Oleh: Rizka Adiatmadja, Praktisi Homeschooling
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Semakin hari, penderita gangguan mental, penyakit psikologis, atau mental illness terus bertambah, mulai dari yang terkategori ringan hingga didiagnosis parah. Tren gangguan mental makin subur seiring dengan rentetan problematika hidup yang menggempur. Mengapa demikian?
Gangguan mental ini memengaruhi suasana hati, pikiran, perasaan, dan tingkah laku. Bisa datang kadang-kadang atau menyerang dalam rentang masa yang berjangka dan mengakibatkan kronis panjang.
Klasifikasi penyakit psikologis menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di antaranya: gangguan kecemasan, bipolar, skizofrenia, gangguan makan, depresi, hingga banyak yang berakhir dengan bunuh diri. Inilah definisi permasalahan kompleks terkait gangguan mental, yang seharusnya menjadi alarm kewaspadaan bagi lokal maupun global.
Riset terbaru dari Institute for Health Metrics and Evaluation University of Washington terkait Global Burden of Disease (GBD) 2019 menunjukkan bahwa gangguan kesehatan mental tetap bertahan dalam sepuluh penyebab teratas beban penyakit di seluruh dunia. Tak ada bukti pengurangan secara global pada beban ini sejak 1990.
Riset membuktikan gangguan kesehatan jiwa pada perempuan lebih tinggi dibanding pada laki-laki. Apa penyebabnya?
Menurut Ilham Akhsanu Ridho, dosen dan peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Di Indonesia perempuan rentan mengalami gangguan kesehatan mental, karena harus menghadapi beban ganda dalam keluarga dan tempat kerja.
Selain dituntut oleh sistem sosial untuk mengurus pekerjaan di ranah domestik, mereka juga dituntut bekerja untuk meningkatkan pendapatan keluarga, apalagi di kalangan kelompok yang miskin. (The Conversation, 11/10/2022)
Apakah benar dalam kurun 30 tahun gangguan mental hanya meningkat pada perempuan saja, bagaimana dengan anak-anak?
Menurut World Health Organization (WHO), orang yang menderita gangguan mental di dunia, satu dari lima anak-anak dan remaja.
Sedangkan pada orang dewasa, kondisi ini memengaruhi satu dari empat orang di dunia. Adapun dari kasus tersebut, sekitar setengahnya dimulai pada remaja di bawah usia 14 tahun. Ini merupakan usia rawan munculnya gangguan mental yang kerap terjadi.
Jika kita telisik lebih dalam, dari mana gangguan mental ini berawal?
Ada dua faktor yang menyebabkan kondisi ini menjadi semakin pelik dan rumit. Kompleksitas yang diakibatkan kondisi internal penderita, keadaan eksternal yang melingkupinya, juga karut-marut tatanan kehidupan yang semakin terjerat pengaruh kapitalisme di segala lini.
Ketidakmampuan penderita dalam mengelola setiap kondisi, termasuk ketetapan atau takdir (qada Allah Swt.) yang dinilainya buruk. Ini menjadi faktor internal yang signifikan membuat penderita semakin tertekan dan terjebak dalam penderitaan.
Sedangkan faktor dari luar atau eksternal penderita, itu bisa berupa tekanan hidup karena kesulitan ekonomi menjadi beban mengimpit, masalah pekerjaan yang sulit, relasi pertemanan yang kerap membuat rumit, keluarga menjerit, dan kesenjangan sosial yang kian melangit.
Sistem perekonomian kapitalisme memeras manusia, harus menjadikan uang sebagai alat utama pemenuh kebutuhan hidup, padahal cara mendapatkannya sulit tak terkira.
Dari tinjauan kondisi kompleksitas gangguan kesehatan ini, sudah bisa dipastikan, jika gangguan mental terkategori penyakit psikologis dan ini merupakan permasalahan sistemis. Sehingga membutuhkan solusi yang berhubungan erat dengan sistem pula.
Islam adalah sistem kehidupan yang memuat berbagai jalan keluar untuk semua problematika, termasuk mengatasi permasalahan ini secara integral.
Selain sebagai agama, Islam adalah sebuah ideologi yang diciptakan oleh Allah Swt. sangat memahami setiap bentuk masalah yang terjadi pada umat-Nya. Islam punya cara yang praktis untuk menerapkan solusi dalam menghadapi gangguan kesehatan mental.
Islam menguatkan umat dalam aspek ketuhanan, iman dan takwa menjadi pijakan utama. Mendekatkan diri pada-Nya menjadi langkah pertama dalam menata kehidupan agar dijauhkan dari gangguan jiwa.
Kesabaran, kerelaan, khusyuk dalam salat, doa yang terlantun khidmat, sepenuh keyakinan mengimani bahwa Allah Swt. sebaik-baik Zat Maha Penolong. Kepasrahan diri, rasa tawakal, dan tidak putus asa, semua itu akan melahirkan ketenangan yang hakiki, serta-merta mempermudah datangnya solusi.
Tak akan ada tren depresi atau bermudah-mudah bunuh diri. Sejatinya, hidup yang pahit adalah ladang pahala menyemai kesabaran, mengumpulkan pahala. Sesungguhnya dunia hanya sementara dan permasalahan tak akan kekal adanya.
Selain itu, maksimalitas upaya negara yang tentunya menerapkan sistem Islam yang menyeluruh di segala bidang, harus bersungguh-sungguh meniadakan pemicu dan pemacu mental illness.
Dalam bidang ekonomi, negara harus memenuhi kebutuhan rakyatnya, membuka lapangan kerja yang memadai bagi para laki-laki untuk mencari nafkah dengan maksimal. Sehingga tidak perlu ada ibu dan anak yang harus menjadi korban eksploitasi.
Dalam kondisi lingkungan sosial, negara akan membentuk suasana pergaulan yang sehat dan aman dari tindakan kejahatan, kesenjangan, segala bentuk penyimpangan, kebebasan liar, dan kanal-kanal kerusakan yang bisa mengakibatkan gangguan kesehatan mental merajalela. Tidak ada campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bisa mengakibatkan kemaksiatan terbentang dan terpajang.
Dalam bidang kesehatan negara akan melakukan rehabilitasi medis dan nonmedis terhadap penderita dengan ditangani oleh para ahli yang kapabel serta kompeten di bidang medis.
Negara pun maksimal dalam perlindungan hukum, tegas menindak pelaku kejahatan agar efek jera itu benar-benar terbukti nyata. Sehingga tak ada lagi orang yang depresi diakibatkan karena ancaman dan rasa takut dengan liarnya kejahatan orang sekitar. Wallahualam bissawab.[]
Comment