RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Gas LPG 3Kg alias gas melon merupakan barang kebutuhan pokok bagi masyarakat terutama masyarakat miskin dan para pedagang kecil dengan harga persatu tabung mecapai Rp.18.000 sampai Rp. 21.000,-
Namun pada pertengahan tahun 2020 ini harga teraebut akan dinaikkan pertabungnya mencap Rp. 37.000 sampai Rp. 40.000,-
Dengan harga dan bandrol sebelumnya saja para pedagang sangat berhati-hati dan hemat dalam menggunakannya.
Pemerintah menyatakan bahwa subsidi untuk gas melon akan dicabut. Kabar ini tentu saja membuat para pedagang kecil dan masyarakat miskin ketar-ketir.
Plt. Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, nantinya gas melon akan dijual dengan harga normal di toko maupun di pasar. Subsidi diberikan terbatas hanya bagi mereka yang berhak menerima dan mendaftar sedangkan untuk yang tidak terdaftar tidak dapat menerima.
Akan tetapi, Djoko belum bisa memastikan bagaimna teknis penyalurannya, tapi opsi yang disiapkannya bisa dari transfer bank, kartu, sampai kode elektronik.
Di samping itu, pemerintah juga berencana membatasi pembelian gas melon menjadi 3 tabung gas per bulan dari hitung-hitungan kebutuhan rakyat miskin. Menurut Djoko jika ada pembelian lebih itu, pemerintah pantas curiga jangan-jangan subsidi salah sasaran.
Akar Permasalahan
Namun, kategori seseorang dikatakan dapat menerima dan terdaftar itu masih belum jelas karena menurut Haryono (58) seorang pedangan bakmi yang dilansir oleh tirto.id, mengaku keberatan dengan perubahan ini.
Ia pesimistis kalau pemerintah bakal memperhatikan rakyat. Bila kebijakan ini berlaku ongkos penjualannya bakal membengkak karena per minggunya ia menghabiskan minimal 7 tabung.
Dengan harga gas melon di kisaran Rp. 35.000 sampai Rp.40.000 per tabung, ia hanya bisa meratapi keuntungannya yang terpangkas.
Lagi pula ia bilang tak mungkin menaikkan harga karena konsumen pasti tak mau membeli. Paling tidak, kata Haryono, harus ada pembedaan dari keutuhan gas rumah tangga dan pedagang seperti dirinya.
“Saya pasrah saja sudah. Susah naik harga nanti ditinggal pelanggan.” Ucap Haryono saat ditemui reporter. Tirto (18/1/2020).
Haryono ternyata punya kecemasan lain, ia tahu kalau pemerintah bakal mendata siapa saja yang berhak menerimanya. Namun, ia ragu kalau pendataan itu bakal dilakukan dengan adil.
Haryono sudah berdagang di kawasan Sabang sejak tahun 1987 namun ternyata Haryono tidak masuk pendataan saat masa kebijakan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono soal konversi minyak tanah dan as LPG 3 kg yang aturannya terbit tahun 2007. Lantaran banyak persyaratan seperti surat keterangan RT/RW-kelurahan.
Ia tahu permainan pejabat daerah yang aji mumpung mengambil keuntungan dengan sengaja tidak mendistribusikan gas subsidi itu kepada mereka.
Ada permainan mengambil kesempatan di dalam kesempitan, di sini pihak pejabat hanya memikirkan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan kalangan bawah yang lebih membutuhkan subsidi gas tersebut.
“Susah deh itu terjadi, jadi rakyat biasa gini pasrah engga akan didenger. Pemerintah dan DPR Cuma urusin dirinya boro-boro rakyat. Ketemu pas pemilu aja.” Ucap Haryono.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan kekhawatiran Haryono memang ada benarnya.
Saat konversi minyak tanah ke gas melon pada 2004, distribusi dengan kartu Keluarga sempat tak berjalan sampai akhirnya siapa pun boleh membeli.
Proses pendataannya, kata Tulus, juga bermasalah. YKLI justru khawatir ada masalah permutakhiran data rumah tangga dan pengawasan yang lemah pada distribusi LPG melon.
Bila pemerintah lengah, kebijakan baru ini malah akan membawa celaka yaitu harga gas melambung, inflasi meningkat dan daya beli masyarakat jatuh. (Tirto.id).
Semua itu terjadi karena bobroknya sistem kapitalisme yang tidak mesejahterakan rakyat. Kapitalisme hanya mementingkan keuntuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya tanpa memperdulikan apakah ada rakyat kesusahan atau tidak.
Mereka yang berkuasa dan mengendalikan pasar adalah yang mempunyai materi lebih dari yang lainnya, mereka dapat dengan mudah merubah peraturan hanya untuk memudahkan kalangan dan kepentingan mereka saja.
Solusi Fundamental
Lalu, sudahkah benar langkah yang diambil pemerintah dalam membatasi subsidi LPG 3 kg atau gas melon?
Fakta menunjukan bahwa tidak semua barang dan jasa yang diproduksi manusia untuk dikonsumsi sendiri. Fakta juga menjunjukan bahwa sebagian barang dan jasa yang diproduksi manusia adalah untuk kepentingan dan kebutuhan manusia lain. Hanya sedikit saja yang digunakan untuk dikonsumsi sendiri.
Aktifitas ekonomi yang paling besar ada pada transaksi, baik itu jual beli, sewa menyewa, pinjaman, hutang, memberi dan menerima.
Transaksi inilah yang paling banyak menimbulkan masalah ekonomi dibandingkan produksi. Berbagai konflik yang diakibatkan oleh aktivitas transaksi salah satunya seperti yang dialami oleh Pak Haryono.
Berkaca kepada kepemimpinan Umar Bin Khottab yang sangat bertanggung jawab terhadap amanah rakyat. Saat menjadi pemimpin umat ia pun rela berjalan menyelusuri kota demi kota untuk melihat adakah di antara rakyat yang menghadapi kesulutan dan tidak mendapatkan haknnya.
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang tidak memperhatikan rakyat sampai serinci itu.
Maka dari itu, tidak rindukah kita dengan sistem ekonomi islam yang pernah menjadi rahmat bagi segenap manusia di muka bumi ini? Persoalan utama ekonomiadalah dalam hal distribusi yang merata.
Dengan menggunakan sistem ekonomi islam maka masalah distribusi gas melon dapat diselesaikan dengan mudah dan adil.
Masyarakat di berbagai kalangan tidak akan dirugikan karena islam sangat memperhatikan distribusi demi keadilan bagi setiap warganya.
Oleh karena itu perlu dipahami oleh kita semua bahwa masalah disribusi gas melon ini tidak dapat mensejahterakan rakyat. Kapitalis hanya memikirkan keuntungan dan kepentingan golongam.
Untuk itu hatus ada solusi dengan mengganti sistem ekonomi kapitalis menjadi sitem ekonomi islam agar masyarakat dapat hidup sejahtera.[]
*Mahadiswi Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Yogyakarta
Comment