RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Demokrasi masih belum siuman untuk menyadari kondisi dan situasi yang terjadi di dalam negeri ini.
Dengan pertimbangan penyelamatan ekonomi, pemerintah mengambil kebijakan New Normal di saat kasus Covid -19 belum tuntas bahkan belum mencapai puncak.
Alasan demi menjaga stabilitas ekonomi ini sangat miris, karena rakyat justeru merasa kesehatan dan keselamatan jiwanya tidak diperhatikan. Pilkada lebih penting bagi pemerintah daripada keselamatan rakyat. Walhasil kasus Covid-19 semakin tinggi hingga mencapai 282,724 ribu orang. (https://www.kompas.com/covid-19)
Juru Bicara Satuan Tugas Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan tingkat kematian Covid-19 di Indonesia, masih tinggi dari rata-rata dunia. Kasus meninggal (rata-rata) di dunia adalah 3,50 persen, sedangkan Indonesia 4,35 persen. (https://nasional.tempo.co/amp/1377845/kasus-kematian-covid-19-di-indonesia-masih-di-atas-rata-rata-dunia)
Meningkatnya kasus Covid-19 tidak membuat pemerintah jera. Kali ini pemerintah mengambil kebijakan dan memaksakan Pilkada serentak di seluruh wilayah Indonesia.
Padahal, satu-satunya cara memutus mata rantai penyebaran virus adalah dengan tidak menghimpun orang banyak.
Ini keanehan super, pemerintah bukan mengurangi tapi justru mengundang orang banyak untuk untuk berkumpul di perhelatan Pilkada 9 Desember 2020 yang akan datang.
Sebelumnya “Pesta Demokrasi” ini sempat direncanakan pada bulan September namun digeser lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020. (https://news.detik.com/berita/d-5003710/jokowi-resmi-terbitkan-perppu-pilkada-2020-digeser-ke-desember#top)
Dirut Indo Barometer, Mohammad Qodari menyatakan, Pilkada 9 Desember bisa menjadi superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19.
Dari simulasi yang dilakukan, Pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam Pilkada serentak. (https://www.beritasatu.com/anselmus-bata/nasional/675987/jika-tidak-ditunda-pilkada-jadi-bom-waktu-covid19)
Banyak pihak meminta agar Pilkada ini ditunda. 91% persen dari 700 peserta yang mengikuti diskusi daring yang diselenggarakan Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI) dalam tema “Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi Satu Tahun Penanganan Covid-19 di Indonesia” meminta Pilkada ini ditunda. (https://www.beritasatu.com/anselmus-bata/nasional/675987/jika-tidak-ditunda-pilkada-jadi-bom-waktu-covid19)
Namun usulan ini ditolak. Seperti yang dikatakan Menkopolhukam Mahfud MD. Usulan menunda Pilkada ditolak karena katanya kita tidak tahu sampai kapan Covid-19 ini berakhir. (https://www.beritasatu.com/anselmus-bata/nasional/675987/jika-tidak-ditunda-pilkada-jadi-bom-waktu-covid19)
Padahal banyak sekali pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi dalam proses pelaksanaan pesta berbiaya tinggi ini. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menemukan ada 243 pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran, yakni dengan membawa sejumlah pendukung dan melakukan pengerahan massa. Dari jumlah itu, merujuk pada catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), 51 pelanggar adalah calon berstatus petahana. (https://tirto.id/63-persen-zona-rawan-corona-pilkada-2020-harus-ditunda-f4o3)
Sejak masa pendaftaran saja sudah ada
beberapa orang yang terkait dengan penyelenggaraan itu terkena virus. KPU mencatat terdapat 60 calon peserta pilkada yang terpapar COVID-19, sementara Bawaslu mencatat 73.
