Penulis: Wallyah Maulidyah Sarmadan | Mahasantriwati Cinta Quran Center
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Rakyat Indonesia menyorot kinerja presiden Prabowo Subianto yang tengah memulai berbagai program baru dan merupakan bagian dari misinya selama lima tahun ke depan. Beliau menghadiri begitu banyak konferensi serta rapat berskala nasional dan internasional – salah satunya adalah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Economic Cooperation (KTT APEC) pada Jumat, 15-16 November tahun ini, berhelat di Lima, Peru.
Menurut artikel yang dipublikasikan Bisnis.com, tujuan keikutsertaan Indonesia dalam KTT APEC kali ini adalah untuk memperkuat kerjasama bilateral Indonesia dengan negara-negara Asia-Pasifik lainnya untuk memperkuat hubungan dagang, meningkatkan investasi, dan menginisiasi kerjasama saling menguntungkan.
Salah satu yang menarik perhatian adalah langkah Indonesia untuk memantapkan hubungan dengan Kanada sebagai rekan kerjasama ekonomi dan inovasi teknologi.
Dalam wawancara singkat oleh wartawan Liputan6, Prabowo menyatakan bahwa keinginan utama pemerintah dalam KTT ini adalah mewujudkan perdagangan yang teratur, bebas, dan adil.
“Kami ingin perdagangan yang teratur, bebas, tapi adil,” tegasnya.
Tentu kita telah mengetahui bagaimana perdagangan yang teratur dan adil, namun tidak halnya dengan perdagangan yang bebas.
Apa itu perdagangan bebas?
Perdagangan bebas merupakan suatu kegiatan jual beli produk antar negara tanpa aturan atau birokrasi rumit yang mengatur perdagangan bebas dalam suatu negara. Sehingga baik negara, perusahaan, atau perorangan sekalipun dapat menjual produk yang diciptakannya di luar negeri.
Begitu pula sebaliknya, negara lain pun dapat menjual produknya di dalam negeri sehingga konsumen dapat mendapatkan barang-barang kualitas internasional dengan mudah dan dengan harga yang relatif terjangkau.
Idenya adalah bahwa beberapa negara melakukan hal-hal yang lebih baik daripada negara lain – yang berarti bahwa mereka menawarkan biaya tenaga kerja dan perlindungan lingkungan yang lebih rendah.
Membiarkan negara lain melakukan hal-hal dengan cara yang lebih murah “membebaskan sumber daya” yang secara teoritis dapat digunakan untuk investasi di dalam negeri (hukum.uma.ac.id).
Dalam sejarahnya perdagangan bebas dikemukaan oleh dua ekonom asal Inggris yakni Adam Smith dan David Ricardo yang diyakini sebagai solusi untuk memakmurkan suatu peradaban atau negara secara ekonomi, ia merupakan bagian dari sistem ekonomi liberal.
Namun, bila menilik balik pada sejarah perpolitikan Indonesia, presiden pertama kita yakni Soekarno pernah menolak mentah-mentah ajuan agar Indonesia mengadopsi perdagangan bebas.
Hal ini terjadi pada saat Indonesia tengah berada dalam masa krisis moneter tahun 1998 dan saat itu Presiden Soeharto meminta pertolongan kepada International Monetary Fund (IMF) dalam upaya mereda krisis yang dialami negara saat itu. IMF setuju untuk menolong Indonesia dengan pinjaman dana dan pengawasan oleh IMF, namun dengan beberapa syarat, salah satunya Indonesia harus mau menerapkan perdagangan bebas.
Walau pada akhirnya disetujui dan disahkan melalui penandatanganan oleh Menteri Keuangan di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dan kemudian direalisasikan dengan pengurangan subsidi dan reformasi struktural berupa Perdagangan Luar Negeri dan Investasi serta Deregulasi dan Privatisasi (Memorandum of Economic and Financial Policies, 1998).
Mengapa perdagangan bebas ditolak oleh Soekarno?
Pertama, perdagangan bebas memiliki dampak baik dan buruk, namun dampak buruk yang ditimbulkan akan berakibat lebih fatal dan berkelanjutan. Seperti kelebihan (fluktuasi) barang impor yang memakan produsen dalam negeri, meningkatnya kesenjangan ekonomi, sampai pada pengendalian ekonomi karena ketergantungan impor.
