Beli BBM Via Aplikasi Bukan Sebuah Solusi

Opini643 Views

 

 

Oleh: Dini Nitisastro, Konsultan Hukum Dan Pemerhati Kebijakan Publik

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pemerintah resmi menetapkan pembelian BBM jenis pertalite melalui aplikasi MyPertamina per 1 Juli 2022. Seperti biasa, kebijakan ini menuai gejolak di tengah masyarakat.

Pemerintah beralasan pengaturan ini diambil agar penyaluran BBM bersubsidi tepat sasaran dan dapat menekan tingkat penggunaan BBM hingga sepuluh persen di tahun ini. Hal ini sejalan dengan ketentuan revisi Perpres No 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM seperti dikutip CNN, (29/6/2022).

Beberapa kota dan kabupaten terpilih sebagai tempat uji coba peraturan ini. Kota dan kabupaten tersebut tersebar di beberapa provinsi, di antaranya Kalsel, Sumbar, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan DIY.

Sebelumnya, April lalu pemerintah juga menaikkan BBM non-subsidi Pertamax hingga Rp 12.500 dari sebelumnya Rp 9.400 per liter. Seperti biasa, alasan yang dikemukakan tak jauh dari efektivitas subsidi dan menekan konsumsi BBM dalam negeri. Padahal sebelum terjadi kenaikan Pertamax, BBM bersubsidi Pertalite sempat langka di pasaran.

Kebijakan ini dinilai semakin mempersulit masyarakat memenuhi kebutuhannya. Tanpa menggunakan aplikasi untuk pembelian pertalite pun masyarakat sudah terbebani dengan harga BBM yang tinggi. Berbagai masalah turunan muncul di lapangan. Mulai dari masalah teknis terkait penggunaan aplikasi hingga antrean yang mengular panjang.

Seorang supir angkot di Bandung bernama Ruhiyat, misalnya, seperti dikutip kompas.com, Senin (4)6)2022) mengatakan, secara personal dirinya tidak setuju karena tidak ada manfaatnya.

Pasalnya, menurut Ruhiyat, penggunaan aplikasi MyPertamina membuat antrean di SPBU jadi begitu panjang. Suatu hal yang sangat merugikan supir angkot seperti dirinya. Jika pun nanti diterapkan sistem barcode, Ruhiyat berpendapat hal itu masih menyulitkan mengingat tidak semua supir memiliki android.

Jika demikian, masyarakat golongan ekonomi lemahlah yang kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi.
Seolah tak cukup sampai di situ, Dirut Pertamina Nicke Widiawati mengatakan bahwa pertalite seharusnya dijual seharga Rp17.200 per liter sesuai harga keekonomian seperti dikutip Republika.co.id., Rabu ( 6/7/2022).

Penekanan konsumsi BBM yang diharapkan tercapai sepertinya akan meleset. Masih menurut Nicke, pemerintah menargetkan kuota Pertalite 23 juta KL, namun diprediksi konsumsi justru naik sampai 28,5 juta KL hingga akhir tahun ini.

Dari sini saja kita bisa melihat tujuan penggunaan aplikasi justru tidak tercapai. Subsidi nyatanya tak sampai kepada masyarakat bawah sedangkan tingkat konsumsi BBM justru naik. Padahal peraturan ini baru saja diterapkan. Karenanya tidak heran masyarakat curiga tujuan pemerintah adalah untuk menggiring masyarakat agar menggunakan BBM non-subsidi Pertamax alih-alih BBM bersubsidi.

Dengan kata lain, pemerintah sudah ogah memberikan subsidi bagi rakyat.
Di tengah tingginya bahan pangan dan minyak goreng, pemerintah menambah sulit hidup rakyat. Pilihan waktu yang diambil mencerminkan ketidakpekaan. Bulan Juli adalah waktunya rakyat mempersiapkan dana untuk sekolah anak-anak, ditambah lagi tahun ini berbarengan dengan momen Idul Adha.

Pemerintah malah menerapkan aturan yang sama bagi komoditas lain seperti gas melon dan minyak goreng curah. Rakyat diharuskan membelinya menggunakan aplikasi MyPertamina dan PeduliLindungi. Kalau kita perhatikan, justru komoditas di atas adalah komoditas yang banyak dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah.

Pemerintah tampaknya memandang rakyat sebagai beban. Fungsi negara memenuhi kebutuhan rakyat menjadi mandul di tangan pemerintah yang kapitalistik. Dengan dalih demi kemandirian rakyat, mereka mencabut subsidi perlahan-lahan.

Pemerintah selalu beralasan bahwa subsidi tidak tepat sasaran. Subsisidi seringkali diambil oleh orang kaya. Padahal faktanya, di lapangan pun petugas SPBU tidak akan dapat menentukan mana pembeli yang tergolong mampu dan mana yang tidak. Siapa saja yang bisa mengakses MyPertamina akan bisa membeli Pertalite.