Komisioner KPU Evi Novita Ginting, Ketua KPU Riau Ilham M Yasir, dan Ketua KPU Gresik Akhmad Roni, lalu 21 pegawai KPU pun beberapa waktu lalu juga terpapar. Di Boyolali, 96 Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) juga dinyatakan positif COVID-19. (https://tirto.id/63-persen-zona-rawan-corona-pilkada-2020-harus-ditunda-f4o3)
Bahkan yang sangat mengkhawatirkan di saat kampanye nanti dibolehkan mengadakan konser. Padahal ini jelas-jelas menciptakan kerumunan dan tentu rentan terjadinya penularan. (https://tirto.id/kpu-izinkan-peserta-pilkada-gelar-konser-musik-di-masa-covid-19-f4uo)
Hal ini menegaskan kepada kita bahwa Pilkada pada hakikatnya untuk kemaslahatan rakyat apalagi menjamin hak konstitusi warga negara. Melainkan hanya untuk mempertahankan kepentingan demokrasi yang berdampak pada sebuah kezaliman.
Bagaimana tidak? Mengutip ucapan Mahfud MD, 92% Pilkada didanai para cukong. Pendanaan ini katanya lebih berbahaya dari pada korupsi karena melegalisasi para cukong agar dapat menguasai tambang-tambang dan Sumber daya Alam (SDA) lain. (https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200911163316-32-545445/mahfud-md-sebut-92-persen-calon-kepala-daerah-dibiayai-cukong)
Padahal seluruh SDA adalah milik rakyat tidak boleh hanya dikuasi oleh segelintir orang atau pribadi. Akibat penguasaan SDA ini, tercipta jurang kemiskinan yang amat parah. Pelegalan ini sebagai ganti atas pendanaan cukong terhadap kepala daerah terpilih.
Hal ini membuka mata kepala kita bahwa mengadakan Pilkada bukanlah sesuatu yang murah tapi membutuhkan biaya yang mahal.
Pemimpin yang terpilih tidak akan fokus mengurusi kepentingan rakyat. Dalam masa kepemimpinan yang sebentar yakni 5 tahun, mereka tidak berpikir untuk mensejahterakan rakyat tapi bagaimana mengembalikan modal Pilkada dan mengumpulkan modal untuk Pilkada selanjutnya. Ujung-ujungnya Pilkada ini menjadi celah timbulnya kasus korupsi.
Seharusnya di masa pandemi seperti ini, dana Pilkada yang sangat besar dapat dialihkan membantu warga negara yang terdampak Covid-19. Membantu kebijakan lockdown/penguncian areal yang terkena wabah. Sehingga lockdown berhasil, dan mata rantai Covid-19 terputus.
Namun sangat disayangkan bahwa apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan rakyat seolah dikesampingkan sebelum datang Pilkada. Rakyat hanya dibutuhkan suaranya di saat pemilihan pemimpin. Setelah itu aspirasi rakyat terabaikan seperti tidak terdengar.
Kebobrokan sistem demokrasi ini semakin menjadi- jadi. Karena slogan dalam pemilihan pemimpin berdasarkan suara mayoritas bukan berdasarkan kelayakan dan kapasitas pemimpin tersebut. Bahkan tak jarang mantan napi koruptor dengan Percaya diri melenggang mencalonkan diri kembali.
Semua kerusakan ini semakin akut bak penyakit kronis selama kita masih menuhankan sistem demokrasi ini.
Karena faktanya bukan hanya faktor orang-orang yang memimpin dalam demokrasi yang tidak amanah atau sistem yang tidak berjalan sesuai koridor. Demokrasi itu sendiri menciptakan kerusakan sistemis. Dari proses pemilihan pemimpin dan terbitnya undang-undang yang tidak pro kepada kemaslahatan publik.
Islam telah menyuguhkan peraturan kehidupan yang lengkap bahkan sudah dipraktekan oleh suri tauldan kita yakni Nabi Muhamad SAW, semua orang mengakuinya, dilanjutkan oleh para sahabat, dan terbukti selama 14 abad mampu mensejahterakan manusia.
Peraturan hidup dalam Islam /syariat Islam ini tidak akan tegak tanpa sistem pemerintahan Islam.
Imam Al-ghazali mengatakan agama dan kekuasaan (pemerintahan) ibarat saudara kembar. Agama adalah pondasi dan Kekuasaan adalah penjaganya. Agama tanpa penjaga akan hilang dan kekuasaan tanpa pondasi akan runtuh.[]
*Mahasiswi
Comment