Baby Blues Mengintai Mental Ibu Terabai

Opini440 Views

 

 

Oleh: Rizka Adiatmadja, Praktisi Homeschooling

 _________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — “Ibuku malang, ibuku tersayang” mungkin kalimat tersebut tepat disandingkan dengan kondisi para ibu hamil, menyusui, dan ibu dengan anak usia dini hari ini. Kasus baby blues yang semakin tinggi, menggambarkan banyak kekalutan yang harus dihadapi oleh mereka.

Guncangan demi guncangan yang menekan, membuat jiwa ibu hamil, menyusui, dan ibu dengan anak usia dini semakin tertekan. Di saat harus fokus kepada bayi yang baru dilahirkan, ia dituntut berjibaku menenangkan kondisi mental yang berantakan.

Detikhealth (26 Mei 2023) menulis bahwa kelompok masyarakat yang memiliki gangguan mental dengan persentase tertinggi adalah ibu hamil dan menyusui. Jika tidak ditangani, tentu ini akan semakin mengarah kepada kondisi depresi. Menurut Ketua komunitas Wanita Indonesia Keren dan psikolog Dra Maria Ekowati bahwa 25% ibu di Lampung mengalami gangguan depresi setelah melahirkan.

Negeri kita, lagi dan lagi harus waspada. Belum usai permasalahan lain, kini kasus baby blues syndrome di Indonesia menempati peringkat ketiga di Asia. Sungguh mengkhawatirkan bukan?

Dikutip dari Republika.co.id (28 Mei 2023), hasil penelitian Andrianti (2020) terungkap, 32% ibu hamil mengalami depresi dan 27% depresi pascamelahirkan. Selain itu, penelitian skala nasional menunjukkan 50–70% ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues. Angka ini menjadi peringkat tertinggi ketiga di Asia.

Menurut Maria Ekowati, baby blues syndrome ini disebabkan oleh kondisi hormonal, meskipun perempuan sudah mempersiapkan diri sebelum menjadi ibu. Kecelakaan pun bisa menjadi faktor penyebab. Hal yang tidak bisa diabaikan sebagai penyebab adalah konflik rumah tangga seperti KDRT.

Suasana hati yang tidak menentu, tiba-tiba menangis tanpa sebab. Menjalani peran seorang ibu tentulah tidak mudah. Terlebih untuk ibu hamil, menyusui, dan ibu dengan anak usia dini. Keadaan hormonal, kelelahan yang berat, kurang tidur yang hampir terjadi setiap hari, atau sebelumnya memiliki gangguan mental. Itu semua menjadi faktor pemicu baby blues syndrome.

Bukan itu saja, banyak para ibu muda yang kaget dengan kondisi yang sebelumnya tidak ia akrabi. Menjadi istri dan sekaligus ibu, harus mengurus suami dan anggota keluarga baru, belum lagi peran-peran asing lainnya yang menyerbu. Sejatinya, menjadi orang tua tidak akan piawai seketika, butuh pelatihan dan pembiasaan dalam proses panjang. Pendidikan dari usia dini hingga dewasa, menjelang berumah tangga untuk bersiap dalam kancah keluarga.

Namun, ironisnya dalam pendidikan sekuler, kesiapan dan mental bertanggung jawab itu sulit terwujud. Sehingga banyak sekali para ibu hamil, menyusui, dan ibu dengan anak usia dini, lebih mudah kalut dalam mengelola kemelut. Sebab, tidak diajarkan menguat sejak dini agar siap menjadi orang tua sejati.

Mau tidak mau harus kita akui, mayoritas anak perempuan tidak diajarkan mengenal seluk-beluk menjadi ibu dan tidak ada pelatihan untuk mempersiapkan diri. Itulah efek dari kurikulum pendidikan sekuler.

Dari sejak dini mental generasi dirusak tanpa henti. Sehingga stres, depresi, bahkan berujung bunuh diri, kasusnya semakin tinggi. Bisa dibayangkan betapa beratnya saat mereka harus menghadapi tugas besar seorang ibu. Sehingga peran agung sebagai pencetak generasi menjadi sebuah ilusi dan mimpi.

Sekularisme tidak tanggung-tanggung merusak generasi. Hal utama yang dilumpuhkan adalah peran ibu. Ditambah lagi dengan kesulitan yang dilahirkan oleh sistem perekonomian kapitalisme yang melumpuhkan peran dan kewajiban ayah dalam mencari nafkah. Ibulah yang kemudian harus berjuang sendiri dalam ketidaksiapan.

Kasus baby blues syndrome ini tidak akan terjadi jika sistem yang menaungi adalah tatanan yang hakiki. Islam memiliki kriteria unggul sebagai sistem kehidupan yang mampu mengembalikan fitrah kepada kondisi yang seharusnya. Negara yang berasaskan Islam harus menbentuk kurikulum dari akidah Islam. Sehingga kokohnya iman dan ketaatan kepada Allah menjadi asas utama dalam melakukan aktivitas kehidupan. Selain kepribadian islami yang akan terbentuk, wawasan Islam yang diadopsi sanggup menguatkan langkah generasi.

Islam tidak memisahkan agama dari kehidupan. Setiap calon ayah dan ibu tentu terlahir dari keluarga yang bisa memberi teladan baik sebagai orang tua. Pendidikan Islam bukanlah formalitas belaka sehingga semua yang dipelajari ada korelasinya dengan yang harus dihadapi.

Sejatinya, umat dalam sistem Islam akan memahami bahwa hidup adalah untuk ibadah dan ketaatan sebagai kunci menggapai keridaan Allah. Orang tua akan fokus menjaga buah hati sebaik-baiknya sebagai bentuk konsekuensi terhadap amanah.

Negara dalam sistem Islam adalah elemen utama yang menjadi tolok ukur sejahteranya masyarakat. Dukungan ekonomi menjadi salah satu faktor utama agar baby blues tidak terjadi, yakni lapangan kerja dan keleluasaan para ayah mencari nafkah. Sehingga tugas utama ibu tidak akan terdistrak oleh masalah yang berhubungan dengan ekonomi. Para ayah terpahamkan dengan benar jika kewajibannya bukan sekadar mencari finansial, tetapi menjadi pemimpin keluarga yang optimal dan maksimal.

Begitu pun kondisi masyarakat yang dibentuk karena sandaran takwa, akan bahu-membahu melindungi lingkungan agar tidak terkontaminasi oleh kondisi-kondisi yang rusak dan melemahkan.

Negara, masyarakat, keluarga, dan individu, menjadi kekuatan yang harus bersatu padu membentuk masyarakat yang terpandu dengan ilmu, yakin ilmu dari Sang Pencipta yang berhak mengatur manusia, kehidupan, dan alam semesta. Islam telah memperlihatkan keberhasilan dan mewujudkan kesejahteraan yang bernuansakan takwa 13 abad lamanya.

Jadi, baby blues sydrome bukan hanya dipengaruhi oleh kelemahan jiwa dan iman individu semata, tetapi tentu ada pengaruh mendasar yang berawal dari sistem kehidupan yang rusak dan parah tiada tara.

Sekularisme yang sudah sedemikian menjajah, hakikatnya hanya pemahaman yang teramat lemah. Kita semua butuh kembali bernaung dalam Islam kafah.Wallahualam bissawab.[]

Comment