Benarkah Mahasiswa Bisa Merdeka Dengan Kampus Merdeka?

Opini850 Views

 

 

 

Oleh: Nor Rahma Sukowati, S.Pd, Praktisi Pendidikan

__________

RADARINDONESIANEWS.COM,  JAKARTA– Kecanggihan kreasi dan inovasi di tengah Pendidikan Tinggi semakin berkembang pesat. Hal ini ditengarai dengan kemunculan berbagai program untuk mewadahi kemampuan intelektualitas maupun bakat mahasiswa.

Salah satu program Pendidikan Tinggi terkini yakni Program Kampus Merdeka. Program ini menawarkan berbagai fasilitas dan kebijakan seperti pembukaan prodi baru, magang dengan perusahaan brand ternama serta mendapat berbagai fasilitas dukungan kemampuan yang lebih banyak lagi.

Maka, program ini akan membutuhkan mahasiswa dengan potensi intelektual dan kecakapan di atas rata – rata. Bukan hanya sekedar IPK tinggi namun memiliki skill yang mumpuni untuk mengejar capaian target perusahaan maupun kampus.

Tentu, para aktivis kampus lebih memiliki peluang besar untuk ikut terjun merasakan program bergengsi ini. Sebab, bekal kepemimpinan dan manajerial sudah lebih terlatih dalam beberapa kegiatan. Menarik bukan? Namun, kaum pemikir perlu menilik lebih lanjut dengan adanya program merdeka tersebut.

Apakah benar, mahasiswa mendapatkan kemerdekaan sejati setelah mengikutinya? Atau malah mahasiswa harus terkebiri potensinya demi ketercapaian sektor perusahaan maupun pendidikan menuju revitalisasi perekonomian Indonesia. Semua pertanyaan itu perlu dijawab selama pelaksanana program tersebut.

Melansir dari beberapa media, terdapat empat kebijakan penting Mendikbudristek, Nadiem Makarim yang perlu dicermati.

Pertama, program ini memberikan celah bagi PTN (Perguruan Tinggi Negeri) serta PTS (Perguruan Tinggi Swasta) untuk pembukaan program studi baru.

Kedua, adanya program reakreditasi yang dapat bersifat otomatis bagi seluruh peringkat serta bersifat sukarela bagi PT dan prodi yang siap naik peringkat.

Ketiga, Program ini juga memberikan jaminan kebebasan bagi PTN BLU (Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum) dan Satuan Kerja (Satker) agar dapat menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH).

Keempat, memberikan hak kepada para mahasiswa untuk dapat mengambil mata kuliah di luar prodi serta melakukan perubahan pada definisi SKS (Satuan Kredit Semester).

Program Kampus Merdeka, sejatinya hadir untuk menjadi pelengkap agar tiga poin utama dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi dapat terwujud yakni poin Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan, serta Pengabdian kepada Masyarakat.

Setiap PT wajib berusaha untuk meraih poin ketiganya agar dapat terwujud. Namun nyatanya kebijakan Kampus Merdeka tak lepas dari pro kontra. Salah satunya yakni lebih sarat kearah dan orientasi komersialisasi Pendidikan yang lebih mengedepankan untuk mencetak para tenaga siap kerja bukan generasi agen perubahan bangsa dan bukan pula untuk peningkatan kualitas keilmuan.

Misalnya saja, mahasiwa harus mengerahkan segala usaha dan potensi untuk mengejar capaian target selama mengambil mata kuliah di luar prodi atau dapat berupa pertukaran mahasiswa. Capaian target yang muaranya agar kampus dapat segera menduduki peringkat sesuai syarat World Class University.

Sedangkan bagi mahasiswa yang sedang magang di perusahaan ternama, kasarannya mereka bekerja mengejar capaian peningkatan industri. Tak ada yang salah dengan mengejar capaian visi misi, serta target baik di sektor perusahaan maupun pendidikan. Hanya saja, pendidikan harus kembali sesuai nilai esensialnya yakni sebagai kawah candradimuka serta mencetak manusia unggul, kritis, kreatif serta cerdas yang tidak sekedar terkungkung dalam program studi yang dipelajari. Sebab, tugas mahasiswa sangatlah berat yakni menjadi agen perubahan bagi problematika umat dan bangsa yang tak berkesudahan. Bukan malah berorientasi sebagai produk dari mesin pencetak tenaga terampil untuk kepentingan industri semata.

