RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengklaim kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan tak seperah seperti pemberitaan di media massa.
Hal itu Wiranto sampaikan berdasarkan hasil kunjungan dirinya dan Presiden Joko Widodo saat meninjau lokasi karhutla di Riau.
“Realitas yang dikabarkan (pemberitaan) dengan realitas yang ada (di lapangan) sangat berbeda. Waktu kami di Riau, tidak separah yang diberitakan,” kata Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Rabu (18/9/2019) di laman tirto.id.
Pernyataan Menko Polhukam tersebut tentunya sangat menyakiti hati masyarakat yang bermukim di wilayah terpapar asap akibat karhutla. Betapa tidak, sudah hampir tiga bulan asap hasil pembakaran hutan dan lahan yang terjadi di sebagian Kalimantan dan Riau membuat mereka kesulitan bernafas, sekolah-sekolah diliburkan, jarak pandang terbatas, resiko kecelakaan di jalan raya tinggi, sejumlah penerbangan dibatalkan dan tentunya sangat menggangu aktivitas sehari-hari.
Data BMKG mencatat, per tanggal 19 September 2019, konsentrasi PM10 di Pekanbaru, Riau menyentuh angka 398,35 πgram/m3 pada pukul 8pagi waktu setempat. Dan nilai ambang batas konsentrasi partikulat tersebut semakin hari semakin meningkat. Angka ini mengindikasikan kualitas udara yang tidak sehat dan sangat berbahaya bagi kesehatan.
Seperti yang ditulis laman berita kontan.co.id., Sebuah citra satelit NASA memperlihatkan kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan, memperlihatkan bagaimana kabut asap menggelayut. Gambar tersebut diambil pada 15 September 2019 oleh Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dari Satelit Aqua yang dipunyai NASA.
Berdasarkan rilis yang dikutip Gizmodo Rabu (18/9), hingga akhir pekan kemarin tercatat ada 4.000 titik api di Indonesia, dengan sebagian besar terkonsentrasi di Kalimantan dan Sumatera.
Alih-alih memberikan solusi mengatasi karhutla, atau bahkan sekadar ucapan simpati, pemerintah yang diwakili Menkopolhukam justru membuat keadaan semakin panas dengan mengeluarkan pernyataan bahwa realita karhutla tidak parah.
Padahal, kabut asap yang sedemikian parah tidak hanya dirasakan masyarakat di sebagian Sumatra dan Kalimantan. Namun, juga dirasakan warga negara Malaysia dan membuat pemerintah Malaysia mengirim surat ke Indonesia, mendesak pemerintah setempat mengambil langkah memadamkan karhutla.
Kasus Karhutla sebenarnya bukan masalah baru melainkan kejadian berulang sejak tahun 1997. Dan sudah menjadi rahasia umum karhutla yang terjadi bukanlah murni akibat Elnino dari alam tapi ulah tangan-tangan tidak bertanggungjawab.
Dikutip dari republika.co.id., “Dari data Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menyebut adanya indikasi kesengajaan pembakaran hutan dan lahan. Indikasi itu, menurut Tito, sesuai pantauan udara bersama Panglima TNI dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Dari pantauan tersebut, kata dia, tak terlihat adanya kebakaran di wilayah perkebunan, baik di kebun sawit maupun di Hutan Tanaman Industri (HTI). Lokasi kebakaran ditemukan berada di hutan atau semak.
“Artinya, ini ada indikasi kuat terjadinya pembakaran, kesengajaan. Sebagian sudah ditangkap, itu juga membuktikan bahwa peristiwa itu ada,” kata Tito dalam keterangan pers usai mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pekanbaru, Riau, dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, Selasa (17/9).
Laman berita cnnindonesia.com juga mewartakan. Kepolisian telah menetapkan 230 orang tersangka karhutla. Rincian para tersangka itu adalah di Riau sebanyak 47 tersangka, Sumatera Selatan 27 tersangka, Jambi 14 orang tersangka, Kalimantan Selatan dua tersangka, Kalimantan Tengah 66 tersangka, Kalimantan Barat 62 tersangka, dan Kalimantan Timur 12 tersangka. Untuk tersangka korporasi belum ada perubahan, masih lima. Lima perusahaan itu adalah PT SSS di Riau, PT Bumi Hijau Lestari di Sumatera Selatan, PT Palmindo Gemilang Kencana di Kalimantan Tengah, dan PT SAP dan Sizu di Kalimantan Barat.
