Banjir di Awal Musim Hujan, Bukti Lemahnya Mitigasi Perubahan Musim

Opini138 Views

 

 

Penulis: Hildayanti | Staff Kearsipan Kolaka

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Laman CNBC Indonesia menulis bahwa atap stasiun LRT Cawang-Halim bocor hari ini, Minggu (5/11/2023). Manajemen PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI mengatakan hal itu disebabkan oleh curah hujan tinggi pada 4 November 2023.

Vice President Public Relation KAI Joni Martinus mengatakan, meski ada permasalahan di beberapa stasiun itu, pelayanan operasional tidak mengalami gangguan. Termasuk di halte stasiun LRT Cawang yang mengakami kebocoran akibat jebol saat hujan deras.

Tidak hanya itu mengutip Liputan6.com, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta juga melaporkan setidaknya ada 54 RT di Ibu Kota yang terendam banjir akibat hujan yang melanda wilayah DKI dan sekitarnya sejak Sabtu, 4 November 2023 hingga Minggu (5/11/2023).

“Hujan dengan intensitas sedang hingga lebat yang melanda wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya pada Sabtu (4/11/2023), menyebabkan genangan di wilayah DKI Jakarta,” ujar Kepala Pelaksana BPBD DKI Jakarta Isnawa Adji.

Bencana Langganan

Banjir boleh disebut sebagai bencana alam langganan setiap kali memasuki musim hujan. Cakupan wilayah banjir langganan bahkan meluas, tidak hanya kawasan ibu kota dan sekitarnya tetapi juga daerah lain. Namun tampaknya, hal ini tidak membuat penguasa mengambil sebagai pelaharan.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) (28-10-2023), Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa hingga pertengahan Oktober 2023, beberapa zona musim (ZOM) telah memasuki musim hujan, yakni meliputi sebagian besar Aceh, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Barat, Bengkulu, serta beberapa wilayah lainnya.

Prediksi awal musim hujan 2023/2024, lanjutnya, yakni November—Desember 2023 dengan puncaknya pada Januari dan Februari 2024 sebanyak 385 ZOM. Sebagai rekomendasi, BMKG mengimbau pemerintah daerah, instansi terkait, dan masyarakat lebih siap dan antisipatif terhadap kemungkinan bencana hidrometeorologis.

BMKG memberikan gambaran lengkap tentang perubahan cuaca dan iklim di Indonesia dan menekankan pentingnya persiapan dan mitigasi bencana dalam menghadapi perubahan cuaca yang dinamis.

Laporan Internasional

Berdasarkan riset lembaga penelitian sains internasional Nature, negara-negara dengan garis pantai yang cukup besar, sistem sungai, dan dataran datar mempunyai persentase populasi yang terkena risiko banjir dahsyat. Menurut laporan Nature (2022), Indonesia menempati urutan ke-23 yang 27% dari populasinya berisiko mengalami banjir besar.

Bukan hanya korban manusia, menurut Nature, bencana banjir juga menimbulkan kerugian ekonomi. Data Nature menunjukkan, bencana alam risiko air seperti kekeringan, banjir, dan badai menyebabkan kerugian ekonomi sebesar US$224,2 miliar di seluruh dunia pada 2021.

Nominal tersebut (US$224,2 miliar) hampir dua kali lipat rata-rata tahunan 2001-2020 yang besarnya US$117,8 miliar. Ketiga jenis bencana tersebut bahkan berpotensi menghabiskan US$5,6 triliun dari PDB global pada 2050, dengan banjir diproyeksikan menyumbang 36% dari kerugian langsung ini.

Hal ini juga terkait dengan laporan UNICEF (2022), yang menyatakan bahwa banjir berada di urutan kedua sebagai jenis bencana penyebab anak-anak di seluruh dunia mengungsi, dengan prediksi 19,7 juta jiwa akan terdampak. Berdasarkan negara, dalam laporan tersebut, Indonesia berada di peringkat kedelapan sebagai negara yang paling terdampak bencana cuaca ekstrem, dengan 960 ribu anak harus mengungsi akibat badai, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan selama 2016—2021.

Tanpa Visi Sahih

Memasuki November ini, terutama ketika banjir terjadi di beberapa daerah di Indonesia, kita tentu layak mempertanyakan, tidakkah penguasa memperhatikan pengamatan dan prediksi yang telah dilakukan BMKG maupun hasil riset lembaga-lembaga internasional tadi?

