Penulis: Widya Hartanti, S.S | Aktivis Dakwah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Merdeka! Slogan itu tengah viral di tanah air seiring dengan semakin dekatnya peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Pekikan itu lntang terdengar di panggung- panggung peringatan kemersekaan namun tak terdengar di suasana keseharian.
Berbeda dengan puluhan tahun lalu – saat para pejuang dan seluruh rakyat Indonesia tengah berjuang meraih kemerdekaan. Pekik ‘ Merdeka’ saat itu tak hanya di atas panggung namun mewarnai keseharian rakyat ini. Ia tak hanya berupa slogan tapi juga pekikan atas sebuah keinginan dan harapan terbebas dari penjajajahan. Bahkan tak hanya teriakan namun juga ditulis di sudut- sudut jalan. Tak hanya terucap di atas panggung hiburan.
Cita-cita para pejuang kemerdekaan itu telah terwujud kini. Para penjajah yang saat itu merampas hak-hak warga pribumi telah terusir. Penjajah mengambil berbagai sumber daya alam Indonesia demi memakmurkan negaranya dan menciptakan kemiskinan di negeri kita.
Ada pertanyaan yang muncul kemudian, benarkan kekayaan negeri ini sudah sepenuhnya kita miliki ? Benarkah pengolalaannya membuahkan kemakmuran bagi seluruh rakyat? Lalu pertanyaan yang lebih esensial, benarkah Inonesia telah merdeka?
Merdeka? Sejarah mencatat bahwa sang Proklamator – atas nama rakyat Indonesia- telah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia sejak 78 tahun yang lalu. Diikuti pengakuan negeri- negeri Islam atas kemerdekaan ini. Diawali oleh Mesir, Palestina, Arab Saudi hingga Yaman.
Jika kemerdekaan dimaknai dengan terusirnya pejajah yang dengan rakusnya mengambil sumber alam hingga menciptakan kemiskinan di seluruh pelosok negeri, lalu bagaimana kondisi kita setelah 78 tahun merdeka?
Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Profesor Ronnie H. Rusli. MS. PhD., mengungkapkan, bahwa Indonesia saat ini sudah tidak kaya dalam sisi sumber daya alam (SDA).
“Jangan lagi ada yang bilang Indonesia negara kaya akan SDA,” tegas Profesor Ronnie. Artinya ngomong itu nggak tahu keberadaan tambangnya yang sudah dimiliki asing,” sambungnya.
Beliau juga menambahkan hal serupa juga terjadi pada gas dan minyak bumi.
Litbang Surabaya Pagi mencatat, sumber daya alam hasil tambang di Indonesia meliputi minyak bumi, bauksit atau bijih aluminium, batu bara, besi, timah, emas, tembaga, nikel, marmer, mangan, aspal, belerang, dan yodium.
Hutan Indonesia sekitar 99 juta hektar yang membentang dari Indonesia bagian barat sampai bagian timur. Indonesia adalah penghasil batu bara terbesar kelima di dunia. Indonesia menjadi negara pengekspor batu bara terbesar di dunia karena masih minimnya pemanfaatan batu bara di dalam negeri.
Negara tujuan ekspor batu bara Indonesia adalah Hongkong, Taiwan, China, Korea Selatan, Jepang, India, Italia dan negara Eropa lainnya.
Beliau juga menuturkan beragam kekayaan alam negeri ini terus mengalami penurunan. Baik dari potensi hutan, maritim dan lainnya. Semua telah dikuasai asing.
Dalam hal kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) seperti ditulis laman CBN Indonesia (18/7/2023) mengungkapkan bahwa angka kemiskinan yang mencapai 9,36% dari total populasi Indonesia setara dengan 25,90 juta orang. Hal ini tentu saja berdasarkan angka sedangkan fakta di lapangan pasti akan sangat jauh berbeda.
Penjajahan Gaya Baru
78 tahun usia kemerdekaan tentu bukanlah waktu yang sebentar. Hampir 10 windu telah berlalu. Namun apa yang menjadi harapan masih jauh panggang dari api. Beragam permasalahan hadir di negeri ini. Menumpuk bagai tak mampu hadirkan solusi.
Apa yang terjadi di negeri tidak terlepas dari dangkalnya cara pandang soal kemerdekaan. Kemerdekaan yang dipahami hanya dimaknai mengusir penjajah secara fisik. Hal ini sangat menguntungkan para penjajah itu sendiri. Para penjajah bersedia meninggalkan daerah jajahan sembari membuat skenario cengkraman pengaruh lewat ‘orang dalam’.
Membeli para penjilat dan pengkhianat rakyat tanpa mengeluarkan banyak modal namun tetap mendapat hasil jarahan ditambah lagi dengan predikat baik dari negeri jajahan.
Inilah penjajahan gaya baru yang tengah dipertontonkan. Negara yang menjadi korban takkan menyadari sebab sudah terlebih dahulu diperdaya. Penanaman modal asing, otonomi daerah, hingga hutang adalah jebakan atas nama pembangunan. Padahal esensinya melanjutkan penjajahan secara halus.
Hal ini diperparah pula dengan penerapan sistem kapitalis sekuler yang tak menjadikan Allah sebagai rujukan. Pemberlakuan hukum disandarkan pada hawa nafsu manusia yang dilegalkan dalam undang-undang melalui proses pemungutan suara. Dengan adanya suara mayoritas maka keputusan yang diambil menjadi sah. Tanpa memperhatikan pendapat rakyat, alih-alih ‘pendapat’ sang Pencipta.
Maka tak heran jika negeri mana pun, berapapun usia kemerdekaannya tetap akan mengalami hal yang sama. Meski tentara penjajah sudah terusir tetap saja mereka terjajah secara ekonomi, politik, hukum, dan lain sebagainya.
Merdeka Ala Rasulullah
Terkait misi kemerdekaan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat kepada penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi:
«… أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ …»
…Amma badu. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)… (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, V/553).
Kemerdekaan dalam Islam tak terbatas pada deretan kata. Namun lebih pada kedaulatan untuk berbuat. Merdeka dengan cara bebas menerapkan hukum-hukum Allah yang mulia. Merdeka menyerahkan pemutus benar dan salah adalah Allah Swt. Merdeka dalam menerapkan hukum Islam secara kaffah tanpa ada kekhawatiran diskriminasi dari yang lainnya. Tentu saja mendapatkan keberkahan tanpa syarat dari Allah sebab ketaqwaan yang ditunjukkan oleh seluruh penduduk negeri. Itulah makna kemerdekaan hakiki. Terbukti kita belum merdeka dalam makna sebenarnya, kecuali hanya lepas dari penjajahan fisik.
Khatimah
Dengan beragam permasalahan yang ada harusnya perayaan Hari Kemerdekaan tahun ini menjadi momentum untuk menyadari bahwa kondisi negara kita tidak sedang baik-baik saja. Bahwa ada yang salah dalam pengaturan negeri ini. Hingga di usia kemerdekaan yang tak lagi muda justru kondisi kita justru makin memprihatinkan.
Bangsa ini harus secara sungguh – sungguh mewujudkan negara yang berdaulat. Agar mampu menentukan hidupnya sendiri tanpa bayang-bayang para penjajah. Negara yang tegas dan berani melawan segala bentuk paksaan dan ancaman dari negara lain. Negara yang berwibawa dan memiliki kedaulatan untuk menerapkan hukum Allah secara total. Sesuai dengan agama mayoritas penduduknya. Negara yang menjadi pengemban ideologi Islam dan bukan negara pengekor.
Jika hal ini belum terwujud maka jangan teriak ‘Merdeka!’. Malu kita.[]