Bagaimana Mengembalikan Hilangnya Naluri Keibuan

Opini571 Views

 

 

Penulis: Sumiatun | Komunitas Pena Cendekia

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Seperti ditulis kompas.com (14/8/24), seorang ibu rumah tangga berinisial SS (27) ditangkap karena menjual bayinya Rp 20 juta melalui perantara di Jalan Kuningan, Kecamatan Medan Area, Kota Medan, Sumatera Utara. Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Besar Medan AKP Madya Yustadi mengatakan, kejadian itu berlangsung pada Selasa (6/8/2024).

Diketahui sang ibu menjual bayinya karena himpitan ekonomi, sedang pihak pembeli beralasan karena belum dikaruniai anak. Sedang pihak perantara, tentunya juga ingin mendapat manfaat uang dari transaksi jual beli bayi tersebut.

Dalam masalah ini, tidak bisa hanya menyalahkan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli bayi saja. Karena berbagai faktor bisa memicu transaksi jual beli tersebut terjadi.

Himpitan ekonomi bisa mengakibatkan hilangnya akal sehat dan matinya naluri keibuan. Terutama bagi para ibu yang yang sedang dalam kesulitan, baik kelaparan, banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, termasuk macam-macam kebutuhan perawatan bagi bayi. Sementara pemasukan sangat minim atau bahkan tidak ada sama sekali.

Belum lagi bagi yang terlilit utang dan tiap saat harus berhadapan dengan debt collector. Sementara sang ibu tidak bisa bekerja mencari penghasilan karena habis melahirkan ataupun sebab lain dan ditambah pula menghadapi masalah keluarga sendiri.

Terlebih bila suporting sistem tidak berjalan, suami, saudara dan kerabat tidak ada yang bisa membantu memberi solusi, karena sama-sama miskin ataupun individualistis. Kondisi demikian memungkinkan seorang ibu menjadi tega dan terpaksa menjual buah hati sendiri meski dengan nominal yang minimal dan tidak masuk akal.

Kasus ibu menjual bayi bukan hanya sekali ini, tapi sering terjadi pula di waktu-waktu sebelumnya. Tidak hanya disebabkan oleh faktor individu, tapi juga faktor lingkungan. Minimnya aktifitas amar ma’ruf nahi munkar, gaya hidup hedonis, individualis, lingkungan masyarakat yang buruk juga memicu para ibu nekat menjual bayinya tanpa iba.

Di sisi lain, negara abai dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, termasuk dalam penyediaan lapangan kerja bagi para suami. Hal ini erat dengan sistem ekonomi yang diterapkan saat ini, yakni sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan negara berlepas tangan dari peran mengurusi kesejahteraan rakyatnya.

Harga kebutuhan pokok terus naik. Pungutan pajak di sana-sini. Biaya pendidikan untuk anak mahal . Biaya kesehatan pun demikian. Seakan orang miskin dilarang sakit. Biaya persalinan pun terasa menjadi beban.

Pengangguran di dalam negeri banyak kita temui namun para penguasa malah mengizinkan tenaga kerja asing masuk untuk bekerja dengan gaji yang tinggi pula.

Pabrik-pabrik dibiarkan lebih memilih calon tenaga kerja wanita untuk direkrut ketimbang pria. Akibatnya para wanita banyak yang terpedaya mengejar materi – meninggalkan tugas mulia sebagai ibu dan istri pengatur rumah tangga suami.

Negara menjalankan fungsi sebagai regulator yang lebih condong dengan kepentingan kapitalis. Para pemilik modal lebih mendapat perhatian karena membawa keuntungan bagi penguasa ketimbang memperhatikan penderitaan rakyat yang membuat negara harus mengeluarkan anggaran.

Kasus ibu menjual bayinya mencerminkan gagalnya sistem pendidikan membentuk pribadi yang bertakwa. Asas pendidikan sekuler kapitalistik sangat jauh dari nilai nilai Islam.

Tujuan pendidikan yang materialistik, menghasilkan orang-orang yang berbuat semaunya dan tidak takut dosa. Mereka lupa bahwa kelak akan ada kehidupan akhirat, hisab, pertanggung jawaban kepada Allah Swt, surga dan neraka.

Lantas bagaimana mengembalikan naluri keibuan yang hilang?
Islam memiliki solusi menyeluruh untuk mengatasi problematika kehidupan. Islam menetapkan peran negara sebagai raa’in(gembala, pemimpin dan pengatur). Sebagaimana hadits Rasulullah saw., “Imam adalah raa’in (gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).

Seorang penguasa kelak dimintai pertanggung jawabannya di hari kiamat atas amanah rakyat yang berada dalam kepemimpinannya.

Himpitan ekonomi adalah masalah yang dapat mengganggu kesejahteraan rakyat. Negara wajib mewujudkannya. Islam memiliki sistem ekonomi yang mampu menyejahterakan rakyat melalui berbagai mekanisme, termasuk menjamin tersedianya lapangan kerja bagi laki-laki dewasa dan sehat, agar mampu menafkahi keluarga.

Bantuan modal dan ketrampilan diberikan kepada mereka yang membutuhkan untuk usaha. Termasuk pemberian tanah-tanah yang lama menganggur dan tidak terurus, untuk dikelola agar produktif dan menjadi mata pencaharian. Sehingga tiap laki-laki, yang tidak berkebutuhan khusus, dipastikan bisa bekerja dan menjalankan perannya sebagai pencari nafkah keluarga.

Islam tidak mewajibkan wanita bekerja. Bekerja bagi wanita hanya mubah saja. Para istri mempunyai peran dan kewajiban yang mulia, yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga suaminya. Mereka merawat, mengasuh dan mendidik anak-anak menjadi generasi berkepribadian Islam, penerus peradaban.

Ada pengaturan khusus bagi wanita-wanita yang perlu penjaminan oleh negara. Seperti para janda yang tidak ada wali, keluarga dan kerabat yang tidak mampu menafkahinya. Mereka pun aman dalam lindungan negara.

Dengan ekonomi Islam, negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Negara juga meningkatkan kemampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya.

Islam juga memiliki sistem pendidikan yang dapat membentuk syakhsiyah (kepribadian) Islam, sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Dari sistem pendidikan ini mampu mencetak generasi bertakwa. Sehingga kelak mereka mempunyai kesadaran beramal dan berperilaku dengan standar syariah.

Di sisi lain, media juga berperan mendukung terbentuknya keimanan. Negara yang menerapkan nilai nilai Islam akan memiliki kedaulatan digital (keamanan siber). Postingan dan konten di media massa dan sosial dipastikan aman untuk mendidik dan menjaga keimanan.

Sebaliknya, postingan dan konten yang membahayakan akidah rakyat, tidak akan dibiarkan tayang di media. Sehingga opini di media bernuansa opini Islam.

Maka, hanya dengan mengimplementasikan nilai nilai Islam secara menyeluruh (kaffah) yang akan mewujudkan optimalnya fungsi keluarga. Ayah bisa optimal menjalankan perannya sebagai pemimpin dan pencari nafkah bagi keluarganya, istripun bisa maksimal berperan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga suaminya.

Para janda dan anak-anak pun terjamin semua kebutuhan pokoknya, termasuk keamanannya. Sehingga tidak akan terjadi lagi kasus ibu-ibu terlibat penjualan anak maupun bayi. Naluri keibuan yang hilang pun bisa dikembalikan dengan penerapan nilai nilai Islam. Wallahu a’lam bishshawaab.[]

Comment