Penulis: Mutiara Putri Wardana, S.Ak | Pemerhati Sosial
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pasca Operasi Tangkap Tangan atau OTT KPK di Kaltim, tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah Kantor PT FPL di Jl Sudirman, Tanah Grogot, Paser, Kalimantan Timur, Kamis (30/11/2023). PT FPL milik Abdul Nanang Ramis yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa suap pengadaan barang dan jasa pada proyek jalan di Kalimantan Timur.
Diketahui, dalam kasus ini KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka adalah BS, NM, ANR, HS, BBPJ dan RF.
Inilah ekses kesombongan manusia yang tidak mau diatur dengan aturan Sang Pencipta. Padahal telah nampak berbagai kerusakan dari aturan yang dibuat sendiri oleh manusia, karena pada dasarnya manusia membuat aturan kehidupan bersandarkan pada akal yang sifatnya terbatas dan nafsu yang tidak akan pernah puas. Tak peduli halal haram semua dilibas jika menguntungkan.
Ditambah lagi hukuman yang diberikan kepada koruptor tak sebanding dengan apa yang telah diperbuat, parahnya lagi para napi koruptor diberikan berbagai fasilitas di penjara dan sesudah bebas masih diterima dengan baik untuk bisa menjabat posisi yang tentunya bukan kaleng-kaleng. Maka tak heran kasus korupsi tidak pernah punah karena sistem yang ada sangatlah memotivasi tindakan mereka.
Kasus korupsi adalah kasus teratas yang harus diberantas yangmana semestinya negara memaksimalkan kebijakan untuk mencegahnya. Dapat dikatakan bahwa korupsi adalah permasalahan sistemik, karena sistem kapitalisme yang diemban hari inilah penyebabnya. Sistem kapitalisme menjadikan aspek ekonomi sebagai aspek yang paling menonjol.
Dalam kapitalisme penguasa dan pengusaha bak sejoli yang menjadikan negara yang dipijak tak ubahnya sebagai sebuah negara korporat. Sistem ini senantiasa menjadikan profit oriented sebagai standar kebijakan.
Hal ini tentu tidak akan terjadi dalam sistem Islam, dalam sistem Islam untuk memberantas korupsi ada beberapa upaya yang harus dilakukan.
Pertama, dengan sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik bila gaji mereka tidak mencukupi. Karena para birokrat tetaplah manusia biasa.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah, “Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).
Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, “Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Sebab pasti ada udang di balik batu jika orang tertentu memberikan hadiah kepada aparat.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.
Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin menjadikan kepemimpinannya sebagai wujud taqwa. Dengan taqwa, seorang pemimpin akan menjadikan kepemimpinannya sebagai sebuah amanah yang akan dipertanggung jawabkan di dunia dan akhirat. Bukan untuk memperkaya diri.
Ketika Abu Hurairah diutus oleh Rasulullah seorang kepala negara, untuk mengambil jizyah dan kharaj dari warga yahudi, mereka berusaha menyuap utusan Rasulullah tersebut dengan mengumpulkan perhiasan istri-istri mereka dan anak-anak mereka dengan maksud agar Abu Hurairah mau mengurangi jumlah pungutan yang diambil.
Namun dengan tegas Abu Hurairah menolak hal tersebut. Kelompok Yahudi tidak lantas marah, mereka mengatakan, “Andai saja para pejabat negara seperti Anda, niscaya langit dan bumi akan tegak selamanya.”
Inilah teladan yang Abu Hurairah berikan. Sebab aqidah Islam lah yang menjadi kontrol diri seorang pejabat melakukan sebuah tindakan.
Kelima, hukuman setimpal. Hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah bersifat jawabir dan jawazir. Jawabir berarti hukuman yang diberikan pada pelaku di dunia, akan meringankan siksanya di akhirat kelak. Dosa si pelaku akan dihapus oleh Allah dan tidak akan dihisab lagi.
Sedangkan jawazir, artinya hukum yang berlaku sebagai pencegah terulangnya kemaksiatan yang sama. Efek jera seperti inilah yang harus ada dalam sebuah hukuman atau sanksi, dengan tujuan agar calon-calon pelaku yang hendak berbuat kriminal berpikir ulang untuk melakukan aksinya.
Jika merujuk pada aturan Islam, koruptor akan dikenai hukuman ta’zir yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat-ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kasus atau kerugian yang dialami negara.
Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Maka dari itu mengoreksi kebijakan penguasa merupakan wujud amar ma’ruf nahi munkar.
Di masa sahabat tindakan serupa pernah terjadi, namun saat itu ulama adalah penasihat penguasa. Sehingga mereka senantiasa mengingatkan saat ada tindakan yang menyimpang.
Saat itu khalifah Ja’far berangkat haji dari Baghdad ke tanah suci dengan menyertakan rombongan. Seorang ulama berdiri menasihatinya seraya mempertanyakan dana yang digunakan sang khalifah untuk memberangkatkan mereka.
Ulama itu adalah Sufyan ats-Tsauri. Inilah kesinambungan antara ulama dan penguasa. Dan inilah salah satu contoh pentingnya social control itu.
Ketujuh, kompeten dalam menjalankan amanat yang diberikan. Rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Rasulullah pernah bersabda, ”Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR al-Bukhari)
Jalan satu-satunya untuk memberantas korupsi adalah dengan kembali mengemban sistem Islam kaffah. Menjadikan syara’ sebagai kedaulatan haqiqi. Insya Allah tak hanya masalah korupsi, permasalahan lain yang muncul akibat dari sistem rusak ini pun akan mampu teratasi secara tuntas. Wallahu a’lam.[]
Comment