Banjir Jabodetabek, Dampak Pembangunan ala Kapitalistik

Opini186 Views

Penulis: Mutiara Aini | Pegiat Literasi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Bencana tak hentinya menimpa negeri. Kali ini banjir besar melanda kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), Senin (3/3/2025). Jakarta dan Bekasi menjadi wilayah yang terdampak parah. Hal ini akibat dari curah hujan ekstrem sehingga menyebabkan sungai-sungai di Kota Bekasi meluap dan menggenangi permukiman warga serta beberapa fasilitas umum.

Berdasarkan data Satgas Tanggap Darurat Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) Jawa Barat dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bekasi, terdapat 7 kecamatan yang terdampak bencana banjir, yakni Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Medan Satria, Jatiasih, Pondok Gede, dan Kecamatan Rawalumbu. (pu.go.id, 5/3/2025).

Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta, Diana Dewi, sepert ditulis laman nusantaranews (10/3/25), total kerugian akibat banjir ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp5 triliun.

Hal ini tentu menimbulkan rasa kecewa masyarakat terhadap pemerintah yang tidak mampu mengatasi banjir dan tidak melakukan langkah pencegahan yang berarti sehingga menyebabkan fasilitas umum rusak, harta benda banyak yang hilang, hingga kerugian secara ekonomi. Padahal, sepekan sebelumnya Komunitas Peduli Cileungsi Cikeas (KP2C) telah menginformasi akan terjadi banjir.

Menurut Yus Budiono seorang peneliti ahli madya dari pusat riset limnologi dan sumber daya air BRIN, menyebut ada empat faktor banjir di wilayah Jabodetabek, yakni penurunan muka tanah, perubahan tata guna lahan, kenaikan muka air laut, dan fenomena cuaca ekstrem.

Ia mengunkapkan, banjir di Jabodetabek bisa masuk dalam kategori tiga jenis utama, yaitu banjir akibat hujan lokal, banjir akibat luapan sungai, dan banjir akibat pasang laut.

Sedangkan menurut Luki Subehi Kepala pusat riset limnologi dan SDA BRIN, sebagaimana dikutip dari laman tribun.id (9/3/25), banjir yang terjadi bukanlah semata karena curah hujan yang tinggi, melainkan karena pengelolaan SDA dan perubahan tata guna lahan di wilayah perkotaan.

Problem Sistemis

Terjadinya banjir berulang bukan semata tingginya curah hujan dan pendangkalan sungai akan tetapi masifnya aktivitas deforestasi lahan pertanian dan permukiman yang menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai penahan air dan pengikat tanah sehingga risiko banjir dan tanah longsor makin meningkat. Ditambah lagi kurangnya infrastruktur mitigasi bencana yang belum optimal.

Mirisnya lagi, alih-alih menghentikan alih fungsi hutan dan pembangunan yang merusak lingkungan, pemerintah justru memberikan izin pembangunan secara masif di Hulu. Bahkan atas nama pertumbuhan ekonomi, para pengusaha melakukan alih fungsi hutan menjadi permukiman dan tempat wisata demi mengejar peningkatan pendapatan daerah.

Hal ini tampak nyata bahwa kebijakan pemerintah lebih memihak pada pengusaha dan tidak memedulikan penderitaan rakyat. Mereka memanfaatkan jabatan dengan mencari keuntungan pribadi dan abai terhadap rakyat yang seharusnya ia lindungi.

Pejabat malah menjadi “pebisnis” yang sibuk memperkaya diri sendiri sementara rakyat mencari solusi sendiri terhadap masalah yang mereka hadapi. Kalaupun ada pejabat yang menunjukkan simpati terhadap korban banjir, sifatnya lebih cenderung sebagai pencitraan belaka dan sama sekali tidak menyentuh akar masalah.

Alhasil, persoalan banjir tidak kunjung usai. Inilah karakter penguasa yang lahir dari penerapan sistem sekuler kapitalistik yang tidak berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat).

Di samping itu, negara selalu gagap ketika terjadi bencana. Begitu juga keterbatasan dana sering kali dijadikan penyebab kegagapan tersebut. Padahal, negeri ini kaya akan sumber daya alam (SDA) dan mampu mengoptimalkan penanggulangan bencana banjir jika diberdayakan secara serius oleh negara. Lantas, berbagai pungutan pajak dialokasikan ke mana?

Islam Menyolusi Bencana Banjir

Hujan yang semestinya menjadi rahmat justru berubah menjadi bencana, bahkan bencana yang terus berulang dan menjadi langganan.

“Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran. Lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi dan sesungguhnya Kami Maha Kuasa melenyapkannya.” (QS Al-Mukminun: 18).

Seharusnya ini menjadi muhasabah dan malu jika ada julukan “banjir tahunan” atau “bencana alam langganan”. Maka  mitigasi banjir merupakan upaya untuk mengurangi risiko dari bencana banjir. Tentunya, mitigasi ini dilakukan sebelum, saat, dan sesudah terjadinya bencana. Mitigasi bencana banjir juga meliputi aspek pembangunan fisik dan peningkatan kemampuan masyarakat untuk menghadapi bencana.

Salah satu contoh mitigasi sebelum bencana adalah pembangunan yang bisa mencegah meluasnya bencana banjir. Misalnya melarang pembangunan di wilayah yang rawan banjir, melakukan restorasi sungai dengan mengeruk sedimen sehingga daya tampung sungai bisa optimal, mendapatkan informasi yang cukup untuk meminimalkan risiko. Misalnya terkait jalur evakuasi, cara evakuasi terhadap kalangan yang lemah fisik, seperti balita, lansia, dan orang sakit, dan lain-lain.

Mitigasi juga dilakukan ketika bencana, misalnya mencari informasi tempat pengungsian, kapan harus mengungsi, bagaimana cara menuju tempat pengungsian, dan barang apa saja yang perlu dibawa. Mitigasi setelah bencana dilakukan untuk mengembalikan warga ke rumah masing-masing, juga pembersihan dan perbaikan rumah, gedung, dan berbagai sarana publik lainnya.

Dengan adanya mitigasi yang sungguh-sungguh dan profesional, maka berbagai risiko yang terkait bencana dapat diminimalkan.

Begitu juga penyelesaiannya bisa lebih cepat sehingga warga tidak perlu berlama-lama mengungsi. Bahkan perekonomian dan aktivitas warga pun bisa kembali normal. Tentunya dengan berpedoman pada syariat Allah Swt. termasuk dalam pengambilan berbagai kebijakan politik oleh penguasa.

Maka, sudah semestinya penguasa kembali pada amanah kekuasaan yang dimilikinya, yakni semata demi menaati aturan Allah Taala dan meneladani Rasulullah saw dalam rangka mengurus rakyat. Wallahu ‘alam bishowwab.[]

Comment