Banjir Butuh Solusi Sistemis, Bukan Pragmatis

Opini318 Views

 

 

Oleh: Novita Darmawan Dewi, Komunitas Ibu Ideologis

__________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Banjir menggenangi wilayah Jakarta dan sekitarnya, berakibat
munculnya korban jiwa. Sebanyak tiga orang siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 19, Jakarta Selatan meninggal usai tembok sekolah mereka rubuh diterjang banjir. Banjir terjadi karena luapan air saluran penghubung Pinang Kalijati yang berada di belakang sekolah. Kejadian tersebut terjadi pada Kamis (6/10) pukul 14.50 WIB.

Mitigasi Kurang Maksimal

Menyoroti hal ini, selain tentunya butuh mitigasi, dalam rangka mengantisipasi dampak banjir dan longsor, pengawasan dan kewaspadaan dini perlu dilakukan. Hanya saja, yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah progres mitigasi yang selama ini berlangsung. Sejauh mana instrumen mitigasi sudah mampu berperan menanggulangi bencana alam, khususnya banjir dan tanah longsor sehingga pada masa/musim selanjutnya kedua bencana langganan tersebut bisa diminimalisasi?

Juga sudah seberapa besar peran serta kebijakan politik dan birokrasi yang tepat guna untuk melayani kepentingan-kepentingan masyarakat saat cuaca ekstrem dan memburuk sehingga tidak sampai terjadi bencana alam yang parah dan berulang?

Hampir sepanjang 2022 ini, banjir sudah terjadi lebih dari 1.000 kali di Indonesia. Namun, sistem mitigasi yang ada masih belum mampu menjawab tantangan penanggulangan bencana, khususnya banjir. Harus berapa kali lagi banjir terjadi agar dapat menjadi pelajaran dalam rangka mencapai tingkat mitigasi terbaik? Sebaliknya, ini semua justru menegaskan bahwa mitigasi bencana di negeri ini masih ala kadarnya. Astaghfirullah.

Negri Thoyyibatun

Allah Taala berfirman, “… Baldatun tayyibatun wa rabbun gafuur ((negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun).” (TQS Sabaa’ [34]: 15).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini menyatakan, “Sabaa’ adalah (sebutan) raja-raja Negeri Yaman dan penduduknya. Dulu mereka berada dalam kenikmatan dan kebahagiaan yang mengisi negeri dan kehidupan mereka, kelapangan rezeki mereka, serta tanaman-tanaman dan buah-buahan mereka. Allah Taala lalu mengutus kepada mereka para rasul. Para rasul itu menyeru mereka agar memakan rezeki yang Dia berikan dan agar bersyukur kepada-Nya dengan mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Keadaan mereka (yang baik) itu terus berlangsung hingga masa yang Allah kehendaki. Lalu mereka berpaling dari apa yang diserukan kepada mereka. Akibatnya, mereka dihukum dengan datangnya banjir bandang dan terpencar-pencarnya mereka di banyak negeri.” (Tafsir Ibnu Katsîr, 6/445).

Adapun makna “rabbun gafuur”, menurut Imam ath-Thabari rahimahullah, bermakna, “Rabb kalian adalah Rabb Yang Maha Pengampun jika kalian menaati-Nya.” (Tafsir ath-Thabari, 6/215).

Selain itu, terdapat sabda Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.”(HR Muslim dan Ahmad)

Ulasan ini menegaskan setidaknya ada dua aspek yang bisa menjadi mekanisme penanggulangan banjir musiman yang terus berulang ini. Pertama, aspek akidah, bahwa bencana alam berasal dari Allah, maka selayaknya kita juga mohon pertolongan Allah agar diberi kesabaran menjalaninya.

Kedua, aspek kemaslahatan umum. Banjir yang berulang menunjukkan bahwa mitigasi tidak berjalan kontinyu dan simultan. Program mitigasi hanya parsial pada tahun tertentu saja, tetapi belum tentu bisa terlaksana lagi di tahun berikutnya. Andaikata program mitigasi bisa kontinyu, biasanya tidak terjadi akselerasi pada tahun selanjutnya. Akibatnya, program mitigasi tidak mengalami kemajuan, alih-alih menghasilkan capaian yang lebih baik.

Belum lagi, peralatan yang digunakan saat mitigasi pun bukan yang berkualitas terbaik sehingga mudah rusak. Kalaupun peralatannya sudah yang berkualitas terbaik, yang seringkali terjadi adalah minimalisnya perawatan pada peralatan sehingga akhirnya juga rusak.

Benar-benar malang negeri ini, kapitalisme sekuler yang tengah berlangsung mustahil memberikan keberkahan. Kapitalisme sekuler juga melahirkan para pejabat yang tidak amanah dan melaksanakan tugas kurang maksimal. Amal mereka dalam mengemban jabatan sangat jauh dari kata sempurna lagi terbaik. Tidak heran jika negeri ini jauh dari karakter negeri yang baik (baldatun tayyibatun).

Sungguh, kita semua tentu mendambakan kondisi suatu negeri yang aman, sentosa, serta jauh dari bencana dan mara bahaya. Inilah negeri impian bagi setiap orang.

Sungguh celaka negeri yang sedemikian indah dengan julukan zamrud khatulistiwa ini harus merana akibat banjir di mana-mana.Wallahu a’lam bissawab.[]

 

Comment