan sistem kapitalisme- sekuler yang memisahkan aturan agama dari kehidupan.
Paradigma yang digunakan asas manfaat, yang penting mendatangkan keuntungan dan pendapatan pemodal dan pengusaha, meski pun melanggar ketentuan syariat. Bahkan kehadiran bulan suci Ramadan pun tak mampu mencegah praktik kemaksiatan.
Ini bukti bahwa memang negeri ini terjerat sekularisme.Di sisi lain, adanya kemaksiatan model ini sejatinya juga menunjukkan gagalnya sistem pendidikan sekuler.
Wajarlah jika eksistensi miras, dan tempat hiburan malam tidak betul-betul diberantas selama negeri ini terkungkung dengan aturan ala kapitalisme. Aturan yang akan berpihak kepada apapun dan siapapun yang mendatangkan keuntungan materi besar. Karena dari Miras dan Minol dan tempat hiburan malam menjadi salah satu pemasukan negara dari pajak.
Miras dan tempat hiburan malam bukanlah suatu yang haram di Negeri ini. Keberadaannya tidak dilarang, tetapi diatur dan diawasi. Sementara masih banyak terjadi pelanggaran dan kelonggaran pengawasan.
Buktinya banyak anak di bawah umur yang dengan mudah mengakses dan membeli miras dan masuk ke tempat hiburan malam dan melakukan maksiat. Bahkan pengonsumsi miras dan penikmat maksiat paling banyak adalah kaula muda.
Tak heran, karena di negeri yang menganut kapitalisme-sekuler, kepentingan pemilik modal lebih didengar sementara aturan agama di kesampingkan.
Miras dan tempat-tempat kemaksiatan harus diberantas hingga ke akarnya. Di larang selamanya – bukan hanya di tertibkan dan ditutup saat Ramadhan saja. Standarnya tidak boleh untung rugi atau manfaat. Tapi harus dihapuskan semua yang bertentangan dengan syariat.
Jika sudah sangat merusak, mengapa masih saja paradigma kapitalisme yang digunakan? Padahal Islam sudah sangat jelas menyatakan bahwa semua yang memabukkan itu haram, ber kholwat, zina dll itu juga haram.
Islam menutup rapat kemaksiatan dari hulu sampai ke hilir. Memberikan hukuman yang tegas bagi siapa saja yang melanggarnya. Islam memandang bahwa menjaga keamanan, kehormatan rakyat, dan keselamatan generasi adalah tanggung jawab negara yang jauh lebih berharga nilainya dibandingkan dengan keuntungan materi.
Implementasi nilai-nilai Islam secara kaffah bukan solusi setengah hati tapi solusi tuntas semua masalah dan kerusakan yang ditimbulkannya. Dengan begitu akan mendatangkan keberkahan dari langit dan Bumi sebab Allah ridho karenanya. Menjadi Rahmat bagi seluruh alam. Wallahu’alam bishawaab..[]
Comment