Penulis: Mesi Tri Jayanti, S.H | Muslimah Peduli Generasi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Sungguh menyayat hati ketika bencana demi bencana terjadi beruntun akhir-akhir ini di berbagai pelosok negeri. Tingginya intensitas hujan diketahui menyebabkan bencana alam di sejumlah daerah. Di antaranya banjir bandang (galodo) dan longsor di Sumatera Barat yang berdampak pada lima kabupaten/kota, yakni Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang, Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Padang. Akibatnya, Tercatat hingga saat ini sudah 67 orang ditemukan korban meninggal dunia. seperri ditulis detikNews (16/05/2024).
Banjir yang terjadi diperparah dengan terbawanya material vulkanik dari Gunung Marapi melalui sungai karena hujan lebat di sekitar puncak. Selain itu, 193 rumah di Kabupaten Agam dan 84 rumah di Tanah Datar mengalami kerusakan. Sejumlah infrastruktur, seperti jembatan dan masjid, juga rusak. Lalu lintas dari Kabupaten Tanah Datar menuju Padang dan Solok pun lumpuh total. (BBC Indonesia, 13/05/2024)
Masih di wilayah Sumbar, hanya berselang beberapa waktu dari bencana banjir dan longsor yang terjadi sebelumnya di bulan Maret. Empat daerah yang terdampak yakni Padang, Pesisir Selatan, Pasaman Barat, dan Limapuluh Kota, dengan daerah yang terdampak paling parah adalah Padang dan Pesisir Selatan.
Akibatnya, akses jalan Sumbar-Bengkulu terputus di wilayah Pesisir Selatan dan akses Padang-Solok terputus di Kecamatan Lubuk Kilangan, Padang. Di Pasaman Barat dan di Pesisir Selatan, banjir dilaporkan menyebabkan masing-masingnya satu jembatan penghubung terputus. Sedangkan di Limapuluh Kota, banjir bandang terjadi di Kecamatan Sitijuh Limo Kaum. (Kompas,08/03/2024).
Meski kini berganti bulan, banjir masih juga terjadi di banyak kawasan dan penguasa tampaknya kurang sigap melakukan antisipasi untuk daerah-daerah lain, padahal musim hujan masih berlangsung. Banjir yang melanda pun bukanlah banjir biasa, tapi sudah memakan puluhan korban jiwa.
Pemerintah bisa saja berdalih bahwa kondisi topografi wilayah Sumatera Barat memang rawan bencana. Namun demikian, kita tidak bisa mengelak bahwa salah satu penyebab banjir adalah kerusakan alam dan lingkungan.
Faktanya, laporan lembaga-lembaga masyarakat sipil seperti LBH Padang dan Walhi melaporkan berbagai proyek eksploitasi atas alam dan sumber dayanya secara massif telah dan akan dilakukan oleh barbagai korporasi yang telah bekerjasama dengan pemerintah.
Bahkan, ekploitasi alam pun perlahan diikuti oleh oknum-oknum personal di berbagai tempat mulai dari penebangan pohon secara liar dan membuka lahan atau pertambangan ilegal. Selain itu, proses alih fungsi lahan yang bersamaan dengan pembangunan ugal-ugalan tanpa memperhatikan AMDAL, juga berpeluang besar menyebabkan banjir bahkan tanah longsor.
Akibatnya ekosistem alam berubah secara drastis, hutan-hutan mulai gundul di bagian hulu maka setiap saat lbencana alam seperti banjir, longsor hingga banjir bandang yang disertai dengan tanah langsor yang membawa potongan kayu hasil penebangan liar. Ancaman ini makin menggila seiring gunung Merapi yang kini aktif mengeluarkan debu atau banjir lahar dingin yang menyapu wilayah sekitarnya.
Misalnya, pembalakan hutan dan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di dalam dan sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), juga penambangan emas di kawasan penyangga TNKS. Data Auriga Nusantara menunjukkan bahwa tutupan sawit dalam kawasan hutan di bentang alam Seblat meningkat dari 2.657 hektare menjadi 9.884 hektare pada periode 2000—2020. Bisa dibayangkan betapa luasnya hutan yang digunduli tersebut.
