Oleh: Dinda Fadilah, Mahasiswi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kebijakan pembelian minyak goreng curah menggunakan aplikasi PeduliLindungi mulai disosialisasikan per 27 Juni lalu. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Koordinator Penanganan Minyak Goreng wilayah Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan sosialisasi tersebut akan berlangsung selama 2 pekan.
Dilansir dari Kompas.com (27/6/22), masa sosialisasi ujar Luhut akan dimulai Senin (27-6-2022) dan akan berlangsung selama dua minggu ke depan. Setelah masa sosialisasi selesai, masyarakat harus menggunakan aplikasi PeduliLindungi, untuk bisa mendapatkan MGCR (minyak goreng curah rakyat) dengan harga eceran tertinggi (HET).
Luhut menyampaikan bahwa hal ini diberlakukan untuk memberikan kepastian akan ketersediaan dan keterjangkauan harga minyak goreng bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sementara PeduliLindungi menjadi alat pemantau dan pengawasan di lapangan untuk mencegah terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. Pembelian akan dibatasi maksimal 10 kilogram (kg) untuk 1 NIK perharinya dengan harga Rp 14.000 atau Rp 15.500 per kg.
Tak hanya minyak goreng, ternyata kebijakan pembelian lewat aplikasi juga diterapkan oleh Pertamina lewat aplikasi MyPertamina. Pembelian Pertalite dan Solar akan dilakukan lewat aplikasi ini Per 1 Juli hari ini. Uji coba ini dilakukan di beberapa kota/kabupaten yang tersebar di lima provinsi seperti Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta.
Berbeda dengan pembelian minyak goreng dengan PeduliLindungi yang disebutkan bertujuan untuk membatasi pembelian, penerapan kebijakan ini bertujuan agar konsumen yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi terdaftar dalam database.
Direktur Pemasaran Regional PT Pertamina, Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra menyampaikan lewat seminar daring pada 28 Juni lalu tujuan diberlakukan hal ini adalah mendorong reformasi subsidi dari barang ke orang, sehingga penjualan Pertalite dan Solar bisa benar-benar tepat sasaran kepada masyarakat yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi (tempo.co, 30/6/22).
Selama ini dikatakan bahwa BBM bersubsidi kian membebani APBN sehingga butuh untuk dikurangi agar tak membebani negara. Meski pihak pertamina menyatakan tidak ingin membatasi pembelian namun kenyataannya kebijakan ini ditujukan untuk membatasi penjualan Pertalite dengan hanya megizinkan pelanggan yang tepat sasaran saja seperti masyarakat yang masuk ke dalam golongan miskin.
Menanggapi hal ini, Direktur center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yhudisthira mengkritik keras kebijakan yang telah disusun pemerintah ini. Ia menilai kebijakan pembelian lewat aplikasi ini merupakan cara halus memaksa masyarakat untuk menggunakan Pertamax.
Dilansir cnnindonesia.com (29/6/22), Bhima Yudhistira mengatakan, tidak tepat dan pasti banyak yang keberatan karena ini seperti dipaksa beli Pertamax, terutama kelas menengah yang rentan. Pemerintah ingin membuat subsidi BBM ini dinikmati oleh masyarakat miskin. Padahal, ada 115 juta orang kelas memengah yang sangat rentan di Indonesia yang juga perlu mendapat subsidi. Terlebih, disparitas harga BBM subsidi dan non subsidi begitu jauh yang akan membuat pengeluaran membeli makin besar.
Kelangkaan minyak goreng beberapa waktu lalu dan harga yang jauh melambung tinggi serta BBM bersubsidi yang katanya membebani anggaran negara mendorong pemerintah dan juga Pertamina untuk menerapkan kebijakan ini.
Namun apakah hal ini akan menjadi solusi atau bahkan menimbukkan bentuk diskriminasi? Mengingat tidak semua rakyat memiliki handphone dan mampu menggunakan aplikasi PeduliLindungi ataupun MyPertamina seperti orang tua berusia lanjut yang gaptek terhadap teknologi yang berkembang pesat seperti sekarang.
Dikhawatirkan hal ini hanya akan menambah antrian panjang proses pembelian sehingga tidak efisien mengingat sarana yang juga masih terbatas.
Ditambah lagi definisi miskin tergantung situasi dan kondisi yang ada saja. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2019 rumah tangga yang berpenghasilan di bawah Rp 1,9 juta perbulan masuk kategori miskin.
Namun pada Maret 2021, menyatakan bahwa tolak ukur penduduk miskin ini mengacu pada masyarakat yang hidup dengan batas pendapatan Rp 472.525 per bulan sebagaimana dilansir liputan6.com, (15/7/21).
Hal ini menunjukkan fakta bahwa definisi miskin disesuaikan dengan situasi saja. Masyarakat yang dekat dengan garis kemiskinan ataupun kelas menengah yang rentan dianggap sudah mampu padahal nyatanya tidak.
Pembelian Pertalite dan Solar menggunakan aplikasi ini juga kontradiktif dengan pelarangan menggunakan handphone di SPBU. Bahkan di setiap SPBU terdapat arahan untuk tidak menggunakan handphone.
Sudah diketahui secara umum pula penggunaan handphone (HP) atau telepon genggam selama ini dilarang saat isi BBM di SPBU. Namun dengan kewajiban pakai aplikasi MyPertamina, otomatis konsumen wajib pakai HP. Publik mempertanyakan kebijakan terbaru ini yang dinilai kurang tepat.
Minyak goreng dan bahan bakar minyak adalah dua komoditas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Maka pemenuhannya adalah hal yang sangat penting untuk diatur.
Dalam sistem Islam, pelayanan yang diberikan oleh negara berangkat dari kesadaran bahwa negara wajib mengurusi rakyat (ri’ayah syu’unil ummah). Setiap pemimpin dalam Islam menempuh berbagai upaya pemenuhan kebutuhan rakyat. Pemenuhan tersebut bersandar pada syariat sehingga kepemimpinan berjalan atas dasar keimanan.
Kebijakan yang tepat sasaran dengan memperhatikan kebutuhan rakyat dan situasi dalam negeri juga diberlakukan. Sehingga permasalahan akan tuntas sampai ke akarnya dan bukannya menimbulkan masalah baru. Negara juga tidak menggunakan standar untung-rugi dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Dalam Islam, rakyat tidak hanya sebagai konsumen untuk diambil keuntungan darinya. Ini sangat berbeda dari sistem kapitalisme yang menjadikan keuntungan sebagai standar utama. Bahkan menganggap subsidi kepada rakyat sebagai beban, yang harusnya itu memang jadi tanggung jawab negara.
Pemerintahan dalam Islam juga mengatur pendistribusian sehingga rakyat mendapatkan hak dasar kebutuhan hidup yang sama, tidak membiarkan sumber daya alam ataupun yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat dikuasai oleh segelintir pihak saja.
Dengan demikian kelangkaan dan harga yang melambung tinggi tidak lagi menjadi masalah karena sumber bahan baku melimpah ruah. Kebijakan yang cenderung diskriminatif dan tidak tepat sasaranpun tak perlu diberlakukan. Wallahu a’lam bisshawab.[]
Comment