Oleh : Astuti Djohari, S.Pd, Aktivis BMIC
__________
RADARINDONESIANEWS.COM —
Ditengah bencana global yang melanda negeri tercinta ini banyak orang-orang dermawan yang ikut membantu meringankan beban saudara sebangsa yang terkena imbas pemberlakuan PPKM ini.
Namun di saat masyarkat kesulitan dengan kondisi yang tidak menentu, muncul beberapa oknum politisi yang memasang wajah mereka di pinggir jalan dan pusat keramaian dalam bentuk baliho maupun billboard.
Sejak juli lalu mereka beramai-ramai memasang baliho tersebut. Mereka tidak peka terhadap situasi dan kondisi rakyat.
Alih-alih mengambil simpati rakyat justru perang baliho ini menua kontroversi karena dinilai tidak peduli dengan keadaan saat ini.
Menurut Pakar Komunikasi UI Firman Kurniawan Sujono dilansir harian kompas.com, baliho memiliki keunggulan tersendiri. Apalagi di tempat strategis yang banyak orang berlalu lalang, baliho akan menjadi pusat perhatian publik.
“Secara umum billboard/baliho/media luar ruang memiliki keunggulan: mudah dilihat, karena diletakkan di jalan-jalan yang terbukti banyak dilalui kendaraan. Ukurannya yang besar, secara struktural ‘memaksa’ orang untuk melihatnya. Apalagi kalau diletakkan di kawasan strategis pasti tak terhindarkan orang lewat tak bisa mengelak,”
Namun, perang baliho ini menurutnya akan menimbulkan kejenuhan pada masyarakat sehingga pasangan yang ditampilkan kepada masyarakat justru malah sebaliknya.
Tidak terasa tahun 2024 sudah di depan mata, di mana warga Indonesia akan mengadakan pesta rakyat secara besar-besaran.
Para elit politik dan jagoan-jagoannya mulai mengeluarkan segala jurus pamungkasnya mengeluarkan segala rayuan manisnya demi mencuri hati masyarakat.
Inilah potret dan realita kepemimpinan sekuler yang mana para elit politik beramai-ramai mempromosikan diri mereka meski harus merogok kocek demi pencitraan mulus di depan publik. Padahal, kinerja mereka semu bagai fatamorgana.
Pandemi saat ini pun belum ada titik terang kapan akan berakhir. Bukannya turut prihatin dengan keadaan bangsa yang sedang sakit tetapi mereka justru membual janji manis yang baru demi pencitraan belaka.
Hal semacam ini harusnya menjadi tamparan buat masyarakat agar lebih selektif lagi memilih pemimpin.
Namun berbeda halnya dengan kepemimpinan dalam Islam yang selalu menjadikan urusan umat nomor satu apapun kondisi dan keadaan khalifah atau kepala negara tidak pernah mengenyampingkan urusan yang berhubungan dengan masalah umat, mulai dari hal terkecil hingga masalah negara.
Hal ini terjadi pada masa khalifah Ummar bin Khattab saat terjadi wabah Thaun, negara menyiapkan seluruh kebutuhan warganya sehingga tercukupi dan para sahabat bahu membahu bukan malah sibuk pencitraan diri untuk menjadi khalifah berikutnya.
Beda halnya dengan kondisi saat ini nyawa manusia seakan tidak ada artinya lagi, dengungan toa masjid bukan hanya sekedar pertanda waktu shalat telah tiba tapi berita duka datang silih berganti.
Ibarat burung dalam sangkar, walaupun dipenjara tetapi sang empunya selalu mencukupi kebutuhannya, namun sangat disayangkan hal semacam ini tidak berlaku di negara sekuler. Wallahu’alam.[]
Comment