Selain itu yang memperparah bencana adalah pembangunan ilegal di Lembah Anai, Kabupaten Tanah Datar. Kita ketahui daerah ini telah menjadi tempat wisata yang ramai, padahal Lembah Anai merupakan kawasan hutan lindung dan cagar alam. Karena daerah tersebut rawan bencana, banjir besar yang terjadi pada Sabtu (12-5-2024) menyapu bersih kafe dan pemandian.
Pada awal 2023, Dewan Sumber Daya Air sudah merekomendasikan agar kawasan tersebut ditertibkan dan jangan ada aktivitas yang mengumpulkan banyak orang. Namun, peringatan tersebut tidak mendapatkan tanggapan serius dari pemerintah setempat.
Akhirnya, siapa saja yang menabur angin, ia akan menuai badai. Bencana alam beruntun di Sumatera Barat belakangan ini sejatinya bukanlah teguran dari Allah SWT semata, tetapi wajah dari keserakahan manusia yang telah merusak alam. Selama ini, krisis lingkungan sudah menumpuk dan tidak pernah diselesaikan dari akarnya sehingga bencana parah tidak terhindarkan.
Miris, selama ini kebijakan pembangunan berlangsung eksploitatif sehingga memberikan dampak buruk pada lingkungan. Pemerintah hanya fokus menggenjot peningkatan ekonomi tanpa memperhatikan AMDAL dan kelestarian lingkungan, padahal keuntungan ekonomi yang diperoleh tidak sebanding dengan kerugian yang ditanggung akibat kerusakan lingkungan.
Pembangunan yang eksploitatif merupakan ciri khas pembangunan kapitalistik yang menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama. Negara lebih mementingkan pendapatan negara dari pajak yang disetor para pengusaha tetapi kurang mempertimbangkan kerusakan dan dampak yang ditimbulkan.
Alhasil, kebijakan pembangunan eksploitatif menjadikan negeri ini langganan bencana. Bencana ini akan terus terjadi ke depan jika tidak kita hentikan dengan mengubah arah dan kebijakan pembangunan.
Sesuai lah dengan bunyi firman Allah SWT yang artinya : “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum [30]: 41).
Pembangunan dalam sistem Islam ditetapkan dengan memperhatikan kebutuhan rakyat dan penjagaan kelestarian alam. Negara menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat di aspek ekonomi dan sekaligus penjagaan lingkungan karena keduanya sama-sama bagian dari riayah (pengurusan) negara terhadap rakyat.
Kebijakan pembangunan dalam Islam tidak eksploitatif apalagi destruktif karena berdasarkan pada panduan Ilahi, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.” (QS Al-A’raf: 48).
Negara dalam konsep Islam akan mewujudkan mitigasi komprehensif sehingga mampu mendorong langkah antisipasif. Dengan demikian dapat mencegah jatuhnya banyak korban dan memperkecil dampak kerusakan.
Beberapa hal yang dilakukan negara di antaranya adalah pertama, mengatur pengambilan hasil hutan agar sesuai dengan rasio yang memperhatikan kelestarian lingkungan. Kedua, mengoptimalkan pengawasan hutan oleh polisi agar tidak terjadi penebangan berlebihan. Ketiga, menggalakkan penanaman pohon untuk menjaga kelestarian hutan. Keempat, mengawasi kondisi sungai sehingga bisa mencegah hal-hal yang menurunkan fungsi sungai.
Kelima, negara tidak menjadikan sektor pariwisata sebagai andalan pemasukan kas negara. Fasilitas wisata dibangun sebagai bagian dari layanan negara pada rakyat. Pembangunan tempat wisata dilakukan berdasarkan pengkajian yang melibatkan pakar lintas bidang, termasuk lingkungan. Keenam, memberi sanksi tegas kepada pelanggar aturan pelestarian hutan, baik pelaku lapangan, pengusaha, maupun oknum aparat yang menjadi beking.
Demikianlah keseriusan sistem islam dalam upaya melakukan mitigasi komprehensif dari aspek hulu sehingga bisa mencegah terjadinya bencana dan meminimalkan jumlah korban.
Inilah saatnya kembali pada aturan Ilahi yang layak kita implementasikan demi menjaga kondusifitas alam dan lingkungan. Wallahu alam bisshawab.[]
Comment