Anita Desi Rika Ndani.[Dok/pribadi] |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Tahun 2018-2019 adalah tahun- tahun politik bangsa Indonesia. Tahun 2018 akan digelar pilkada serentak di 17 provinsi dan 115 kabupaten. Sedangkan tahun 2019 akan digelar pileg dan pilpres.
Pertarungan polotik pun sudah dimulai untuk meraih simPati masyarakat sebagai pemilih akan tetapi, pertarungan sudah sangat sengit sebelum masa pendaftaran cagub dan cawagub serta cabup dan cawabup. Bahkan beberapa calon mengalami beberapa kasus seperti dugaan permintaan mahar oleh partai kepada calon. Ini menunjukan betapa bobroknya perpolitikan dalam sistem demokrasi di negeri ini.
Namun, isu yang harus diperhatikan adalah adanya deal-deal politik partai-partai yang dilakukan untuk koalisi guna memenangkan perebutan jabatan tertinggi. Koalisi antar partai menjadi sebuah keharusan untuk memenuhi batas minimal keterwakilan di dewan agar dapat mengajukan calon kepala daerah dalam Pilkada langsung. Tak jarang koalisi ini terkesan pragmatis dan menabrak idealisme partai. Aroma koalisi pragmatis pun sangat mudah tercium dari bakal calon Kepala Daerah. Tarik ulur dukungan terhadap pasangan calon dan pasang surut rencana koalisi di antara partai-partai yang berkompetisi pada pilkada kali ini pun terjadi.
Ketika memilih caleg dari partai tertentu, masyarakat berharap bahwa caleg dan partai yang mereka pilih akan bisa mewakili suara rakyat, sesuai program partai yang berisi janji-janji manis yang mereka sampaikan. Namun, ketika pemilihan kepala daerah, partai-partai pilihan rakyat dipaksa berkoalisi agar dapat mengajukan calon kepala daerah yang memenuhi syarat keterwakilan di dewan. Tentu koalisi ini tak lagi memperhatikan program partai yang dikampanyekan saat pileg. Pertimbangan koalisi hanyalah bagaimana agar dapat memenangkan pilkada dan memperoleh cipratan kekuasaan.
Koaisi pragmatis seperti ini tentu akan menjadi musibah bagi rakyat. Suara rakyat sekedar dijadikan legitimasi kepentingan partai. Karena ketika memilih misal rakyat beralasan karena agama tertentu, akan tetapi pada faktanya partai pilihan rakyat berkoalisi dengan partai yang tidak rakyat pilih. Maka suara rakyat adalah sia-sia belaka.
Selain itu, koalisi pragmais seperti ini juga hanya akan melahirkan kebijakan yang bersifat kolusif dan transaksional, bukan lagi pada mencari solusi tercapainya kesejahteraan rakyat, tetapi kebijakan dibuat untuk para pengusaha kapitalis yang telah mendanai kampanye caleg dan pilkada. Yang lebih besar lagi adalah musibah ketika partai Islam berkoalisi secara pragmati. Tidak hanya koalisi transaksional, tetapi juga berdampak buruk bagi Islam dan kaum muslimin. Koalisi partai Islam yang pragmatis akan menjauhkan umat dari perjuangan syariat Islam yang benar, membodohkan umat dengan menggunakan dalil-dali agama, dan membuat masyarakat tidak percaya kepada partai islam serta menjadikan umat apolitis dan alergi terhada islam politik yang benar.
Dalam pandangan Islam, koalisi pragmatiss seperti ini adalah tidak dibenarkan. Pertama, Allah SWT melarang berhukum kepada selain hukum Islam dan kewajiban hanya berhukum pada hukum Islam saja, seperti firman Allah dalam QS. Al maidah: 47-48. Kedua, Islam juga melarang tolong menolong dalam dosa, meskipun koalisi dibangun oleh partai berbasis massa Islam, jika koalisi mengangkat penguasa yang menegakkan hukun selain hukum Islam dan berorientasi pada kepentingan kelompok atau pemodal, maka tetap haram karena nyata bekerjasama dalam kemungkaran (QS. Al maidah :2). Ketiga, ketika syarat dalam koalisi yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-sunah adalah akad bathil yang dibatalkan Islam. Seperti sabda Rasululloh SAW: “barang siapa membuat persyaratan(perjanjian) yang tidak sesuai dengan kitab Allah maka syarat tersebut batal walaupun mengajukan seratus persyaratan, karena syarat Allah lebih benar dan lebih kuat”(HR. Bukhari-Muslim). Keempat, koalisi adalah sarana pemenuhan syarat bagi partai untuk mengangkat calon kepala daerah dimana keduanya adalah hakim yang bertugas menegakkan hukum demokrasi. Maka jelas sarana ini hukumnya haram, sesuai kaidah syar’iyah:”sarana yang menyampaikan kepada perkara haram maka diharamkan”.
Demikianlah fakta jelas kebobrokan sistem demokrasi. Dan kebobrokan ini tidak cukup diperbaiki hanya dengan melakukan koalisi dan rotasi kepemimpinan. Realitanya, pemimpin yang awalnya terkesan baik dan amanah akhirnya juga tergerus dan larut dalam siatem rusak ini. Mereka terjerumus dalam kasus korups, video porno dan lain-lain. Terlebih lagi demokrsi adalah sistem yang bertentangan dengan Islam, maka wajib bagi muslim untuk menolak dan menggantinya dengan istem Islam kaffah. Wallahu’alam bish-showab.
Comment