Badai PHK dan Solusi Krisis Ketenagakerjaan 

Opini6 Views

 

Penulis: Rantika Nur Assiva | Mahasiswi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan salah satu masalah ketenagakerjaan yang kerap terjadi di Indonesia dan telah menjadi isu penting yang mempengaruhi berbagai sektor baik ekonomi, sosial, maupun politik.

PHK adalah kondisi di mana hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan diakhiri, baik atas permintaan perusahaan maupun pekerja dengan atau tanpa pemberian pesangon sesuai peraturan ketenagakerjaan yang berlaku.

Meskipun PHK merupakan bagian dari dinamika pasar kerja yang tidak dapat dihindari, frekuensi, dan dampak PHK yang besar sering kali mencerminkan permasalahan mendasar dalam ekonomi dan sistem ketenagakerjaan di Indonesia.

Sejak Januari hingga September 2024, Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia mencatat hampir 53.000 pekerja telah dipecat.

Data Kemenaker, sebagaimana dikutip Kontan, menunjukkan 6.753 pekerja tambahan yang terkena PHK pada September 2024. Dengan demikian, total pekerja yang terkena PHK mencapai 52.933 orang, jika dihitung sejak Januari.

“Total PHK per 26 September 2024 sebanyak 52.993 orang, meningkat (dibandingkan periode yang sama tahun lalu)”, kata Indah Anggoro Putri, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan, dalam pernyataan yang dikutip Minggu (29/9/2024).

Jawa Tengah seperti dikutip kompas.com (29/9/24), adalah provinsi dengan jumlah kasus PHK tertinggi dengan 14.767 kasus, disusul Banten dengan 9.114 kasus, dan DKI Jakarta dengan 7.469 kasus.

Salah satu faktor utama yang memicu terjadinya PHK adalah kondisi perekonomian yang fluktuatif. Ketika ekonomi mengalami penurunan, baik akibat krisis global maupun masalah internal, banyak perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Dalam upaya untuk bertahan, mereka terpaksa melakukan efisiensi biaya, salah satunya melalui pengurangan tenaga kerja.

Selain kondisi ekonomi, perkembangan teknologi juga berperan besar dalam meningkatnya angka PHK di Indonesia. Penerapan teknologi baru yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerap kali dilakukan dengan mengorbankan pekerja yang tidak lagi relevan atau memiliki keterampilan yang dibutuhkan.

Globalisasi juga memainkan peran penting terhadap fenomena PHK di Indonesia. Persaingan global yang semakin ketat menuntut perusahaan untuk mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan pasar dan inovasi. Perusahaan yang tidak mampu bersaing dengan biaya produksi yang lebih rendah di negara-negara lain, seperti Vietnam dan Bangladesh, terpaksa menutup operasionalnya atau mengurangi tenaga kerjanya untuk bertahan.

Selain itu, maraknya PHK di Indonesia sebagai akibat penerapan paradigma kapitalisme dalam ketenagakerjaan dan industri, di mana liberalisasi ekonomi telah membatasi peran negara dalam upaya memastikan ketersediaan lapangan kerja yang cukup.

Dalam sistem kapitalis, perusahaan swasta cenderung berfokus pada keuntungan maksimal dengan menekan biaya produksi, termasuk biaya tenaga kerja, sehingga pekerja hanya dipandang sebagai faktor produksi yang dapat diputus sewaktu-waktu berdasarkan kepentingan industri.

Kebijakan seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja memperkuat posisi perusahaan dengan mempermudah proses PHK dan membuka akses lebih luas bagi tenaga kerja asing (TKA), yang semakin meminggirkan kepentingan pekerja lokal.

Secara keseluruhan, masalah PHK di Indonesia mencerminkan interaksi yang kompleks antara faktor ekonomi, teknologi, dan globalisasi. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan dampak langsung terhadap para pekerja yang kehilangan mata pencaharian tetapi juga berpengaruh luas terhadap stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat.

Peningkatan angka pengangguran akibat PHK dapat menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, memperlambat pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan kemiskinan dan ketidakstabilan sosial.

Oleh karena itu, perlu ada pendekatan komprehensif dari pemerintah, perusahaan, dan pekerja untuk mengatasi permasalahan ini, termasuk melalui kebijakan yang adil, dan pelatihan ulang tenaga kerja.

Di sisi lain, Islam menawarkan paradigma alternatif yang mewajibkan negara untuk memainkan peran aktif menciptakan lapangan kerja yang cukup sebagai bagian dari tanggung jawab dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Negara diharuskan membangun iklim usaha yang kondusif, memudahkan rakyat dalam memperoleh pekerjaan, serta menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok sesuai dengan prinsip-prinsip hukum syariah.

Dalam Islam, peran negara sangat sentral untuk melindungi kepentingan masyarakat. Berbeda dengan kapitalisme yang lebih menyerahkan urusan ketenagakerjaan dan ekonomi kepada mekanisme pasar bebas. Wallahu ‘allam bishawwab.[]

Comment