Bagaimana bisa bencana langganan sebagaimana banjir ini “selalu” gagal diantisipasi—alih-alih dimitigasi—secara tuntas? Indonesia bukan baru hari ini secara geografis dan ekologis dinyatakan sebagai negara yang berpotensi tinggi terhadap bencana banjir.

Belum lagi jika bicara sejumlah infrastruktur yang mudah rusak saat didera hujan deras. Ini membuktikan bahwa kualitas bangunan yang dibuat tidak mencapai level terbaik, alias ala kadarnya. Padahal infrastruktur tersebut adalah fasilitas publik.

Bagaimana mungkin fasilitas publik tidak dibangun untuk penggunaan jangka panjang? Apakah perencanaan bangunan yang ada memang “sengaja” dibuat berumur pendek sehingga setiap tahun harus ada renovasi fisik terlebih dengan adanya ancaman perubahan musim? Bukankah yang demikian itu juga berpotensi pemborosan anggaran negara untuk pembiayaan renovasi?

Semestinya, pada titik ini pemerintah lebih memperhatikan kualitas infrastruktur yang dibangun. Jangan hanya karena mengejar reputasi ini dan itu, juga kebelet dengan target kilat investor, bangunan infrastruktur yang dibanggakan ternyata tidak ubahnya bangunan yang tidak berkualitas.

Jika demikian, ini jelas-jelas menunjukkan bahwa antisipasi dan mitigasi terhadap bencana, pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik terkait dengan potensi kebencanaan tersebut tidak menggunakan visi yang sahih.

Mitigasi Bervisi Takwa

Terlepas dari pentingnya perbaikan dan pembangunan infrastruktur dan teknologi pengelolaan bencana, hal terpenting dalam antisipasi dan mitigasi bencana adalah visi takwa.

Visi takwa inilah yang akan mewujudkan berbagai kebijakan mengurusi umat menurut sistem dan metode sahih. Dengan demikian, segala upaya terbaik akan dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi bencana alam.

Demikian halnya visi sahih dalam pembangunan infrastruktur – di antaranya menggunakan material, desain, serta rancang bangun terbaik. Tentunya, bangunan tersebut harus awet dan tahan lama, serta tidak menimbulkan bahaya ketika masyarakat menggunakannya.

Hal yang tidak kalah penting adalah fungsi adaptasi bangunan terhadap kondisi geografis dan ekologis. Misalnya, tidak mudah bocor dan tahan banjir untuk daerah dengan curah hujan tinggi, atau tahan gempa untuk daerah rawan gempa.

Dalam kacamata Islam, penanganan bencana alam maupun infrastruktur publik yang sedemikian adaptif terhadap bencana tersebut, adalah wujud realisasi sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung – jawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Kebijakan Islam Mengatasi Banjir

Sebagaimana kutipan dari artikel Ustaz Syamsuddin Ramadhan an-Nawiy (2020), pemerintahan islam pada era Khilafah dahulu mengatasi banjir dan genangan dengan kebijakan canggih dan efisien.

Pertama, jika kasus banjir disebabkan keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletser, rob, dan lain sebagainya, islam menempuh upaya seperti membangun bendungan-bendungan dengan berbagai tipe yang mampu menampung curah air dari aliran sungai, curah hujan, mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi.

Kedua, dalam aspek undang-undang, islam membuat kebijakan bahwa pembukaan pemukiman baru harus menyertakan uji kelayakan amdal dan variabel-variabel lain seperti drainase, penyediaan daerah serapan air, serta penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografi sebagai upaya antisipasi dan mencegah kemungkinan terjadinya banjir atau genangan.

Ketiga, dalam menangani korban bencana alam, islam bertindak cepat sembari melibatkan seluruh warga yang berdekatan dengan daerah bencana. Sistem islam juga menyediakan logistik berupa tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak terserang  penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai.

Dalam konsep islam para alim ulama dikerahkan untuk memberi tausiyah kepada para korban agar mengambil hikmah dari musibah yang menimpa, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah Taala.

Demikianlah kebijakan sistem islam dalam upaya mengatasi banjir. Kebijakan tersebut tidak saja didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ilmiah, tetapi juga didasari oleh nas-nas syariah. Wallahu ‘alam bisshawab.[]

Comment