Ashaima Va: Baso Mang Ajo

Berita543 Views
Asharima Va
Siang ini sang surya benar-benar menunjukkan dayanya. Dan sesiangan ini Raga jadi si penggerutu. Iya, teriknya mentari benar-benar menguras habis peluhnya. Belum lagi hari ini Raga mesti berpuasa. Puasa sunnah, sih, tapi kalau jadi program wajib sekolahnya, kan, jatuhnya jadi harus. Program sekolah untuk membiasakan siswa SMA Bakti berpuasa ajSunnah senin dan kamis selalu dikeluhkan Raga. Ah, kalau begini, kan, jadi nggak ikhlas jatuhnya. Nahasnya lagi Bunda bangun kesiangan, jadinya Raga hari ini tidak sahur!
Dengan gontai Raga berjalan, berpayung terik dan harus menahan lemas. Saat seperti ini Raga jadi menyesal telah menolak tawaran bebek tua milik Ayah. Meski mesinnya selevel dengan mesin odong-odong tapi setidaknya bebek yang sudah 20 tahun menemani Ayah bekerja itu akan mempercepat langkah Raga untuk pulang saat lemas begini.
Mendekati Pos Kamling Raga berniat istirahat dulu. Mendinginkan tubuh gerahnya dan men-charge energinya. Terlihat Mang Ajo–tukang Baso yang biasa mangkal di Pos Kamling–sedang kipas-kipas menggunakan handuk kecil. Tak repot-repot mengucap salam Raga duduk di Pos, mengambil jarak agak jauh dari Mang Ajo.
“Hidup zaman sekarang makin sulit,” keluh Mang Ajo.
Raga hanya menoleh dan tersenyum sopan. Dari ekor matanya terlihat Mang Ajo menerawang. Terpaku menatap atap Pos Kamling yang lapuk dimakan cuaca.
“Sudah sebulan jualan yang beli cuma satu-dua. Nggak nutup modal! Udah keliling, nggak ada yang beli. Hadeeh.”
“Iya, Mang.” Raga menjawab sekadarnya. Tenggorokannya terlalu kering untuk menanggapi panjang lebar. Duh, kalau ga lemes Raga pun ogah duduk di sini.
“Hah, mending modar sakalian mun kieu, mah.” Mang Ajo melempar ke samping handuk kecil yang biasa tersampir di pundaknya.
(Lebih baik mati saja kalau begini)
Raga terbeliak, tak tahu harus komentar apa. “Sabar, Mang.” Hanya itu yang bisa Raga sampaikan. 
Raga hanya membatin. Di masa aturan Islam tidak diterapkan, buahnya adalah kesempitan hidup. Pak Ali sebagai pembina Rohis SMA Bakti pernah menjelaskan dalam kultumnya, saat kewenangan membuat aturan ada di tangan manusia memang kezaliman akan mengakrabi. Subsidi yang dicabut hanya satu contoh penyebab naiknya harga-harga kebutuhan pokok.
Dan apa tadi? Modar? Ah, barangkali Mang Ajo hanya bercanda. Suasana siang yang panas mungkin memacu emosinya. Jadinya Mang Ajo asal ngomong saja. Dikiranya semua akan selesai dengan kematian apa. 
Justru kematian adalah awal dari jalan berliku hisab manusia. Apalagi jika kematiannya karena bunuh diri. Di neraka akan Allah balas dengan siksa serupa cara bunuh diri. Raga bergidik dalam hati. Lagi-lagi teringat kultum Pak Ali.
Raga menghela napas kalau sedang tidak puasa mungkin Raga akan membeli Baso Mang Ajo sekarang. Masih ada sisa ongkos angkot tadi. Tapi, Raga, kan, puasa. Kini dia hanya bisa melirik gerobak lalu menelan salivanya.
Bosan terduduk di pos dengan Mang Ajo yang masih menerawang, Raga beranjak pergi. Dia pamit dengan mengangguk senyum, bodo amat, lah, dengan Mang Ajo merespon atau tidak. Di rumah nanti single bed berbahan kapuk miliknya sudah menanti.
Sesampainya di rumah, Bunda terlihat sedang ngobrol heboh di telepon. Mungkin teman arisannya. Raga mengucap salam singkat dan berjalan menuju kamarnya.
“Sudang pulang, Ga?” sapa Bunda usai pamit pada lawan bicaranya di ujung telepon.
“Hemh,” jawab Raga singkat.
“Eh, duduk sini dulu. Bunda ada perlu.”
Titah yang mulia bunda tak boleh dibantah. Raga berbalik mendekati bunda dan duduk di meja makan.
“Kamu, tuh … datang, kok, nggak salim?”
Raga hanya mengangkat alis.
“Kamu masih marah, nggak dibangunin sahur?”
“Nggak, Bunda. Raga cuma lemes. Iya … maafin Raga.” Raga mencium tangan bunda dengan takjub yang dibuat-buat.
Bunda mengacak puncak kepala Raga. Tertawa kecil melihat tingkah anak semata wayangnya itu. “Eh, kamu bantuin Bunda untuk Arisan minggu depan, ya. Tolong pesankan Baso yang suka mangkal di dekat Jalan Merbabu itu, lho.”
