Oleh : Septiyani, Mahasiswi UIN Raden Fatah Palembang
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kisah menyedihkan datang dari sebuah keluarga yang harus tidur di pinggir jalan usai diduga diusir pemilik kontrakan karena tak mampu lagi membayar.
Sang suami bernama pak Deni dan istrinya bernama Sumiati, anaknya yang pertama bernama Maulana berusia 10 tahun dan yang masih bayi bernama Defa Reza Pratama belum genap 1 bulan.
Mereka keluar dari rumah kontrakan dua hari setelah Lebaran. Karena kondisi finansial keluarga membuatnya sulit untuk membayar kontrakan, sehingga ia diusir. (Tribunnews.com).
Suami tersebut terpaksa mengajak istri dan dua anaknya tidur di emperan toko karena keterbatasan ekonomi. Sedangkan anaknya yang kedua yang baru saja lahir pun harus merasakan dinginnya malam.
Jika ditilik, semua ini terjadi karena kemiskinan yang merupakan akibat diterapkannya sistem kapitalis liberal. Sistem inilah yang membuat kekayaan yang merupakan hak milik orang rakyat, malah dimiliki oleh para individu pemilik modal.
Demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan kepemilikan (liberalisasi ekonomi) pada faktanya telah membuat masyarakat bebas menguasai sektor publik yang seharusnya dikuasai oleh negara.
Itulah mengapa kemiskinan dalam kapitalisme menjadi sistemik. Liberalisasi pengelolaan sumber daya alam adalah salah satunya contohnya. Sebagaimana kita ketahui, kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah ternyata tak bisa dirasakan kemanfaatannya oleh rakyat sepenuhnya.
Sumber daya alam (SDA) yang sejatinya adalah bentuk kepemilikan umum ternyata telah beralih kepada negara yang berkolaborasi dengan para pengusaha baik asing maupun lokal. Akibatnya jutaan rakyat tidak dapat menikmati SDA yang sejatinya merupakan hak mereka.
Inilah realitas diterapkannya sistem kapitalis. Negara yang harusnya menjamin kebutuhan rakyatnya, malah berlepas tangan. Rakyatnya dibiarkan hidup mandiri, hingga wajar terjadinya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Mereka yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Sandang, pangan, dan papan yang merupakan kewajiban negara atas rakyatnya pun tak terwujud. Banyak rakyat yang tinggal di emperan toko atau di pinggir jalan karena tidak memiliki rumah untuk tempat tinggal.
Berbeda dengan sistem kapitalis, Islam diturunkan bukan hanya mengatur urusan ritual semata, namun juga sebagai ideologi yang mengatur segala hal dalam kehidupan. Islam mewajibkan negara untuk menjamin kehidupan setiap rakyatnya. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka berupa sandang, pangan dan tak lupa papan (rumah) maupun kebutuhan sekunder dan tersier.
Karena itulah indikator kesejahteraan ekonomi sebuah negara dalam pandangan Islam adalah terpenuhinya kebutuhan pokok dan dasar setiap individu.
Namun bukan berarti negara membagikan secara gratis makanan, pakaian, atau rumah kepada rakyat, sehingga rakyat bermalas-malasan karena kebutuhanya telah terpenuhi oleh negara. Tapi maksud dari jaminan itu diwujudkan dengan pengaturan yang dapat menyelesaikan masalah kemisminan ini di antaranya:
Pertama, mewajibkan laki-laki menafkahi diri dan keluarganya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 233 ” kewajiban Ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut”. Kedua mewajibkan kerabat dekat untuk membantunya jika kepala keluarga terhalang mencari nafkah seperti meninggal, cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usia lanjut dan lain-lain
Ketiga mewajibkan negara membantu rakyat miskin jika seseorang tidak memiliki kerabat atau memiliki kerabat tapi hidupnya pas-pasan maka pihak yang berkewajiban memberi nafkah adalah Baitul Mal atau kas negara dengan kata lain negara berkewajiban memenuhi kebutuhannya. Keempat mewajibkan kaum muslim membantu rakyat miskin. Jika kas negara kosong maka kewajiban nafkah beralih ke kaum muslim secara kolektif.
Hal itu merupakan bagian dari kewajiban mendasar negara (penguasa) atas rakyatnya. Penguasa tidak boleh berlepas tangan dari penunaian kewajiban itu. Mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajiban ini di akhirat.
Seperti halnya kisah umar bin Khattab yang menangis lantaran melihat seorang ibu memasak batu demi anaknya karena kelaparan. Tanpa rasa lelah dan gengsi sebagai seorang pemimpin, ia memanggul gandum berkilo-kilo seorang diri lantaran merasa sangat bersalah masih menemukan rakyatnya yang kelaparan.
Semua ini takkan kita temukan dalam sistem sekarang ini, sebab para pemimpin hanya peduli pada pemilik modal. Ia tak peduli bagaimana nasib rakyatnya, bisa makan ataukah tidak, punya rumah ataukah hidup di jalanan. Semua menjadi urusan pribadi yang tidak menjadi skala prioritas pemimpin.
Berbeda dengan itu, sistem islam dalam sejarahnya, telah membuktikan keberhasilannya mengatasi kemiskinan. Bahkan di era kepemimpinan Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Khalifah dari Dinasti Umayyah, mengutus seorang petugas pengumpul zakat, Yahya bin Said untuk memungut zakat ke Afrika.
‘’Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun,’’ ujar Yahya.
Dari sini kita tahu bahwa islam berhasil dalam menyejahterakan rakyatnya. Semua kebutuhan terpenuhi, baik sandang, pangan dan papan. Hingga mendapati kondisi kebingungan dalam menyalurkan zakat, sebab tidak ditemukan lagi orang-orang miskin di negeri itu.[]
Comment