Oleh: Rosmiati, Pegiat Literasi
__________
RADAR INDONESIA NEWS.COM, JAKARTA — Pemerintah seperti ditulis merdeka.com (4/9/2022), menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Sabtu (3/9) lalu. Harga pertamax yang semula Rp12.500/liter menjadi Rp14.500/liter. Pertalite semula Rp7.650 naik menjadi Rp10.000/liter. Dan solar dari dari Rp5.150/liter menjadi Rp6.800/liter.
Tak pelak, rakyat kembali gigit jari. Alih-alih hendak bangkit pasca ekonomi pailit di masa pandemi. Kini, mereka justru dihadapkan dengan mahalnya sejumlah biaya hidup akibat efek domino dari kenaikan harga bahan bakar minyak.
Mengurai Benang Kusut Kenaikan Harga BBM
“Adalah keputusan yang sangat berat untuk menaikan harga BBM.”
Demikianlah ungkapan pemerintah. Tapi, apalah arti sebuah ungkapan, toh, pada nyatanya harga BBM tetap naik juga.
Bila merunut fakta, saat ini sebenarnya harga minyak dunia sedang turun. Menurut Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat di laman yang sama, langkah yang diambil pemerintah untuk menaikan harga BBM belum tepat. Karena masyarakat masih berada di bawah tekanan ekonomi yang sulit. Ditambah lagi, dengan turunnya harga minyak dunia. Harusnya kenaikan harga saat ini tak terjadi.
Akan tetapi, Menkeu menegaskan, sekalipun harga minyak dunia turun, tetap saja alokasi pemerintah untuk kompensasi dan subsidi energi yang Rp502,4 triliun masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai akhir tahun. Itulah mengapa, BBM harus tetap dinaikkan.
Senada dengan itu, Presiden seperti dikutip merdeka.com (5/9/2022), dengan jelas mengutarakan bahwa BBM harus dinaikan demi menyelamatkan APBN. Karena APBN tidak mampu lagi menanggung subsidi energi yang nilainya Rp502 triliun.
Sungguh, ini keputusan yang sangat tidak populer yang sangat memberatkan rakyat.
Buah Kebijakan Berbasis Kapitalisme!
Inilah dampak dan akibat tata kelola sumber daya alam yang berkiblat pada sistem ekonomi kapitalisme. Manisnya kaum pemodal yang menikmati sedang pahitnya rakyat yang menerima.
Kapitalisme meniscayakan adanya kapitalisasi energi di mana seluruh potensi sumber daya alam walau itu tergolong ke dalam aset penting negara, namun dikelola oleh pemikik modal. Nnegara tampaknya hanya bertindak sebagai regulator semata. Pemain utamanya baik di hulu maupun hilirnya tetap dikendalikan oleh kaum pemodal.
Dilansir rmolsumsel.id (21/09/2020), sebanyak 67% lahan minyak Indonesia dikuasai asing. 21% menjalin kerjasama dengan perusahaan asing dan sisanya barulah dikelola oleh Pertamina. Sebuah perbandingan yang sangat timpang.
Akibatnya negara tak bisa berbuat banyak untuk menyediakan energi yang murah dengan mudah sebab yang mengendalikan semua adalah kaum kapitalis.
Di samping itu, sistem ekonomi yang berbasis kapitalisme juga menolak keras adanya subsidi dalam urusan pemenuhan kebutuhan rakyat. Subsidi dapat mengganggu proses jalannya perekonomian. Sebab kapitalisme memandang, urusan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat harus diserahkan kepada pasar. Harga pun ditentukan oleh mereka.
Inilah fakta yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan ironisnya, negara tak sanggup membantu dari segi penganggaran. Negara seolah disetir oleh korporasi. Inilah potret suram kapitalisme.
Jika kita hendak jujur, sang Pencipta telah menitipkan sejumlah potensi, yakni kekayaan sumber daya alam itu sendiri sebagai modal negara dalam meriayah dan memelihara urusan rakyatnya.
Sayangnya, sistem kapitalisme telah menghilangkan fungsi negara sebagai pemelihara urusan umat yang pertama dan kemudian beralih kepada mekanisme pasar.
Andai saja, proses pengelolaan hasil alam baik itu minyak bumi, gas alam, emas, maupun batubara dan lainnya sesuai dengan porsi dan negara menjalankan perannya sebagai pelaku dan pemain utama, tentu rakyat tak harus berjibaku dengan tingginya biaya hidup yang tak lain karena ulah para agen korporasi.
Pandangan Islam Tentang Energi, Modal Utama Membangun Kesejahteraan
Sebagaimana sudah disinggung di atas, bahwa sang Pencipta telah menitipkan sejumlah potensi bagi manusia agar dapat survive dalam kehidupannya termasuk salah satunya potensi kekayaan alam. Itu adalah modal bagi mereka dalam mengarungi kehidupan.
Oleh sebab itu, kekayaan alam ini tidak bisa diklaim sebagai milik individu atau kelompok sebab ini modal besar untuk memelihara rakyat dalam jangka waktu yang lama karena nilai depositnya yang sangat besar.
Terkait hal ini, Imam at- Tirmidzi sangat jelas menggambarkannya, “Bahwa seseorang pernah menghadap Rasulullah saw dan meminta tambang garam. Lalu beliau memberikan tambang itu kepadanya. Namun, ketika telah pergi seseorang dari majelis berkata, “Tahukah anda apa yang anda berikan? Tidak lain anda telah memberikan kepada dia sesuatu laksana air yang terus mengalir.” Lalu kemudian, Nabi Saw menarik kembali tambang tersebut.
Artinya bahwa sesuatu yang hasilnya besar ‘laksana air yang terus mengalir’ tak bisa dikuasai oleh individu. Melainkan ini harus digunakan untuk kepentingan bersama umat manusia dalam sebuah negara melaui peran pemerintah selaku periayah dan pemelihara segala urusan rakyat.
Hari ini kita menghadapi sejumput masalah kenaikan harga dan sulitnya mengakses aspek- aspek asasiyah. Semua itu berpangkal dari tata kelola yang tidak tepat dan proporsional.
Harta milik umur (kepemilikan umum) merupakan aset penting negara yang seyogianya menjadi modal membangun kemakmuran rakyat justru dikuasai oleh segelintir elit lewat kebijakan bernama privatisasi/kapitalisasi.
Dan ini lahir dari pengelolaan ekonomi berbasis kapitalisme. Inilah sejatinya yang menjadi sumber penderitaan rakyat di manapun di dunia ini. Wallahu’alam.[]
Comment