Penulis: Rizki Utami Handayani, S.ST | Pengajar Ma’had Cinta Quran Center
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Orang miskin dilarang sakit. Begitulah ungkapan yang ada di masyarakat. Ungkapan ini timbul dikarenakan biaya untuk berobat yang tidak murah – meskipun sudah disediakan jaminan kesehatan dari negara, namun nyatanya belum bisa menyelesaikan rumitnya problem kesehatan di negeri ini.
Kesehatan adalah hak dasar semua rakyat ini merupakan kebutuhan asasi selain dari sandang, pangan, papan, keamanan dan pendidikan. Namun, hingga kini, banyak masalah kesehatan masih menimpa masyarakat kita, terutama di negara-negara berkembang. Ketidakmerataan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, mahalnya biaya pelayanan, serta komersialisasi kesehatan menjadi tantangan besar yang menghambat masyarakat mendapatkan layanan yang layak.
Hal ini berakar pada sistem kepemimpinan sekuler yang cenderung abai terhadap perannya sebagai pengayom rakyat (raa’in). Sistem ini telah mengubah kesehatan menjadi komoditas industri alih-alih hak publik yang wajib dijamin.
Ketimpangan akses merupakan masalah yang belum bisa teratasi hingga kini dan masih menjadi persoalan utama dalam sistem kesehatan modern. Ketimpangan akses terhadap fasilitas dan tenaga kesehatan. Daerah-daerah terpencil sering kali kekurangan dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya serta fasilitas memadai seperti klinik, puskesmas dan rumah sakit.
Akibatnya, masyarakat di wilayah tersebut tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal. Bahkan di perkotaan, biaya kesehatan yang tinggi menjadi penghalang utama bagi sebagian besar masyarakat untuk mendapatkan perawatan medis berkualitas.
Komersialisasi kesehatan yang menjadikan rumah sakit dan klinik sebagai entitas bisnis semata semakin memperburuk situasi. Komersialisasi kesehatan merupakan sebuah paradigma yang keliru dalam melakukan pelayanan kesehatan.
Di bawah kepemimpinan sekuler, negara sering kali hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Alih-alih menjadi penyedia layanan, negara menyerahkan tanggung jawab besar ini kepada sektor swasta. Ini menyebabkan kesehatan dikapitalisasi, menjadikannya ladang bisnis yang menguntungkan bagi segelintir korporasi.
Kebijakan anggaran yang diklaim memprioritaskan kesehatan sering kali tidak menyentuh akar masalah karena sebagian besar diarahkan untuk melayani kepentingan industri kesehatan, bukan rakyat.
Kesehatan dalam Islam tidak terlepas dari paradigma kepemimpinan dalam Islam yaitu pemimpin yang menjalankan fungsi dan peran sebagai raa’in (pengayom). Berbeda dengan sistem sekuler, Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan dasar publik yang wajib dijamin oleh negara.
Dalam kepemimpinan Islam, negara dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyatnya, termasuk dalam hal kesehatan. Pemimpin berperan sebagai raa’in, yaitu pengayom dan pelindung rakyat yang memastikan kebutuhan dasar, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan, terpenuhi tanpa diskriminasi.
Dalam pandangan Islam, kesehatan adalah amanah yang harus dijaga oleh negara melalui penyediaan layanan kesehatan yang gratis, berkualitas, dan merata. Jikapun berbayar maka harus terjangkau. Negara dalam konsep Islam tidak hanya berperan sebagai pengatur, tetapi juga sebagai penyelenggara utama layanan kesehatan.
Anggaran kesehatan dalam Islam diambil dari Baitul Mal, yang bersumber dari zakat, jizyah, kharaj, serta sumber-sumber pendapatan lainnya yang sesuai syariat, karena dalam Islam pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara seperti sekarang.
Dengan demikian, negara memiliki sumber daya yang cukup untuk memastikan kesehatan rakyat terjamin tanpa harus membebani mereka dengan biaya yang mahal.
Sejarah emas di era kekhilafahan Islam dalam hal j
Jaminan kesehatan di era kejayaan islam menjadi bukti jika kepemimpinan Islam telah berhasil memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Dalam sejarah peradaban Islam, terdapat banyak bukti bagaimana Islam mampu menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas dan merata. Salah satu contoh gemilang adalah pada masa
Di masa Abbasiyah, berdiri banyak rumah sakit besar seperti Bimaristan di Baghdad. Rumah sakit ini tidak hanya melayani pasien tanpa memandang status sosial atau agama, tetapi juga menjadi pusat penelitian dan pendidikan kedokteran yang menghasilkan banyak ilmuwan terkemuka.