“Baso Mang Ajo?”
“Nah, iya. Kata Bu RT Basonya lumayan enak. Kamu pesankan 100 porsi, ya.”
“Gampang, lah, Bun. Tar Raga pesenin. Raga ke kamar dulu. Lemes.” 
“Oh, iya, sudah Salat zuhur, belum?” tanya Bunda setengah berteriak saat Raga hendak menutup pintu kamar.
“Dah.”
Bunda geleng-geleng, sudah biasa dengan tingkah Raga kalau lagi puasa. 
Di dalam kamar, Raga merebah di kasurnya dan menutup mata tanpa membuka seragam dan kaos kaki. Dengan mata terpejam Raga sudah terbayang berbagai rencana. Acara arisan setahu Raga diadakan sebulan sekali di hari sabtu. Masih ada delapan hari lagi. Hari senin nanti sajalah Raga ke tempat Mang Ajo mangkal. Atau kalau tidak sempat masih ada selasa, rabu, kamis … oh, jangan kamis dia ada latihan basket sampai sore. Maksimal Rabu, lah. Kemudian Raga semakin merapatkan mata.
•••
“Raga, tugas dari Bunda sudah kamu kerjakan?” 
Bunda selesai menerima telepon. Lagi-lagi dari teman arisannya. Tak perlu jadi cenayang untuk bisa menebak siapa yang mengobrol dengan Bunda di telepon. Karena hanya teman arisannya yang rajin menelepon bunda. 
Raga yang baru saja pulang dari latihan basket menautkan alis.
Tugas apa?
“Ah, lupa, Bund.” Raga menepuk dahinya dan nyengir tanda salah. “Sekarang hari apa? Kamis, kan. Raga sekarang ke tempat Mang Ajo mangkal, deh.” 
Raga berbalik, hendak keluar rumah. Tapi Bunda tak kalah cepat, menarik lengan Raga untuk tak beranjak. “Telat. Bunda denger dari Bu RT barusan, Mang Ajo sudah meninggal kemarin. Bunuh diri!”
Raga terbeliak menatap bunda. Kok bisa?
“Dari kemarin kampung kita heboh. Beritanya juga ada, tuh, di portal berita ….” Bunda berdecak, tak jadi merampungkan kalimatnya dan menatap Raga yang tergesa menuju kamar.
Tak menunggu lama, gawai milik Raga menampilkan berita terbaru dari situs berita online yang Raga klik tautannya dari mesin pencari Google. 
KARENA MASALAH EKONOMI TUKANG BASO NEKAT BUNUH DIRI
CILANDAK (City News) – Diduga terbelit masalah ekonomi, pedagang bakso nekat mengakhiri hidup dengan cara gantung diri di rumah kontrakannya, di Jalan Rinjani Utara, RT 013/04 Cilandak Jaksel, Rabu (8/11) sore.
Korban Sumarja alias Ajo, 60, kelahiran Majalengka 14 Februari 1957, meregang nyawa dengan kondisi leher terjerat tambang. Peristiwa tersebut kontan membuat heboh warga.
Tetangga korban menjelaskan memang sehari-hari korban lebih sering melamun dan mengeluhkan dagangannya yang tak laku. Belum lagi hutang di kampung yang menumpuk.
Menurut Kanit Reskrim Polsek Cilandak, Kompol Miftahudin , setelah diidentifikasi, korban tewas karena bunuh diri. Hal ini terlihat dari tulisan tangan korban di secarik kertas yang ada di TKP.
Secarik kertas tersebut diduga ditulis pada pagi harinya. Bertuliskan tekad Sumarja untuk bunuh diri jika dagangannya hari ini tak laku lagi.
“Soal apakah ada motif lain mengenai kenapa dia nekat melakukan hal itu, masih kami selidiki,” imbuh Kompol Miftahudin.
Raga terhenyak usai membaca berita tersebut. Terduduk lemas di kasur, Raga menyesali keputusannya menunda melaksanakan tugas dari Bunda. 
Ada ribuan andai yang berteriak di benaknya. Andai Raga bersegera. Andai Raga tak pulang larut selama beberapa hari ini. Andai Raga tak menyepelekan tugas dari Bunda. Andai hari senin itu Raga segera menemui mang Ajo. Andai Raga tak malas bercakap, setidaknya meluruskan saat Mang Ajo bilang mendingan modar waktu itu. Mang Ajo gantung diri, maka dia akan Allah siksa dengan cara yang sama di akhirat kelak.
Aaargh, sungguh Raga menyesal.
Andai-nya memang tak akan mengubah qada Allah. Tapi akan menjadi pelajaran yang tak akan Raga lupakan.
________
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang bunuh diri dengan senjata tajam, maka senjata itu akan ditusuk-tusukannya sendiri dengan tangannya ke perutnya di neraka untuk selama-lamanya; dan siapa yang bunuh diri dengan racun, maka dia akan meminumnya pula sedikit demi sedikit nanti di neraka, untuk selama-lamanya; dan siapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari gunung, maka dia akan menjatuhkan dirinya pula nanti (berulang-ulang) ke neraka, untuk selama-lamanya.” (HR. Muslim).

Comment