Selain itu, perdagangan bebas juga didukung oleh konsep kepemilikan bebas di mana setiap orang bebas menguasai apapun bahkan bumi dan isinya. Dengan adanya privatisasi ini, maka kekayaan bumi Indonesia bisa dikuasai oleh para pemilik modal atau biasa dikenal sebagai para kapitalis.
Pemerintah pun tidak kuasa menolak ajuan privatisasi sumber daya alam negara karena sistem birokrasi demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis yang membuat kekuasaan berada di tangan para kapitalis.
Kerugian yang dialami negara berdampak pada rakyat dengan hukum ekonomi liberal yang ditopang oleh ideologi kapitalisme liberalnya.
Ada apa dengan sistem ekonomi Indonesia?
Saat ini negara kita menggunakan sistem ekonomi kapitalis – merupakan estafet ratifikasi sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahan pada awal kemerdekaan. Presiden Soekarno telah menunjukkan gelagat penolakan terhadap sistem ekonomi kapitalis liberal ini, namun dengan lengsernya beliau dari kursi kepemimpinan dan digantikan oleh Soeharto yang saat itu didukung oleh Amerika Serikat sebagai negara pusat kapitalisme, tidak heran negara kita kembali menyambut baik sistem ekonomi kapitalis liberal ini.
Sistem ekonomi kapitalis liberal merupakan sistem ekonomi yang sakit dan menyengsarakan rakyat. Tentu banyak kritik yang bisa kita cari tahu sendiri. Namun bila membahas soal kritik terhadap sistem ekonomi ini tidak akan ada habisnya. Untuk mengetahui apakah sistem ekonomi ini adalah sistem yang baik dan perlu dipertahankan, kita dapat melihat dari keadaan ekonomi negara pencetusnya yakni Amerika Serikat.
Bila dilihat sekilas, tentu akan kita dapatkan bahwa ekonomi kapitalis liberal ini seakan kuat dan memukau sampai muncul slogan seperti American dream di kalangan rakyat dunia pada tahun 90an itu.
Namun, seiring berjalan waktu, keadaan ekonomi negara ini makin terpuruk dan yang sangat mencolok dari keterpurukan ini adalah kesenjangan ekonomi yang sudah tidak terkendali. Begitupun para pengusaha yang telah mengontrol sistem politik negara – setiap keputusan politik yang dibuat oleh pemerintah tentu akan memberikan benefit kepada para pengusaha atau setidaknya tidak akan merugikan pengusaha-pengusaha ini.
Bagaimana solusinya?
Begitu banyak solusi yang telah ditawarkan serta diteliti langsung oleh para ekonom independen namun satu yang dilupakan adalah solusi Islam. Islam memiliki solusi untuk segala masalah umat dari individu sampai negara. Dari masalah pemerintahan sampai ekonomi negara. Lantas, bagaimana solusi dalam Islam terhadap permasalahan ekonomi ini?
Islam memiliki konsep lengkap tentang ekonomi negara sampai individu – dari konsep struktural sampai non-struktural. Islam memiliki konsep kepemilikan yang lebih solutif dan adil. Konsep kepemilikan ini juga telah diterapkan dalam pemerintahan islam selama lebih tiga abad lamanya dan berhasil membawa kemakmuran ekonomi bagi rakyatnya.
Dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Ali Akbar dengan judul Konsep Kepemilikan dalam Islam, klasifikasi kepemilikan dalam Islam terbagi menjadi tiga bagian, yakni:
Kepemilikan Individu: Setiap individu berhak memiliki dan mengelola harta yang halal dari zat (tidak boleh barang yang diharamkan zatnya seperti khamr, babi, hewan bertaring, dan lainnya) ataupun cara memperolehnya (seperti melalui jual beli, waris, ataupun hadiah). Contohnya seorang petani yang memiliki sawah dari warisan dan mengelolanya, maka ia memiliki wewenang penuh atas seluruh hasil panennya selama tidak melanggar hukum syariat seperti tidak melakukan riba.
Kepemilikan Umum: Dimiliki oleh umum dan dikelola dengan keuntungan yang digunakan untuk kepentingan umum atau rakyat secara adil tanpa masuk ke kas pihak pengelola dengan pengecualian biaya pengelolaan. Semua hal yang tergolong kepemilikan umum tidak dapat menjadi kepemilikan negara atau individu.
