Penulis: Dinar Rizki Alfianisa |Warabatul Bait
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Sungguh miris mendengar berita seorang ibu yang tega membunuh bayinya sendiri. Faktor penyebabnya adalah beban ekonomi yang dirasa sangat berat oleh sang ibu.
Seperti dikabarkan kumparan.com (24/1/2024) seorang ibu di Bangka Belitung ditangkap polisi karena membunuh bayinya sendiri dengan menenggelamkannya ke dalam ember berisi air setelah dilahirkan. Kemudian bayi itu dibuang ke semak-semak dalam kebun milik warga sekitar.
Alasan sang ibu hingga tega membunuh bayinya karena tidak menginginkan kelahirannya yang dianggap menjadi beban hidup bagi keluarga mereka karena sang suami hanya bekerja sebagai buruh. Untuk kebutuhan sehari-hari mereka saja sangat sulit apalagi harus menanggung bayi yang baru lahir.
Kasus seperti ini tidak heran terjadi dalam kehidupan yang mengadopsi sistem kapitalisme. Tingginya beban hidup dapat menghilangkan fitrah keibuan. Seorang perempuan yang Allah anugerahkan padanya rasa kasih sayang yang besar untuk mendidik dan membesarkan anaknya tapi malah tega membunuh darah daging yang dilahirkan dari rahimnya.
Permasalahan ini bukan hanya karena lemahnya keimanan individu namun banyak faktor yang menyebabkan mengapa hal ini terjadi.
Selain lemahnya iman, tidak berfungsinya peran keluarga sehingga terbebani dengan tuntutan ekonomi, lemahnya kepedulian masyarakat terhadap kondisi lingkungan sekitar dan tidak adanya jaminan kesejahteraan yang diberikan oleh negara. Semua faktor ini saling terkait dan mempengaruhi stabilitas fsikologi perempuan dalam perannya sebagai ibu.
Kapitalisme lahir dari rahim sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Paham ini melahirkan aturan-aturan buatan manusia sehingga menghasilkan individu-individu yang minim iman, apatis terhadap permasalahan masyarakat dan negara yang kurang peduli terhadap kesejahteraan rakyat.
Negara hanya mementingkan segelintir oligarki. Sedangkan rakyat harus mati-matian bertahan dalam kehidupan yang serba sulit.
Seorang ibu dituntut untuk membesarkan anak dengan beban hidup yang harus ia tanggung. Tak heran fitrah keibuannya semakin tergerus bahkan hilang. Padahal di tangan seorang perempuanlah generasi ini ditentukan. Bagaimana bisa generasi terbaik lahir dari seorang ibu yang disibukkan dengan permasalahan yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya.
Dari sini seharusnya kita sadar bahwa aturan yang tidak bersandar pada aturan Allah akan menimbulkan kerusakan.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam akan menjaga jiwa. Meletakkan tanggung jawab keamanan dan kesejahteraan rakyat pada negara.
Dengan aturan Islam, keimanan yang individu muslim menjadi kokoh dan kuat. Individu tidak apatis terhadap permasalahan masyarakat, saling menolong dengan tetangga di sekitar.
Rasulullah bersabda:
“Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya.” (HR At-Thabrani).
“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR Bukhari).
Hal ini mendorong setiap muslim berbuat baik dan saling menolong antar sesama. Negara pun memberi jaminan kesejahteraan bagi setiap rakyatnya. Peran utama seorang ibu sebagai ummu warabbatul bait yaitu pengurus rumah tangga dan pendidik generasi bukan sebagai pencari nafkah.
Nafkah diwajibkan terhadap suami atau walinya. Jika suami dan wali tidak mampu menafkahinya maka hal ini menjadi tanggung jawab negara dalam upaya emenuhi kebutuhan pokok, fasilitas keamanan, pendidikan maupun kesehatannya.
Dalam islam, seorang ibu hanya fokus pada peran utamanya yaitu mendidik generasi bukan malah sibuk dengan urusan mencari nafkah seperti yang terjadi dalam konsep sekuler hari ini. Wallahu a’lam. []
Comment