Baby Blues dan Rentannya Kondisi Mental Ibu

Opini450 Views

 

 

Oleh: Rizki Utami Handayani, S.ST, Dosen Ma’had Pengkaderan Da’i

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Menjadi ibu adalah dambaan setiap perempuan, tetapi kini ungkapan demikian bisa jadi tidak relevan bagi sebagian perempuan. Merebaknya ide childfree menjadi salah satu faktor bahwa menjadi seorang ibu bukan lagi sebuah impian kebahagiaan yang ingin dicapai kaum perempuan. Belum lagi media masa yang seringkali memberikan framing kurang tepat pada peran ibu dan dianggap sebagai peran yang merepotkan hingga bisa mengancam karir.

Tidak heran jika hasil penelitian skala nasional seperti ditulis detik.com menunjukkan bahwa 50-70 persen ibu di Indonesia mengalami gejala sindrom baby blues. Angka ini menjadi angka tertinggi ketiga di Asia.

Baby blues adalah kondisi di mana seorang perempuan yang melahirkan mengalami kesedihan dan kecemasan terhadap kemampuan merawat bayinya dan mudah tersinggung. Kondisi ini biasanya berlangsung sementara sekitar dua minggu. Kondisi ini bisa berangsur membaik seiring berjalannya waktu jika ibu mendapatkan dukungan yang baik dari lingkungan keluarga dan sekitarnya.

Kondisi sindrom baby blues ini akan berubah menjadi depresi post partum (pasca melahirkan). Jika setelah dua minggu gejala tidak membaik, maka kondisi sang ibu semakin memburuk dengan kecemasan yang tidak terkontrol. Sulit berkonsentrasi, mudah lupa, sulit tidur, merasa bersalah dan tidak merasa dekat dengan bayi bahkan tidak merasa berminat untuk dekat dengannya.

Menjauh dari pasangan dan lingkungan sampai kehilangan nafsu makan hingga ibu sulit melakukan kegiatan sehari-hari. Jika masih tidak tertangani, akan menuju pada kondisi yang lebih mengkhawatirkan bahkan menjadi psikosis post partum, kondisi di mana muncul halusinasi dan keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau menyakiti bayinya.

Tingginya kasus sindrom baby blues menggambarkan kesehatan mental ibu, yang tentunya dipengaruhi banyak faktor, di antaranya adalah kurangnya dukungan dari keluarga terdekat, termasuk faktor kesiapan menjadi orangtua, baik itu ibu maupun ayah.

Sayangnya kurikulum pendidikan Indonesia tidak menjadikan kesiapan menjadi orangtua sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki. Tidak ada kurikulum kecakapan menjadi ayah dan ibu di sekolah. Semua keterampilan seseorang menjadi orang tua didapatkan dengan otodidak, tidak semua memiliki kesadaran pentingnya memahami ilmu untuk persiapan menjadi orang tua. (Sumber : www.muslimahnews.net)

Penelitian Indonesia-National Adolescent Mental Survey (I-NAMHS) tahun 2022 melakukan penelitian dan survei skala nasional terhadap kesehatan mental remaja dengan tujuan meningkatkan representasi, atau cangkupan, dari data prevalensi penyakit mental pada remaja.

Temuan utama dalam penelitian tersebut di antaranya adalah satu dari tiga remaja (34.9%) setara dengan 15.5 juta remaja Indonesia, memiliki satu masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir. Satu dari dua puluh remaja (5.5%), setara dengan 2.45 juta remaja Indonesia, memiliki satu gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.

Gangguan cemas merupakan gangguan mental yang paling banyak dialami oleh remaja. Tidak ada perbedaan, baik berdasarkan jenis kelamin maupun usia, pada prevalensi gangguan mental secara keseluruhan. Namun, terdapat beberapa perbedaan berdasarkan jenis kelamin dan usia padaprevalensi beberapa jenis gangguan mental tertentu. (Sumber: Laporan I-NAMHAS Tahun 2022)

Praktisi kedokteran komunitas Health Collaborative Center dan FKUI, Ray Wagiu Basrowi menegaskan pendekatan edukasi publik di tingkat komunitas sangat strategis mengingat besaran masalah gangguan kesehatan mental juga terjadi hingga pada populasi ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.

