Penulis: Poppy Kamelia P. BA (Psych), CBPNLP, CCHS, CCLS, CTRS. | Pelatih Parenting Islam, Konselor dan Terapis Kesehatan Mental, Penulis, Pegiat Dakwah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Fenomena Childfree, keputusan pasangan atau individu untuk tidak memiliki anak, semakin berkembang di tengah masyarakat. Pilihan yang pada awalnya dianggap sebagai keputusan pribadi semata ini, kini semakin menjadi tren di kalangan muda, terutama perempuan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), seperti ditulis RRI.co.id, (17/11/2024), sekitar 8,2 persen perempuan Indonesia berusia 15 hingga 49 tahun memilih untuk tidak memiliki anak. Dalam survei BPS, tercatat sekitar 72 ribu perempuan Indonesia mengaku memilih untuk hidup Childfree, dan angka ini terus meningkat dalam empat tahun terakhir.
Masih di laman yang sama, aktivis perempuan, Tunggal Pawestri mengatakan bahwa salah satu faktor yang mendasari semakin populernya pilihan Childfree adalah beban hidup yang semakin berat.
Biaya hidup yang terus melonjak, ketidakpastian ekonomi, dan meningkatnya tekanan mental, menjadi faktor utama yang memicu banyak orang untuk meragukan kemampuan mereka menjadi orang tua.
Namun, di balik pilihan tersebut, ada sebuah pertanyaan besar yang seharusnya kita renungkan bersama, apakah Childfree adalah respons yang wajar terhadap beban hidup yang semakin berat, atau justru mencerminkan kegagalan sistem yang ada?
Anggota Komnas Perempuan, Maria Ulfah Ansor, mengungkapkan bahwa setiap perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihan hidupnya, termasuk dalam hal memiliki anak.
“Terserah mereka apakah seseorang memilih untuk memiliki anak atau tidak, itu bagian dari hak pribadi yang harus dihormati,” tegasnya dalam wawancara dengan Pro 3 RRI dan RRI.co.id, (15/11/2024).
Pernyataan ini jelas menggambarkan bahwa dalam perspektif hak asasi manusia, pilihan Childfree adalah hak pribadi yang sah dan perlu dihormati. Namun, apakah keputusan ini hanya sekedar pilihan ataukah merupakan dampak dari tekanan sosial, ekonomi, dan bahkan ideologi yang mendominasi masyarakat kita?
Bagi banyak kalangan muda, anak bukan lagi dianggap sebagai amanah yang membawa kebahagiaan, melainkan bayangan beban yang dirasa menambah berat langkah di tengah hidup yang sudah sarat dengan kesulitan.
Pola pikir yang lebih mengutamakan manfaat pribadi dan kesenangan ini, tentu tidak lepas dari pengaruh liberalisme dan sekularisme yang berkembang dalam pemikiran masyarakat modern. Dalam konteks ini, keputusan Childfree seringkali tidak didasarkan pada pertimbangan agama atau spiritualitas, melainkan semata-mata pada kekhawatiran akan masa depan yang tidak pasti.
Sebagai contoh, dalam sistem sekuler yang mengabaikan konsep rezeki dan takdir, banyak orang merasa bahwa mereka harus mengontrol kehidupan mereka sendiri sepenuhnya, termasuk dalam hal memiliki anak. Padahal, dalam pandangan agama Islam, memiliki anak bukanlah beban, melainkan amanah yang membawa keberkahan dan pahala.
Mirisnya, fenomena Childfree ini semakin diperkuat dengan adanya kebijakan negara yang terkadang memberi ruang bagi ide-ide yang justru bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moralitas. Alih-alih memberi perlindungan dan pencerahan, negara seringkali justru membiarkan pemikiran-pemikiran ini berkembang dengan dalih hak asasi manusia (HAM) tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Negara sejatinya bertindak sebagai penjaga akidah dan moralitas umat, bukan justru memberi ruang bagi paham yang dapat merusak tatanan keluarga dan masyarakat.
Pilihan hidup childfree juga membawa pengaruh tertentu terhadap kesehatan perempuan. Menurut dr. Ngabila Salama, seorang Praktisi Kesehatan Masyarakat sebagaimana ditulis antaranews.com (18/11/2024), keputusan untuk tidak memiliki anak dapat memengaruhi kesehatan reproduksi wanita, baik secara positif maupun negatif, tergantung pada kondisi fisik, mental, dan gaya hidup masing-masing.
Di satu sisi, risiko penyakit seperti kanker ovarium, kanker payudara, dan endometriosis cenderung meningkat pada perempuan yang tidak mengalami kehamilan atau menyusui. Namun, di sisi lain, ada manfaat seperti berkurangnya risiko sindrom ovarium polikistik (PCOS).
Namun, hal yang patut diperhatikan adalah bahwa pengaruh sosial dan ekonomi juga memainkan peran besar dalam keputusan ini. Laporan BPS menyebutkan bahwa perempuan yang memilih Childfree umumnya memiliki pendidikan tinggi atau mengalami kesulitan ekonomi. Dalam beberapa kasus, gaya hidup homoseksual juga diduga menjadi salah satu alasan tersembunyi bagi sebagian orang untuk memilih hidup tanpa anak. (RRI.co.id, 17/11/2024).
Dalam Islam, anak bukan hanya sebuah kehadiran, tetapi amanah agung yang Allah titipkan kepada orang tua. Di sana, terkandung tanggung jawab suci untuk mendidik dan membesarkan mereka dengan kasih sayang dan cinta yang tak terbatas. Ketika ketakutan akan beban hidup membayangi, Islam mengingatkan kita untuk kembali kepada-Nya, Sang Pemilik segala rezeki dan Penjamin setiap kebutuhan.
Islam mengajarkan bahwa anak adalah sumber kebahagiaan dan ladang pahala, bukan beban yang menyesakkan. Setiap langkah yang kita tempuh bersama mereka adalah bagian dari ujian, sekaligus peluang untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Pendidikan Islam juga memainkan peran penting dalam menjaga akidah umat agar tetap lurus dan tidak terpengaruh oleh pemikiran yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Negara, sebagai pelaksana amanah Allah, memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa sistem pendidikan yang diterapkan tidak hanya mendidik kecerdasan intelektual, tetapi juga membentuk karakter dan moralitas yang sesuai dengan ajaran Islam.
Negara tidak hanya bertanggung jawab atas kesejahteraan material rakyat tetapi juga atas pembentukan karakter yang dapat menjaga generasi mendatang dari pengaruh ideologi yang merusak.
Marilah kita renungkan, apakah keputusan kita mendekatkan atau menjauhkan diri dari Allah? Kembalilah kepada keyakinan bahwa hidup dengan segala ujian dan amanahnya ini adalah ladang pahala yang penuh keberkahan. Jangan biarkan ketakutan duniawi memutuskan kita dari rahmat-Nya.
Wallahu A’lam Bisshawaab.[]
Comment