Kondisi Pendidikan hari ini sedang mengalami disorientasi dari yang awalnya sebagai pencetak SDM unggul beralih menjadi mesin pencetak untuk kepentingan korporasi. Iming – iming yang program Merdeka berikan memang bisa saja menjadi daya tarik tersendiri. Namun harus dipikirkan pula dampak dan resiko jangka panjang terhadap para mahasiswa.

Utamanya, peran ideal mahasiswa semakin lama akan memudar,  tergantikan oleh tugas magang maupun capaian prestasi yang sifatnya bahagia sementara dan tak berdampak pada masyarakat secara keseluruhan.

Masalah tersebut semakin menambah polemik Pendidikan di negeri tercinta.
Tentu saja komponen dari rancangan program merdeka tak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebab nafas kebebasan dari program merdeka tersebut selaras dengan adanya penerapan sistem pemerintahan Demokrasi–Kapitalisme yang sarat akan pilar kebebasan.

Benar bahwa penerapan sistem ini sudah berlangsung sekian lamanya, namun tak ada yang salah bila generasi melakukan evaluasi terhadap sistemnya?

Sebab, bisa saja kondisi Pendidikan Negeri semakin hari mengalami krisis bukan karena personal para tenaga pendidik maupun kurikulumnya namun arah Pendidikan yang tidak ideal dan kurang jelas dalam penerapan Demokrasi-Kapitalisme sekarang.

Seperti yang telah diketahui bersama, kapitalisme sederhananya adalah sebuah sistem pemerintahan sekaligus cara pandang hidup yang cenderung ke arah materi semata di berbagai keseluruhan aspek yakni ekonomi, pendidikan, politik, soal budaya, dan hankam.

Cara pandang hidup ini menuntut manusia untuk bisa mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Istilah kerennya hari ini, yakni kehidupan sekuler. Maka tak heran, hari ini sering dijumpai bahwa nasihat kebaikan hanya bisa tersampaikan lewat masjid namun tidak untuk di tempat umum, kantor atau bahkan dunia militer.

Penerapan Demokrasi-Kapitalisme ini juga menjadikan manusia bebas dalam menafsirkan berbagai pemikiran sesuai dengan keinginan hati masing – masing. Hal ini tentu berbahaya, sebab manusia akhirnya tidak dapat melihat standar kebaikan dan keburukan dengan ukuran yang pasti.

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan penerapan sistem pemerintahan Islam yang seringkali terdiskriminasikan sebagai sistem yang akan memporak-porandakan kedamaian bangsa. Padahal, sejarah sekian ribuan tahun telah membuktikan bahwa Islam pernah memimpin 2/3 dunia dan melahirkan berbagai ilmuwan.

Bukti bahwa Islam pernah dijadikan suatu sistem pemerintahan sekaligus cara pandang kehidupan bukanlah isapan jempol belaka. Hanya saja, bangsa ini perlu lebih meyakinkan diri untuk menjadi bangsa yang terbuka dan mewujudkan suatu idealitas. Tentu, idealitas tersebut sangat erat kaitannya dengan tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.

Jika memang kedua kunci ini bisa manusia wujudkan dengan penerapan sistem pemerintahan Islam? Lantas, mengapa masih banyak sebagian manusia yang menutup mata? Apakah karena Islam cukup dikenal saja sebagai agama? Padahal, khazanah Islam begitu luas dan kompleks untuk memberikan penyelesaian bagi seluruh masalah kehidupan yang ada.

Namun, jika permasalahannya ada pada keengganan dalam diri, maka manusia harus segera beranjak agar segera menjadi manusia merdeka.[]

Comment