Di bawah naungan Islam, rumah sakit tidak hanya sekadar tempat untuk mengobati penyakit, tetapi juga menjadi simbol tanggung jawab negara dalam memastikan kesehatan rakyat. Semua pelayanan diberikan secara gratis, termasuk obat-obatan dan fasilitas rawat inap.
Selain itu, negara juga memperhatikan aspek preventif kesehatan melalui edukasi kepada masyarakat tentang kebersihan, pola makan, dan pencegahan penyakit. Banyak pula pastisipasi dari masyarakat umum khususnya kalangan aghniya (kaya) untuk mendukung fasilitas kesehatan dalam bentuk wakaf.
Keseluruhan sistem ini berjalan secara harmonis karena didasari oleh nilai-nilai Islam yang menempatkan kesehatan sebagai hak publik yang tidak boleh dikomersialisasi..
Islam sebagai agama yang sempurna tentu memiliki prinsip-prinsip sistem kesehatan Islam. Dalam Islam kesehatan sebagai hak dasar publik, kesehatan dianggap sebagai salah satu kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi odeh negara. Tidak ada diskriminasi dalam pemberian layanan kesehatan, baik berdasarkan status sosial, agama, maupun wilayah geografis.
Pembiayaan yang berbasis syariah menjadi hal yang harus diperhatikan. Anggaran kesehatan dalam sistem Islam tidak bergantung pada pajak tinggi atau utang luar negeri, tetapi dikelola melalui mekanisme Baitul Mal. Pendapatan negara dari zakat, jizyah, dan sumber lainnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk dalam sektor kesehatan.
Pelayanan yang berkualitas dan gratis adalah suatu hal yang niscaya. Islam memastikan bahwa setiap rakyat mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik tanpa biaya. Para tenaga kesehatan digaji oleh negara sehingga mereka dapat bekerja dengan fokus pada pelayanan, bukan keuntungan finansial. Penyebaran fasilitas yang merata menjadi sebuah keharusan.
Sistem Islam memberikan perhatian besar pada pembangunan fasilitas kesehatan hingga ke pelosok wilayah. Negara bertanggung jawab memastikan semua wilayah memiliki akses terhadap rumah sakit, klinik, dan tenaga medis yang kompeten.
Selain pengobatan, negara juga berperan aktif dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan. Kampanye kebersihan, pola makan sehat, serta pencegahan penyakit menjadi bagian integral dari sistem kesehatan Islam.
Sistem kesehatan Islam tidak hanya relevan pada masa lalu, tetapi juga sangat aplikatif untuk menjawab tantangan kesehatan modern. Implementasi dalam konteks modern dengan menjadikan negara sebagai penyelenggara utama layanan kesehatan, beban biaya yang selama ini dipikul oleh rakyat dapat dihilangkan.
Selain itu, pengelolaan anggaran yang sesuai syariah memastikan bahwa dana publik digunakan secara efektif dan transparan untuk kepentingan rakyat.
Dalam konteks global saat ini, adopsi prinsip-prinsip Islam dalam sektor kesehatan dapat menjadi solusi bagi negara-negara yang menghadapi masalah ketimpangan akses dan komersialisasi layanan kesehatan.
Hal ini memerlukan perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan, dari kepemimpinan sekuler menuju kepemimpinan yang berlandaskan syariat Islam.
Kesehatan adalah kebutuhan mendasar yang tidak boleh diabaikan. Sistem sekuler yang menjadikan kesehatan sebagai komoditas telah gagal memberikan solusi bagi masyarakat. Sebaliknya, Islam menawarkan sistem yang menempatkan kesehatan sebagai hak publik yang wajib dipenuhi oleh negara.
Dengan menjadikan pemimpin sebagai raa’in, Islam mampu menyediakan layanan kesehatan yang merata, berkualitas, dan gratis untuk seluruh rakyat. Melihat sejarah kejayaan islam dan upaya menjamin kesehatan rakyat, sudah saatnya umat Islam kembali pada konsep Islam itu sendiri.
Hanya dengan sistem kepemimpinan Islam, jaminan kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat dapat terwujud dan tidak ada lagi ungkapan, ‘Si miskin tak boleh sakit’. Wallahu ’alam bishowab.[]
Comment