Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd, Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Beberapa hari belakangan ini, seperti dilansir bisnis.com, terjadi diskursus Di masyarakat terkait wacana pemerintah yang akan menjadikan bahan pokok sebagai objek pajak (PPN) sebagai bagian dari pengubahan skema tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Bahan pokok yang rencananya akan dikenai PPN antara lain, beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubin, bumbu-bumbuan dan gula konfirmasi.
Rencana pemerintah mengenai PPN tersebut juga menyasar jasa pendidikan dan layanan rumah sakit, mulai dari dokter umum hingga persalinan.
Rencana ini sebagaimana dikutip CNNIndonesia (14/6/2021), tertuang dalam rancangan Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Menanggapi hal ini, wakil direktur Institut for Development of Economics and Finance (indef), Eko Lishtiantoyanto menilai wacana penerapan PPN terhadap sembako ini justru sebaliknya, tidak mencerminkan keadilan. Buktinya pemerintah sempat mengenakan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) sebesar nol persen pada mobil baru.
Menurutnya, seperti dikutip BBC News, Kamis (10/6/2021), skema PPN ini justru menguras income masyarakat menengah ke bawah karena selain untuk dikonsumsi juga harus membayar PPN juga.
Jika PPN ini tetap diberlakukan pada barang konsumsi orang banyak, maka lanjutnya, akan memukul daya beli masyarakat yang berdampak pada indeks keyakinan konsumen yang sedang optimis.
Pajak sebagaimana dikutip cermati.com (22/11/2019) tampaknya menjadi karakter sebuah negara yang menerapkan sistem kapitalis untuk mengatur negara. Karenanya, pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang lahir dari sistem ekonomi liberal sebagai jalan untuk membantu negara mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis.
Negara di bawah sistem kapitalis menjadikan pajak sebagai solusi untuk menyelamatkan keuangan negara, sehingga dengan gampang mendapatkan dana segar dan dapat digunakan untuk menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak.
Itulah sebabnya dalam sistem kapitalis, pajak menjadi sumber pendapatan tetap bagi negara. Akibatnya, semua jenis barang dikenakan pajak, bahkan kebutuhan pokok rakyat sekalipun dikenakan pajak.
Dalam sistem kapitalisme yang dianut negeri ini, pajak memang sudah menjadi andalan utama pemasukan negara. Padahal jika kita saksikan negeri ini kaya akan sumber daya alam yang jika dikelola dengan baik, dapat digunakan untuk kepentingan rakyatnya.
Kekayaan sumber daya alam yang berlimpah ini hanya berpusat pada tangan-tangan korporat dan menjadikan rakyat sebagai komplemen.
Namun hal ini akan sangat berbeda jika rakyat diurus dengan pola dan kebijakan sistem Islam. Dalam Islam tidak ada pajak yang diambil dari masyarakat seperti yang terjadi dalam sistem kapitalis. Tidak ada barang-barang yang dikenakan pajak, termasuk rumah, kendaraan bahkan makanan dan sebagainya.
Sebagaimana sabda asulullah SAW.
لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْس
“Tidak masuk surga pemungut cukai.” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh al-Hakim).
Dalam Islam, pajak hanya diambil saat dana Baitul Mal kosong dan negara menghadapi kesulitan. Negara boleh menggunakan instrumen pajak tetapi hal ini bersifat insidental tidak menjadi kebijakan yang permanen.
Pajak hanya diambil dari kaum muslim yang kaya saja (the haves) dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya secara proporsional (makruf), sesuai standar hidup di wilayah tersebut.
Islam telah menetapkan sumber pendapatan tetap bagi negara untuk mengurus kebutuhan rakyatnya, di antaranya;
Pertama, pemasukan yang diperoleh dari pos kepemilikan negara. Pendapatan ini diperoleh dari pengelolaan harta fa’i (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, himah atau harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khusus rikaz, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris dan harta orang murtad.
Kedua, pos kepemilikan umum yang bersumber dari pengelolaan kekayaan alam berupa tambang, kekayaan laut, hutan dan sebagainya.
Ketiga, harta yang berasal dari zakat kaum muslimin baik zakat fitrah maupun zakat mal. Inilah sumber pendapatan bagi negara yang ditetapkan syariat dan ini telah terbukti keberhasilannya pada masa Daulah Abbasiyah Harun Al-Rasyid, di mana APBN selalu surplus di atas 900 juta dinar. Jika dikonversikan dengan harga emas yang saat ini senilai 1 juta/ gram, maka 900 juta dinar emas setara dengan 3.825 triliun rupiah.
Islam tidak menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan. Layanan tersebut disediakan secara gratis dengan pelayanan terbaik.
Semua itu merupakan bentuk tanggung jawab pengurusan (riayah) negara kepada rakyatnya. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW “Imam (pemimpin) adalah raa’in dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”. (H.R Bukhari)
Sebagaiman yang terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Umar Bin Khattab. Wabah penyakit bisa diselesaikan tanpa membebani rakyatnya dengan pungutan pajak tambahan. Bahkan proses pengobatan masyarakat diberikan secara gratis oleh negara.
Sungguh, telah jelas perbedaan konsep pajak dalam sistem Islam dan sistem kapitalisme. Praktik pajak kapitalisme yang zalim saat ini sangat merugikan rakyat. Terlebih, jika rencana pungutan PPN terhadap kebutuhan pokok rakyat ini benar-benar diberlakukan, maka kezaliman itu akan semakin nyata.
Karena itu, sepanjang sistem kapitalisme masih tetap eksis untuk mengatur kebijakan sebuah negari, maka dapat dipastikan kesejahteraan hakiki tidak akan pernah terwujud dan yang terjadi hanyalah negara semakin tergadai dan kehilangan fungsi asasinya sebagai pengurus dan menjaga rakyat.Wallahua’lam Bishshawab.[]
Comment