Ibu hamil dan menyusui menjadi salah satu kelompok masyarakat yang memiliki persentase gangguan kesehatan mental tinggi di Indonesia. Menurut laporan WHO, hampir setengah dari kasus penyakit mental dimulai pada usia 14 tahun dan kebanyakan tidak ditangani dengan baik sehingga menetetap hingga dewasa. Sebagian mengarah pada kondisi yang lebih parah seperti psikosis, self-harm, dan bunuh diri.

Menurut Ray, penelitian yang dilakukan pada populasi ibu menyusui di Indonesia selama pandemi menunjukkan enam dari 10 ibu menyusui tidak bahagia akibat kurang suportifnya sistem pendukung di keluarga dan masyarakat. (Sumber: www.republika.co.id)

Data-data di atas sungguh menyedihkan sekaligus mengkhawatirkan. Peran yang seharusnya dijalani dengan penuh kebahagiaan justru sebaliknya. Apa jadinya para remaja yang kelak akan menjadi orang tua, khususnya remaja putri yang merupakan calon ibu –  ternyata mengalami problem dari segi mentalitasnya.

Padahal peran ibu tentu akan sukses jika dipersiapkan maksimal baik itu oleh individu ibu sendiri, suami, keluarga, masyarakat bahkan negaranya. Tentu bukan tanpa upaya, pasti telah banyak upaya yang dilakukan untuk bisa memaksimalkan peran ibu dalam rangka mencetak generasi yang lebih baik di masa yang akan datang, tapi itu semua butuh upaya yang tepat.

Jika ditilik lebih mendalam lagi, ternyata persoalan ini bersifat sistemik. Di tengah masyarakat yang jauh dari nuansa syariat Islam, di tengah kehidupan sekuleristik yang memisahkan agama dari kehidupan, ditambah pola kehidupan yang serba materialistik- menjadikan manusia kurang empati terhadap kondisi sesama perempuan.

Gaya hidup bebas dan hedonisme berujung pada kehamilan yang tidak diinginkan. Ketidaksiapan menjadi ibu dan ayah akibat married by accident. Menikah saja sebenarnya belum siap apalagi mengurus anak. Padahal peran menjadi ibu itu tidaklah mudah. Mendidik dan mengasuh sejatinya bukan hanya peran ibu, tapi juga ayah. Bahkan mendidik seorang anak bukan hanya oleh ayah dan ibu.  Peradaban juga membentuk bagaimana seorang anak tumbuh.

Kesadaran tentang pentingnya peduli terhadap kesehatan pun belum sepenuhnya terbangun dengan baik di tengah masyarakat kita. Seolah tabu bahkan malu jika hendak mengakses bantuan profesional untuk menangani masalah kesehatan mental ini. Padahal kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik bagi siapapun termasuk ibu yang akan mendidik dan mengasuh anaknya dengan penuh kasih sayang.

Islam memandang perlu untuk menyiapkan support system yang dibutuhkan oleh ibu muda. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anak dan ayah adalah sebagai kepala sekolah. Dipersiapkan dengan sangat matang jauh-jauh hari sebelum mejalani peran sebagai orang tua.  Maka saat tiba masanya menjadi orang tua, tentu menjadi lebih siap.

Kurikulum pendidikan Islam sangat komprehensif, sesuai dengan fitrah manusia, sehingga mampu menyiapkan setiap individu mengemban peran mulia sebagai orang tua, sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Meski perempuan tidak bekerja dan mempunyai uang sendiri, kedudukan mereka tidak menjadi rendah di depan suaminya. Istri berhak mendapatkan perlakuan baik dari suami, kehidupan yang tenang dan tuma’ninah (sakinah).

Islam menetapkan bahwa pergaulan suami istri adalah pergaulan persahabatan. Layaknya dua sahabat, suami istri saling menyayangi,  menghargai, membantu dan mendukung, dan saling menasehati ketika salah satu melakukan kesalahan. Satu sama lain berhak mendapatkan ketentraman dan ketenangan.

Peradaban Islam membangun masyarakat yang peduli sehingga support sistem terwujud optimal dalam masyarakat Islam.

Mari kita memantaskan diri meraih kemuliaan dan kehormatan yang dijanjikan Allah. Mari mendidik diri, keluarga dan umat Islam untuk taat pada seluruh syariatNya. (Sumber : Makalah Kongres Ibu Nusantara Ke-3).

Comment