Harusnya, kalau pemerintah mau serius menyelesaikan masalah Karhutla. Pemerintah mengambil langkah tegas dengan mencari penyebab utama, memberantas hingga keakar-akarnya dan memberikan sanksi tegas sehingga tidak ada lagi oknum pengusaha yang berani melakukan pembakaran.
Namun, kenyataan yang kita saksikan saat ini adalah pemerintah sepertinya abai dan membiarkan Karhutla terjadi berulang dari tahun ke tahun.
Detik.com mewartakan, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) pernah menyatakan akan mencopot penjabat yang tidak mampu mengatasi persoalan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Namun, meski telah diperingatkan, karhutla tetap saja terjadi.
Orang nomor satu di Republik Indonesia itu pun diminta menepati dan membuktikan pernyataannya. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara (Sumut), pernyataan itu hanyalah gertakan.
“Kita masih melihat ucapan Presiden sebatas gertak sambal, karena hingga kini kebakaran hutan dan lahan masih tetap terjadi,” kata Direktur Walhi Sumut Dana Prima Tarigan, Jumat (13/9/2019).
Menurut Dana, penanganan karhutla di Tanah Air dilakukan tanpa konsep penanganan yang jelas. Sebab, karhutla masih saja terulang. “Dan belum ada penindakan hukum kepada perusahaan yang melakukan,” ujarnya.
Dalam sistem sekuler demokrasi kapitalis, sangatlah wajar apabila kebijakan penanggulangan bencana karhutla tidak memberikan solusi tuntas. Sebab, sistem ini tidak berdasarkan alquran dan assunnah yang fokus pada pelayanan kepada rakyat. Sudah menjadi pemahaman umat bahwa sistem kapitalis hanya berpihak pada para pemodal.
Hutan merupakan salah satu karunia Allah swt. untuk manusia. Hutan punya peran sangat penting bagi manusia sebagai paru-paru bumi yang menghasilkan oksigen yang dibutuhkan manusia. Oleh karena itu hutan harus dijaga bersama. Hutan adalah milik umat dan kepemilikannya harus dikembalikan pada umat, tidak boleh diserahkan kepada swasta.
Selama ini pemerintah tidak fokus mencegah penyebab Karhutla. Pemerintah hanya sibuk ketika Karhutla sudah terjadi. Harusnya pemerintah paham bahwa mencegah karhutla dan kabut asap bukan hanya perkara teknis tetapi merupakan paradigma dalam hal urusan kepemilikan dan pengelolaan hutan dan lahan yang tidak dikelola oleh negara lagi. Saat ini, kepemilikan hutan dan lahan banyak dimiliki oleh individu termasuk swasta. Buktinya dari data tersangka karhutla yang ditetapkan adalah perusahaan-perusahaan besar bukan warga biasa.
Musim kemarau seringkali dijadikan tersangka terjadinya Karhutla. Padahal, ulah tangan-tangan tidak bertanggungjawablah yang sengaja memanfaatkan musim kemarau untuk membuka lahan perkebunan baru guna menekan biaya operasional perusahaan.
Tentunya hal ini tidak akan terjadi apabila pemerintah tidak memfasilitasi kapitalisasi hutan dan lahan gambut berupa pemberian hak konsesi kepada korporasi perusahaan baik kepada kebun kayu atau sawit juga developer. Oleh karena itu, sangatlah tidak adil apabila hanya menyalahkan masyarakat. Masyarakat tentunya tidak dapat bertindak lebih jauh tanpa didukung pemerintah dalam hal bantuan teknis pembukaan lahan.
Semua orang boleh memanfaatkan hutan tapi negara harus tetap mengawasinya. Aktifitas merusak hutan atau lahan milik umat dengan cara membakar secara besar-besaran harus segera dihentikan dan pelakunya harus mendapatkan hukuman berat agar memberi efek jera. Dan yang terpenting, pemerintah harus punya keberanian untuk mengambil alih hak kepemilikan hutan yang terlanjur diberikan pada swasta untuk kemudian dikembalikan pada rakyat.
*Anggota AMK
Comment