Jika ditetapkan sistem barcode pun sama saja. Justru rakyat miskin di pedalaman yang berkendala gadget dan sinyal akhirnya malah sulit memperoleh pertalite. Mereka juga sulit memperoleh gas melon dan minyak goreng curah.

Mindset kapitalisme yang melekat erat di benak penyelenggara negara membuat rakyat semakin menderita. Tanah yang kaya akan minyak bumi dan tambang tak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat.

Atas nama investasi asing di negeri ini, rakyat justru tidak dapat menikmati kekayaan alam. Pasal 33 ayat (2) UUD 45 hanya tinggal teori yang jauh dari praktiknya. Belum lagi lingkar oligarki yang menempel kuat pada penguasa.

Mereka menguasai sumber-sumber kekayaan alam dan menangguk keuntungan besar dari sana. Sementara rakyat gigit jari menahan perut yang lapar dan hari-hari yang kian tak menentu.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang digariskan Islam. Rasulullah saw bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api,” (H.R. Abu Dawud dan Ahmad).

Bahan bakar, barang tambang, dan listrik termasuk ke dalam cakupan hadis ini, yaitu golongan “api”. Baik air, padang rumput, dan api merupakan kepemilikan umum. Dalam Islam, suatu komoditas terkategori kepemilikan umum manakala ketiadaannya mengakibatkan manusia dalam jumlah besar berbondong-bondong mencarinya. Negaralah yang melakukan pengelolaan terhadap kepemilikan umum demi kepentingan rakyat.

Akses rakyat terhadap kepemilikan umum harus dijamin oleh negara. Negara berkewajiban memastikan rakyat mudah memperolehnya. Negara boleh saja menjual ketiga hal tersebut kepada rakyat asalkan harganya murah dan terjangkau. Bahkan jika mungkin menggratiskannya. Bukan malah menarik keuntungan dari penjualan tersebut.

Negara tidak boleh berbisnis dengan rakyat, yaitu bertindak sebagai pedagang sedangkan rakyat konsumennya. Haram hukumnya negara menyerahkan kepemilikan umum kepada segelintir orang (swasta). Negara tidak dibenarkan membiarkan investasi asing masuk dalam pengelolaan kepemilikan umum di atas.

Terbukti selama ini investasi asing menjadi jalan penjajahan ekonomi di negara-negara dunia ketiga yang penduduknya mayoritas muslim. Prof. Soepomo mengatakan “Negara adalah ayah,” sedangkan rakyat adalah anak-anaknya. Layaknya seorang ayah, negara tidak boleh merasa rugi. Harga yang murah harus diberlakukan kepada seluruh rakyat.

Tidak boleh ada diskriminasi antara rakyat yang kaya dengan yang miskin. Baik rakyat yang kaya maupun miskin berhak mengakses kepemilikan umum dengan harga murah. Dengan kata lain, subsidi harus diberikan kepada rakyat berbekal citizenship (status kewarganegaraan) mereka.

Bukan berdasarkan golongan ekonominya. Suatu hal yang bertolak belakang dengan statemen menteri BUMN kita yang mengatakan, “Sudah bukan eranya lagi kita (pemerintah) mensubsidi rakyat yang mampu,” seperti dikutip Kompas.com, (8/8/2022).

Mekanisme di atas tidak akan bisa diterapkan selama paham kapitalis-sekuler menjadi landasan kebijakan. Kapitalisme membuat negara bertindak layaknya pedagang terhadap rakyat. Sekularisme membuat negara emoh menoleh kepada sistem hukum yang berdasarkan akidah.

Padahal sistem hukum yang lahir dari buah pikir manusia hanya akan menyengsarakan mereka. Manusia begitu lemah dalam menentukan baik-buruk, benar-salah. Yang ada hanyalah kepentingan semata. Akhirnya aturan dibuat hanya untuk kepentingan sekelompok kecil pemegang kuasa.

Yang dihadapi rakyat adalah kondisi ekonomi yang sulit. Mereka butuh BBM murah, namun kebijakan pemerintah justru semakin mempersulit keadaan. Sebagai anggota masyarakat, kita harus bersuara lantang menghadapi ini.

Sudah waktunya umat menyadari bahwa politik tidak boleh diletakkan terlalu jauh dari mereka. Umat yang buta politik akan menjadi umat yang apatis dan mudah menyerah. Sikap diam dan berpangku tangan justru membuat aturan sejenis terus-menerus muncul.

Sebagai muslim, sudah waktunya kita mempertimbangkan syariat sebagai solusi. Umat tidak boleh malu-malu lagi menyuarakan formalisasi syariat di negeri mayoritas muslim ini. Toh, rezim sekarang tidak malu mengangkangi hukum yang mereka buat sendiri. Cukuplah firman Allah sebagai pengingat bagi kita:

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini agamanya?” (Al-Maidah: (50)).

 

Comment