Penulis: M. Imam Syamsi Ali, Lc, MA, Ph.D| Imam Masjid Islamic Center of New York, Direktur Jamaica Muslim Center, Amerika Serikat
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Sore ini, Rabu 15 Nopember, saya baru saja selesai ketemu dan berdiskusi dengan salah seorang tokoh Yahudi di kota New York. Sebenarnya pertemuan ini karena ajakan dia setelah menonton Wawancara saya di MSNBC tiga hari lalu. Kita ketemu sambil ngopi di sebuah restoran Kosher di Manhattan.
Di pertemuan yang santai tapi serius itu kita banyak berbicara tentang konflik Palestina-Israel, khususnya apa yang terjadi di Gaza saat ini. Selain itu kami juga banyak berbicara tentang dampak perang Israel-Palestina pada komunitas Muslim dan Yahudi dengan meningginya Islamophobia dan Anti Semitism.
Sambil menikmati secangkir kopi dan cheese cake (kosher tentunya) kami saling menimpali. Kadang sepakat tapi tidak jarang juga terpaksa apa adanya dengan berterus terang: “sorry but I disagree with you” (maaf tapi saya tidak sependapat dengan anda) dalam banyak hal.
Dalam hal perang Gaza saat ini kami sepakat menentang pembunuhan rakyat sipil; anak-anak, wanita, dan masyarakat sipil secara umum. Apa yang dilakukan oleh Israel saat ini tidak dapat diterima oleh akal sehat dan “common sense” dan karenanya terkutuk.
Akan tetapi ketika sampai kepada bagaimana harusnya menyikapi peperangan ini kita berbeda pendapat. Saya tegas ingin agar sesegera mungkin menghentikan peperangan itu. Namun dia berpendapat bahwa jika diadakan genjatan senjata saat ini maka Hamas kembali akan membangun kekuatan untuk menyerang Israel. Karenanya menurutnya, adalah kewajaran jika Israel terus melemahkan bahkan daam istilah dia “mengeliminer” Hamas seraya menjaga agar rakyat sipil tidak lagi menjadi korban.
Saya hanya menimpali bahwa pendapat itu sulit diterima. Karena kenyataannya peperangan yang telah berlangsung sekitar sebulan itu telah menelan 12,000 lebih rakyat sipil. Empat ribu lebih adalah anak-anak dan bayi. Rumah-rumah penduduk, rumah sakit-rumah sakit, sekolah-semolah bahkan rumah-rumah ibadah juga dihancurkan. Lalu di mana logika pemikiran itu?
Mendengar itu dia hanya terdiam sambil menatap saya agak dalam. Tokoh Yahudi (Rabbi) ini adalah salah seorang dari 50 tokoh Yahudi yang paling berpengaruh di Amerika. Dia memang mengaku bukan bukan Zionis. Tapi jujur jika dia adalah pendukung negara Israel untuk eksis sebagai satu-satunya negara Yahudi (Jewish state).
Ketakutan itu nyata
Sebenarnya yang ingin saya sampaikan kali ini adalah apa yang saya sebut sebagai “a friend to friend talk”. Saya menyampaikan kepada teman itu bahwa apa yang dilakukan oleh Israel saat ini, anda sadari atau tidak, justeru menjadi ancaman besar dan nyata (a clear threat) bagi Israel di masa mendatang.
Saya menyebutnya “Israel sedang membuat luka yang sangat dalam di hati dan benak (hearts and minds) generasi muda dunia Islam, khususnya di Timur Tengah. Karenanya Israel telah membuka pintu bahaya besar dan ancaman yang nyata bagi masyarakat Yahudi di tahun-tahun mendatang.
Saya sampaikan, umat Yahudi di dunia saat ini hanya sekitar 15-16 juta. Sedangkan umat Islam sedunia minimal sekitar 1.8 Milyar. Memang tak disangkal, saat ini Israel nampak sangat kuat. Hal itu karena masih didukung oleh segelintir negara kuat, termasuk Amerika. Selain itu juga karena beberapa pemerintahan Islam/Arab masih baik-baik saja (punya hubungan diplomasi) dengan Israel.
Tapi saya ingatkan: “nothing is certain but the change itself” (Tidak ada yang pasti kecuali perubahan itu sendiri).
Karenanya saya ingatkan bahwa Amerika tidak selamanya akan seperti saat ini (membela Israel). Ada masanya pembelaan membuta (blind support) kepada Israel ini akan berubah. Minimal akan ada masanya Amerika akan sadar tentang nilai-nilai keadilan untuk semua (justice for all) sepert slogan yang kita banggakan.
Walaupun saya sadar bahwa hal ini sangat sensitif untuk disampaikan, tapi saya tetap sampaikan. Bahwa sebelum peristiwa Holocaust, masyarakat Yahudi pernah mendapat perlakuan Istimewa di Eropa.Tapi semua itu berakhir pada masanya. Hal serupa tidak mustahil, dan semua fenomena yang ada mengatakan bahwa hal sama akan terjadi di Amerika.
Lalu saya ingatkan, pemerintahan Arab/islam yang masih bersahabat (punya hubungan diplomasi) dengan Israel saat ini juga cepat atau lambat akan mengalami perubahan. Ada masa-masa ke depan generasi muda yang saat ini sedang terluka yang dalam akan mengambil alih pemerintahan itu.
Saya kemudian ingatkan: “as a friend, this is an honest talk. Aren’t you worried or afraid of your future and the future of your generation?” (Sebagai teman, saya menyampaikan secara jujur: tidakkah anda khawatir atau takut dengan masa depan anda dan masa depan generasi anda?).
Si Rabbi ini lama terdiam, seolah memikirkan sesuatu. Seraya menatap saya dia menjawab: “thank you”, tanpa menyambung dengan satu katapun selain itu.
Waktu kami berdua tidak lama. Tapi saya sempat mengingatkan dua hal. Satu, tentang kisah Umar yang memberikan izin kepada masyarakat Yahudi kembali ke Yerusalem setelah diusir oleh Kristen Romawi.
Dua, mengingatkan kembali jika yang menyelamatkan banyak Yahudi dari kejaran Nazi di Eropa saat itu adalah Komunitas Muslim Eropa. Saya menyebutkan Albania secara khusus. Satu-satunya negara Eropa saat itu yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Mendengar itu sang Rabbi itu nampak terheran, atau kemungkinan terkejut atau mungkin juga tidak percaya.
Saya sesungguhnya tidak peduli. Saya hanya ingin mengingatkan sejarah mereka yang pernah merasakan pengalaman pahit, seperti apa yang dialami oleh warga Gaza saat ini.
Saya tidak lupa mengakhiri pertemuan itu dengan ajakan untuk bersama-sama mendorong pemerintahan Biden agar lebih serius lagi menekan Israel untuk menghentikan serangan ke Gaza. Dia hanya diam. Seolah kebingungan untuk merespon ajakan saya itu.
Saya kemudian menyalami dia seraya meminta izin untuk pulang karena waktu untuk sholat Magrib telah tiba.
Alaa fahal qad ballaghtu?[]
Comment