Walau demikian, kepemilikan umum dapat dikuasai oleh pemerintah (wewenang pengelolaannya dipegang oleh pemerintah) karena ia merupakan hak seluruh rakyat di negara tersebut. Secara umum kepemilikan umum diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yakni fasilitas umum yang merupakan kebutuhan primer setiap manusia seperti air dan api, sumber alam yang secara alami menghalangi kepemilikan secara individu seperti jalan umum, barang tambang yang depositnya tidak terbatas seperti minyak, gas alam, nikel, batu bara, emas, dan lain sebagainya.
Kepemilikan Negara: Harta yang dikelola oleh negara yang keuntungannya lari ke kas negara untuk memenuhi keperluan seluruh kaum muslimin/rakyat, di mana khalifah atau negara berhak memberikannya kepada sebagian kaum muslimin/rakyat sesuai dengan kebijakannya (berdasarkan hukum syara).
Kepemilikan negara meliputi seluruh jenis harta dari kepemilikan individu namun tidak termasuk harta kepemilikan umum. Contoh harta rampasan perang, jizyah, pajak, harta yang tidak ada ahli warisnya, dan lain sebagainya.
Selain itu Islam juga melarang negara untuk berbisnis dengan rakyat bila sebagian keuntungan lari ke pihak lain yang bukan kepentingan rakyat. Misal, seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang membuka investasi secara terbuka, secara otomatis setiap keuntungan perusahaan ini akan lari kepada investornya.
Padahal BUMN adalah perusahaan negara yang tentunya akan sangat mudah untuk mendapatkan proyek dalam negeri baik berupa pengelolaan sumber daya alam ataupun proyek non-sumber daya alam. Konsep kepemilikan Islam mengatur agar sumber daya a’lam dikelola dan dipergunakan sebaik mungkin. Islam mencegah terjadinya penelantaran dan monopoli harta.
Ketika sebuah negara meninggalkan konsep ekonomi ini maka akan mengakibatkan kemunduran ekonomi di negara tersebut. Terlebih dengan konsep ekonomi kapitalis yang menguasai dunia – pasti akan cepat mengambil alih sistem ekonomi negara tersebut. Seperti yang terjadi pada Kekhalifahan Utsmani atau yang dunia lebih mengenalnya dengan Caliphate of Ottoman.
Menurut Asa’ari dalam jurnalnya yang berjudul Dampak Kapitulasi Terhadap Peradilan Turki Utsmani menyatakan bahwa kapitulasi yang terjadi pada masa kejayaan Utsmani yang berujung pada malapetaka dengan syari’at yang mulai kehilangan fungsi utamanya sebagai hukum ekonomi negara tersebut.
Hal ini berujung pada sekularisme Hukum Kekhalifahan Utsmani yang memuat materi-materi Hukum Eropa dan berakhir pada runtuhnya kedaulatan Khilafah Utsmaniyah.
Perdagangan bebas menawarkan kemudahan dalam transaksi antar negara namun dengan kemudahan ini ternyata membawa dampak buruk yang esensial. Seperti meningkatkan ketergantungan pada impor yang dapat berujung pada pelemahan ekonomi dan monopoli ekonomi. Kesenjangan ekonomi dan privatisasi berpotensi besar akan hilangnya kendali atas sumber daya alam.
Perdagangan bebas sering kali diyakini dapat menjadi solusi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, padahal kenyataannya ia lebih menguntungkan pemilik modal besar dibandingkan rakyat pada umumnya.
Indonesia yang tengah melakukan upaya maksimal dan merealisasikan perdagangan bebas sebagai hasil dari ratifikasi sistem ekonomi kapitalis, telah mengalami berbagai dampak negatif dari sistem ini, salah satunya adalah melebarnya kesenjangan sosial yang memberikan kesempatan besar bagi para kapitalis untuk mempengaruhi bahkan mengontrol kebijakan negara, sehingga kesejahteraan rakyat sering termarginalkan.
Untuk mengatasi problem ekonomi ini, Islam telah lama menawarkan solusi yang efektif dan adil – salah satunya dengan konsep kepemilikan berbasis syariat Islam yang menjamin bahwa kekayaan dikelola untuk kemaslahatan rakyat bukan dimonopoli oleh segelintir pihak. Penerapan ekonomi Islam terbukti berhasil menciptakan kemakmuran dan stabilitas dalam sejarah pemerintahan Islam.
Maka penting bagi rakyat Indonesia terkhusus pemerintah untuk mengkaji kembali sistem ekonomi saat ini dan mempertimbangkan sistem ekonomi Islam sebagai solusi yang rasional dan efektif. Wallahu’alam bishowab.[]
Comment