Ani Ummu Khalisha*: Gurita Korupsi Dalam Sistem Demokrasi

Opini620 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Tertangkapnya Djoko Tjandra cukup menyita perhatian publik. Kasus Djoko Tjandra berawal ketika Direktur PT Era Giat Prima dijerat dakwaan berlapis oleh jaksa penuntut umum Ridwan Moekiat. (Kompas, 24/02/2000).

Dalam dakwaan primer, Djoko didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara Rp 940 miliar.

Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai oleh R .Soenarto memutuskan untuk tidak menerima dakwaan jaksa tersebut.

Kemudian, oktober 2008 Kejaksaan mengajukan PK ke Mahkamah Agung. MA menerima dan menyatakan Djoko Tjandra dinyatakan bersalah.

Djoko dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas negara.

Sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko diduga kabur meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Port Moresby, Papua Nugini.

Pada Juni 2012 Djoko Tjandra pindah kewarganegaraan ke Papua Nugini, kendati demikian alih status pindah negara tidak sah karena Djoko masih mempunyai permasalahan hukum di Indonesia.

Kabar Djoko Tjandra kembali mengemuka setelah dia berupaya melakukan peninjauan kembali (PK) antara Juni- Juli 2020 ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bahkan Djoko Tjandra diketahui, sempat tinggal di Indonesia.

Dia sempat membuat E-KTP dan paspor sehingga dapat mendaftarkan PK ke Pengadilan. Setelah itu Djoko kembali meninggalkan Indonesia, terakhir dia diketahui berada di Malaysia. Namun, akhirnya pada kamis 30/07/20 Djoko Tjandra berhasil ditangkap Bareskrim Polri di Malaysia setelah 11 tahun buron.

Status Djoko Tjandra kini telah resmi menjadi narapidana. Bareskrim telah menyerahkan terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali ini ke Kejaksaan Agung. Penyerahan tersebut dilakukan Bareskrim Mabes Polri Jakarta pada jumat 31/07/20.

Setelah penyerahan Djoko Tjandra, untuk sementara akan mendekam dirutan cabang Salemba. Untuk memudahkan Polri melakukan pemeriksaan terkait kasus pelarian Djoko Tjandra yang melibatkan sejumlah aparat penegak hukum.

Polri juga tengah mendalami adanya dugaan aliran dana dari Djoko Tjandra. Serta pemeriksaan lebih lanjut Djoko Tjandra, terkait beberapa dugaan kasus lain yang menjeratnya yakni penerbitan surat jalan dan rekomendasi.
(Kompas.com 1/08/20)

Sekelumit fakta di atas memperlihatkan bahwa dengan mudahnya seorang terpidana kasus korupsi yang merugikan negara dapat lolos selama 11 tahun tanpa ada suatu hambatan.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal seharusnya lembaga keamanan kita dan sistem birokrasi di negeri ini mampu mencegahnya.

Kemudahan membuat E-KTP dan paspor untuk orang yang sudah buron selama 11 tahun amat disesalkan. Hal ini membuat kita semakin menilai birokrasi dan mental para pejabat negeri ini sangat jauh dari harapan. Alih-alih memberikan sanksi malah dengan mudah memberikan pelayanan.

Kuasa korporasi nyata telah mampu mengendalikan pejabat negeri di semua lini dan akhirnya lembaga peradilan mandul memberi sanksi.

Harapan rakyat mempunyai pejabat negeri yang mampu bekerja untuk rakyat dan memberikan pelayanan yang bersih dan memuaskan hanya angan semata.

Kasus Djoko Tjandra sangat merugikan negara, seharusnya dia tidak ada kesempatan untuk bisa melarikan diri dan buron hingga belasan tahun. Seandainya tak ada keterlibatan banyak pihak.

Penangkapan Djoko Tjandra tidak pula bisa dianggap sebuah prestasi bagi kepolisian tapi ini merupakan kewajiban publik untuk memberi sanksi pada pelanggar aturan. Serangkaian kasus Djoko Tjandra semoga bisa segera tuntas dan dapat diusut siapa saja yang terlibat.

Faktor Penyebab

Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan korupsi hingga penyalahgunaan jabatan ini terjadi, pertama hal ini tidak bisa lepas dari faktor ideologis yang dianut masyarakat saat ini yang berkiblat pada sistem Barat. Seperti nilai kebebasan dan hedonisme.

Demokrasi-kapitalis telah mengajarkan empat kebebasan yaitu kebebasan beragama (hurriyah al aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al ra’yi) dan kebebasan berperilaku ( al hurriyah al syakhshiyyah).

Empat macam kebebasan inilah yang tumbuh subur dalam sistem demokrasi-kapitalis yang terbukti telah melahirkan berbagai kerusakan.

Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat faham kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk) tersebut. (Abdul Qadim Zallum, Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1990).

Perlu diingat korupsi juga tak hanya terjadi di Indonesia tapi terjadi di masyarakat manapun yang menerapkan nilai-nilai yang bersumber dari ideologi Barat tersebut.

Ledakan korupsi bukan hanya terjadi di tanah air, tetapi terjadi di negara-negara Barat yang menerapkan demokrasi-kapitalis yang justru menjadi biang perilaku kebobrokan ini.

Kedua faktor lemahnya karakter individu (misalnya tidak tahan dengan perilaku suap).

Ketiga faktor lingkungan/masyarakat, seperti adanya budaya suap gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyarakat.

Keempat lemahnya penegakan hukum, misalnya ada sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.

Korupsi Dalam Pandangan Islam

Korupsi dalam syariat Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut kha’in termasuk didalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang.

Tindakan kha’in tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam syariat Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifa ‘wal istitar).

Sedangkan khianat bukan tindakan seseorang pengambil harta milik orang lain melainkan pengkhianatan yang dilakukan seseorang yaitu menggelapkan harta yang telah diamanahkan kepada seseorang itu. (Lihat Abdurrahman al Maliki, Nizhamul Uqubat hal 31).

Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah saw bersabda: “Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan mengkhianatan (termasuk koruptor), orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret”. (HR. Abu Dawud).

Maka sanksi yang diberikan kepada koruptor sanksinya disebut ta’zir yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku dihadapan publik atau media massa (tasyhir) hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati.

Teknisi bisa dibantu atau dipancung. Berat rintangan sanksi ta’zir sesuai dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm 78-89).

Itulah sanksi yang diterapkan oleh sistem Islam yang efektif memberantas korupsi. Karena bersifat pencegahan ( preventif) juga bersifat penindakan (kuratif).

Semoga fakta ini semakin menyadarkan kita untuk segera membuang sistem demokrasi. Dan beralih pada sistem Islam. Yang akan mampu melahirkan para pemimpin yang bertakwa dan bekerja demi kepentingan rakyat, serta mampu memberikan keadilan yang diharapkan. Wallahu’alam bishawab.[]

*Aktivis Muslimah Peduli Negeri

Comment