RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Bulan November kemarin, pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Berakohol kembali mencuat ke publik. Pembahasan RUU minol terus mengalami penundaan sejak pertama kali diusulkan pada tahun 2015. Banyaknya pro dan kontra dijadikan alasan penundaannya.
Alasan penolakan karena dikatakan RUU minol akan membunuh sektor pariwisata. Tidak dipungkiri pajak minuman berakohol memang tinggi. Data Kementerian Keuangan menunjukkan cukai minuman keras berkontribusi pada perekonomian negara dengan nilai sekitar Rp7,3 triliun per tahun.
Di lain sisi, Illiza Sa’aduddin Djamal anggota Partai Persaruan Pembangunan (PPP) berpendapat pentingnya aturan tersebut.
“Minuman beralkohol bisa merusak kesehatan dan berakibat fatal terhadap hilangnya akal dan sebagainya. Dalam kondisi mabuk… kan banyak kasus pemerkosaan dan kematian akibat kecelakaan lalu lintas dan kasus-kasus lainnya yang berakibat fatal.(https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54919329)
Kasus terbaru berkaitan dengan minuman berakohol adalah kriminalitas yang dilakukan remaja di Blitar. Kecanduan minol yang selanjutnya melakukan pencurian motor untuk membeli alkohol.(https://faktualnews.co/2020/12/03)
Meskipun belum ada hasil riset ilmiah, banyak tindak kejahatan bermula dari kebiasaan minum minol. Sebagaimana kata Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Awi Setiyono, selama 3 tahun terakhir 2018-2020 sudah ada 223 kasus kejahatan yang dimulai dari minuman alkohol.
Bagi negeri yang mengambil sistem demokrasi, larangan minol tentu menjadi buah simalakama. Negara tidak dapat mengingkari data banyaknya kasus kejahatan yang berawal dari mengonsumsi minol. Disisi lain negara juga tergiur dengan besarnya pajak dari sektor cukai minol tersebut. Dimana hal tersebut tidak disampaikan secara gamblang. Namun bersembunyi dibalik alasan keberagaman dan ekonomi rakyat.
Saat penggodokan RUU minol, terjadi tarik ulur yang alot. Banyak pihak akan merasa dirugikan jika masih berisi tentang larangan mengonsumsi, memproduksi, dan mengedarkan. Semua akan disandarkan pada penilaian manusia. Baik dan buruk juga bergantung pada cara pandang seseorang.
Ujung-ujungnya jalan kompromi yang akan diambil. Keputusan hanya diambil melalui suara terbanyak.
Dapat dipastikan bukan lagi RUU Larangan Minol yang disahkan, tapi berubah menjadi UU Minol. Undang-undang ini tidak akan berisi larangan mengonsumsi, memproduksi, atau mengedarkan.
Tapi hanya sebatas pengaturan atau regulasi. Siapa yang boleh mengonsumsi, siapa yang boleh memproduksi, hingga siapa yang boleh mengedarkan.
Itulah demokrasi, mementingkan ayat-ayat akal dibanding ayat Al-Qur’an. Kebenaran mutlak di tangan manusia. Kemenangan akan dipegang suara terbanyak. Dalam islam menjadikan iman sebagai dasar segala keputusan. Segala aturan berada di tangan Asy-Syari’ (pembuat hukum) yang dilaksanakan dalam sistem pemerintahan Islam.
Islam memandang kedaulatan ada di tangan Allah SWT, bukan manusia. Semua itu diambil dari akidah islam sendiri, sehingga aturan yang dibuat pun akan berdasarkan akidah Islam. Halal, haram, baik maupun buruk, ditentukan hukum syariat. Begitu pula perihal larangan minol, akan diatur sebagaimana Islam memandangnya. Ayat Allah telah jelas menyatakan minuman yang memabukkan itu haram.
Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.
Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS Al Maidah: 90-91)
Minuman berakohol jeas dapat merusak akal. Dalil naqli menunjukkan keharaman mengonsumsinya. Maka sebagai seorang mukmin, mengikuti perintah Allah adalah pilihan tepat demi meraih rida Allah SWT.
Negara yang menerapkan sistem islam akan membuat aturan mengenai minol ini. Mulai dari melarang pabrik-pabrik minol berdiri, melarang peredaran minol di kalangan masyarakat, hingga memberikan sanksi kepada orang muslim yang mengonsumsinya.
Sementara bagi nonmuslim, jika syariat mereka tak melarang penggunaan minol, diperbolehkan untuk mengonsumsinya. Hanya saja produksi, peredaran, dan konsumsi minol dibatasi di kalangan mereka, tidak boleh diperjualbelikan secara umum. Jika mereka melanggar, akan mendapatkan sanksi. Wallahu a’lam bishshawab.[]
Comment