Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo |
“Kudeta Presiden Jokowi’, saya tersinggung kata-kata itu. Saya juga umat Islam,” ujar Gatot dalam wawancara di sebuah stasiun televisi, Kamis (4/5) malam.
Gatot menambahkan, tidak mungkin umat Islam melakukan kudeta di Indonesia. “Perjuangan merebut kemerdekaan yang mayoritas dilakukan umat Islam, lalu kemerdekaan ini juga dipertahankan umat Islam, apakah umat Islam juga akan merusaknya? Tidak mungkin!” tegas Gatot dengan raut muka serius.
Ketika TNI belum ada, ujar Panglima TNI, perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dimotori oleh para ulama yang menggalang berbagai lapisan masyarakat. “Dua organisasi Islam, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, menjadi motor bersama rakyat dari kelompok agama lain dalam merebut kemerdekaan,” ujar Gatot.
Aksi-aksi yang dimaksud Gatot adalah rangkaian unjuk rasa umat Islam yang diwakili oleh Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI). Hari ini, 5 Mei, Aksi Bela Islam yang melibatkan puluhan ribu umat Islam kembali terjadi di Jakarta. Ini merupakan terusan dari aksi-aksi sebelumnya, 112, 212, 313 dan sebagainya.
Aksi ini dipicu oleh penistaan Al Maidah oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Tetapi, karena rentetan aksi itu terjadi menjelang Pilkada Jakarta, barisan pendukung Ahok mengembangkan opini bahwa aksi merupakan penghadangan terhadap Ahok untuk terpilih menjadi gubernur dalam Pilkada Jakarta.
Kelompok yang Pro-Ahok menilai penentangan terhadap Ahok adalah sikap intoleran umat Islam. Keberatan umat Islam memilih Ahok dipersepsikan sebagai penolakan terhadap pemimpin nonmuslim, etnis Cina dan seterusnya.
Jika TNI tidak meyakini ada upaya makar di balik aksi-aksi itu, tidak demikian dengan Polri. Kepolisian justru sudah lama melakukan penangkapan terhadap sejumlah tokoh yang dianggap akan menjadi provokator makar.
Menjelang terjadinya aksi 212, polisi menangkap sejumlah tokoh yang diduga akan melalukan makar. Mereka antara lain dua pensiunan perwira tinggi TNI, Mayjen Purn Kivlan Zein dan Brigjen Purn Adityawarman Thaha, aktivis senior Sri Bintang Pamungkas, Rachmawati Soekarnoputri, Ratna Sarumpaet, dan kawan-kawan.
Menjelang aksi 313, kembali terjadi penangkapan atas tuduhan makar. Kali ini korbannya adalah Muhammad Al-Khaththath, Sekjen Forum Umat Islam (FUI) dan beberapa aktivis lain.
Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR (5/12/2016), Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian mengatakan, hasil penyelidikan pendahuluan yang dilakukan polisi mendapati adanya kelompok yang ingin memanfaatkan massa Aksi Bela Islam III untuk meminta Sidang Istimewa MPR guna memakzulkan Presiden. Polisi bergerak cepat dengan menangkapi 11 tokoh itu sebelum aksi 2 Desember 2015 sehingga mereka tidak lagi bisa melakukan provokasi.
“Untuk mencegah mereka membajak. Ini rawan. Sudah disiapkan mobil komando oleh mereka. Maka paginya kita melakukan penangkapan,” ungkap Tito.
Tetapi, meski sudah berjalan lima bulan lebih, kelanjutan kasus dugaan makar tersebut tak kunjung jelas.
Pertanyaan yang belum terjawab adalah benarkah ada rencana makar dari aksi-aksi bela Islam itu? Pernyataan Panglima TNI yang menolak kemungkinan itu tentunya bukan sekadar sentimen pribadinya yang merasa tersinggung sebagai orang Islam. Sikap tersebut tentu didasari hasil pengolahan informasi dan analisis intelijen dari Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS TNI). Lembaga inilah yang secara organisatoris mensuplai informasi dan analisis intelijen untuk Panglima TNI.
Sementara, Kapolri tentu juga berdasarkan masukan dari Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan, hingga saat ini proses penyidikan kasus dugaan makar masih bergulir di Polda Metro Jaya. “Dalam proses penyidikan. Sedang dilakukan penyidikan, tolong sabar,” ujar Setyo di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Jumat (5/5).
Mengenai pernyataan Panglima TNI, Setyo tidak mau berkomentar. “Tanya saja pada Panglima,” jawabnya.
Kedua instansi telik sandi di kedua institusi itu tentu mempunyai mekanisme dan indikator tersendiri untuk menentukan skala dan eskalasi ancaman.
Masalahnya, sama seperti TNI, Badan Intelijen Negara (BIN) juga tidak menangkap adanya indikasi makar. Padahal sesuai Pasal 38 ayat (1) UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, BIN berkedudukan sebagai koordinator penyelenggara intelijen negara. Menurut Pasal 9 UU tersebut, penyelenggara intelijen negara itu adalah BIN, intelijen TNI, intelijen Polri, intelijen kejaksaan, dan intelijen kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. Semua penyelenggara intelijen negara tersebut, menurut Pasal 38 ayat (2), wajib berkoordinasi dengan BIN.
Tentu saja janggal, kalau BIN tidak melihat adanya indikasi makar dalam rangkaian aksi umat Islam itu, sementara Polri menyimpulkan sebaliknya dan bahkan sudah melakukan penangkapan terduga makar.
Kejanggalan ini melahirkan pertanyaan, mengapa informasi tentang kejahatan serius seperti makar yang terendus oleh intelijen Polri tidak dikoordinasikan dengan BIN? Sebab, kejahatan sekelas makar, jelas memerlukan penanganan multisektor, atau tidak cukup dengan penanganan kepolisian saja.[NN]
Comment