Antara UU Pesantren Dan Independensi Ponpes

Opini816 Views

 

 

 

Oleh : Murni, S.E, Relawan Media

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Dua tahun disahkan, sejumlah pesantren menolak Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren (UU Pesantren) dan aturan turunan yang dikeluarkan pemerintah. Penolakan tersebut muncul kembali bersamaan dengan munculnya Perpres 82 tahun 2021 tentang pendanaan pesantren dan peraturan Menag tentang pendidikan pesantren.

Salah satunya datang dari pendiri Pondok Pesantren Tahfidz & Tafsir Al Badar Bogor Badrudin Subky. Menurut Subky, seperti dikutip voaindonesia.com, Sabtu (25/9/2021), pesantren selama ini dapat mandiri tanpa bantuan pemerintah. Adanya bantuan tersebut justru akan menghilangkan nilai-nilai di pesantren seperti kesederhanaan. Hal ini disampaikan dalam diskusi daring bertema “Ponpes-Ponpes Menggugat dan Menolak UU Pesantren?”

Ia menyebut salah satu pasal yang menjadi kekhawatiran pihaknya adalah Pasal 6 Ayat 2 d Undang-undang Pesantren yang berbunyi, “Pendirian pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: mendaftarkan keberadaan pesantren kepada menteri.

Menurutnya, pasal ini dikhawatirkan menjadi celah bagi penutupan pesantren yang tidak mendaftar ke menteri. Di sisi lain, pendaftaran pesantren tidak dibutuhkan pesantren karena masyarakat sudah mempercayai pesantren sehingga banyak yang menitipkan anaknya untuk belajar.

Sementara Pengasuh Pondok Pesantren Al Muntaha Bangkalan Madura Thoha Kholili mengkritik Undang-Undang Pesantren yang dapat mengubah pendidikan di pesantren. Utamanya melalui perubahan kurikulum pendidikan di pesantren.

Beliau berpendapat bahwa pendidikan secara tradisional di pesantren selama ini terbukti berhasil mendidik para santri.

Undang-undang tentang Pesantren itu bukan saja membonsai atau mendangkalkan tapi juga membabat habis pesantren. Beliau mengklaim cara pendidikan seperti di pesantren juga ditiru negara maju seperti Israel. Karena itu, ia menyarankan pesantren untuk mengkritisi secara mendalam terkait Undang-undang Pesantren.

Kritikan senada dalam diskusi daring tersebut datang dari Eks juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto mempertanyakan Pasal 3 a dan b Undang-undang Pesantren yang mencantumkan kata moderat.

Menurutnya, pengertian kata moderat dalam pasal tersebut tidak jelas dan berpotensi memecah umat Islam.

Aroma moderasi beragama di tubuh pesantren mulai terhembus lewat UU Pesantren. Nampaknya intervensi pemerintah tidak hanya menghambat laju pemahaman umat tentang Islam, melainkan menggulirkan narasi moderasi agama di dalam ranah pesantren, baik dari segi pengadaan pesantren, pendanaan bahkan kurikulum pesantren itu sendiri harus sejalan dengan kehendak pemerintah.

Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam dan merupakan pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.

Sepanjang ritme sejarah pendirian beberapa pondok pesantren (ponpes) di tanah air, belum ditemukan adanya intervensi pendanaan dan keuangan internal pesantren yang dikendalikan langsung oleh pemerintah dan kurikulum pesantren yang berbasis nilai -nilai Islam akan berubah sesuai kemauan rezim yang tertera dalam UU pesantren tersebut.

Padahal sejatinya pendirian pondok pesantren, pengadaan, pendanaan bahkan kurikulum yang diberlakukan adalah hak sepenuhnya pendiri pesantren dalam hal ini para Kyai, para ulama tanpa ada intervensi pihak lain yang tidak memiliki wewenang di dalamnya sesuai visi dan misi pesantren yang hendak diwujudkan.

Terpampang jelas pula adanya upaya pendangkalan akidah bagi para santri sebagaimana tertera pada frasa dalam pasal 1 ayat 1 UU pesantren no 18 tahun 2019 yang maknanya masih bias, perlu pendefinisian yang lebih spesifik lagi. Misalnya pada frasa menanamkan nilai luhur bangsa, yang tanpa dispesifikasi lagi tidak menutup kemungkinan mengarah pada kepercayaan animisme dan dinamisme, bersikap toleran dan moderat. Dengan begitu, bisa saja mendakwahkan ajaran Islam seperti Khilafah, jihad dan qishas akan dituduh intoleran dan radikal bahkan penyelenggara pesantren harus berdasarkan multikultural. Jelas ini upaya menanamkan pluralisme yaitu menyamakan semua agama adalah benar.

Ulama dan Pemimpin dalam Konsep Islam

Ulama adalah pewaris para Nabi. Pesantren identik dengan ulama atau Kyai yang telah mendedikasikan diri mendidik para santri dan mengurus umat sehingga lahir generasi-generasi yang berkepribadian Islam.

Pesantren memiliki kurikulum berbasis Islam, turun-temurun diberlakukan dan nasab kurikulum mereka terjaga.

Dalam konsep Islam fungsi ulama adalah mengontrol umaroh (pemimpin) dalam melakukan Muhasabah Lil Hukam (mengoreksi penguasa). Olehnya seorang pemimpin harusnya menempatkan para ulama sebagai tempat meminta fatwa, arahan, nasihat, pendapat atau hal lainnya untuk memaksimalkan tugas dan tanggung jawab terhadap rakyatnya. Interaksi seperti inilah yang harusnya dibangun oleh pemerintah.

Lain halnya dalam UU pesantren, sebaliknya justru terkesan ulama dikendalikan oleh kehendak pemerintah. Ulama bukan lagi tempat untuk meminta fatwa, nasihat melainkan pemerintah yang memberi nasihat atau pendapat kepada ulama. Marwah para ulama pun jatuh seketika di mata para santri dan umatnya.

Pemerintah seharusnya menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab para kyai, tetapi juga tanggung jawab pemerintah.

Karena itu sudah semestinya memaksimalkan peran pemerintah terhadap pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan sumber daya manusia, mencetak generasi ulama – senantiasa terus didorong dan dikembangkan kualitasnya, berupaya menguatkan akidah para santri bukan malah sebaliknya, mengubah pola pendidikan Islam yang sudah mengakar  menjadi pola pendidikan sekuler. Allahu’alam Bishowab.[]

 

Comment