RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Tidak dapat dipungkiri, pendidikan memang merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Dengan pendidikan yang layak, akan memperbaiki kondisi masyarakat.
Pendidikan juga merupakan sarana mencetak generasi unggul penerus bangsa. Maka, pendidikan layak dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya. Namun, bagaimana jika kondisi pandemi menjadikan dilema untuk lebih memilih pendidikan atau kesehatan?
Hingga kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) seperti dilansir harianjogya.com, tengah melakukan tinjauan dan evaluasi impelementasi kebijakan yang telah diambil. Di awal Agustus lalu kemendikbud mengumumkan secara resmi diperbolehkannya sekolah tatap muka di zona kuning. Sebagaimana yang banyak diberitakan, tidak lama setelah diberlakukan kebijakan tersebut sekolah menjadi klaster baru penyebaran corona.
Menanggapi berita tersebut melalui laman detik.com, kemendikbud menyampaikan klarifikasi jika berita tersebut tidak benar. Di karenakan orang-orang yang positif covid-19 telah terpapar virus sebelum dibukanya sekolah di zona kuning.
Pendidikan vs Kesehatan
Dibukanya sekolah tatap muka di masa pandemi bak memakan buah simalakama. Meskipun pemerintah mewajibkan penerapan protokol kesehatan yang ketat namun berhadapan dengan virus laksana berperang dengan musuh yang tak terlihat.
Terlebih bagi anak-anak yang tidak terlalu memahami bahaya dari virus covid-19. Tentu merupakan hal yang sangat berat bagi orang tua untuk membiarkan buah hatinya di lingkungan yang memungkinkan kontak dengan banyak orang.
Namun di sisi lain, pembelajaran daring juga bukan tanpa masalah. Mulai dari sulitnya mendapatkan jaringan yang mendukung, membengkaknya pengeluaran untuk membeli kuota di tengah pendapatan orang tua yang tengah menurun hingga tidak memiliki gawai yang mendukung proses pembelajaran daring.
Klarifikasi kemendikbud bahwa pasien positif covid-19 telah terpapar virus sebelum dibukanya sekolah tatap muka, bukan sebuah penyelesaian terhadap masalah.
Karena hal ini bukan sekedar persoalan pasien terpapar kapan dan di mana namun berfokus pada sekolah tatap muka bisa menjadi tempat yang berpotensi besar menyebarkan virus karena banyaknya kontak yang intens baik antar murid atau guru.
Jika nyawa manusia dianggap berharga semestinya pemerintah tidak coba-coba dalam mengambil keputusan. Seperti yang disampaikan wakil ketua komisi X DPR Abdul Fikri di laman Tribunnews.com, bahwa dalam kondisi seperti ini semestinya pemerintah fokus untuk memfasilitasi pembelajaran jarak jauh.
Islam menyelesaikan dilema
Di dalam islam terdapat konsep maqhasid syariah yang menempatkan hifdzu nafs (melindungi jiwa) merupakan prioritas kedua setelah menjaga agama. Di dalam islam nyawa manusia sangatlah berharga.
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR.Tirmidzi 1455)
Berdasarkan hal tersebut tentu islam akan sangat berhati-hati dalam setiap hal yang mengancam nyawa manusia. Dalam hal ini menghadapi pandemi virus covid-19.
Namun islam juga memandang pendidikan sebagai kebutuhan komunal primer yang wajib disediakan negara. Artinya negara wajib memastikan setiap rakyat dapat mengakses pendidikan. Akses dalam hal semua aspek baik : jenjangnya, biayanya, jaraknya, jumlahnya, fasilitasnya, dan lain-lain.
Mewujudkan akses pendidikan bagi semua rakyat tentu bukan hal yang mudah dan murah. Aturan Islam juga telah menyokong dengan adanya petunjuk pembiayaan pendidikan.
Pendidikan dibiayai oleh harta Baitul Maal, yaitu pos keuangan yang bersumber dari fai’, kharaj, dan harta kepemilikan umum. Kepemilikan umum dalam Islam meliputi kekayaan alam yang sifatnya tidak dapat dimiliki oleh perorangan. Misalnya hutan, lautan, barang tambang, dan lain-lain.
Sebagaimana sabda Rasul:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Tentu pemasukan negara dari kekayaan alam ini pasti akan melimpah. Sangat cukup untuk membiayai kebutuhan dasar pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Termasuk dalam kondisi pandemi, dimana mengharuskan dilakukan pembelajaran secara daring. Sedangkan pemerintah wajib memberikan fasilitas yang mendukung baik berupa jaringan internet,gawai ataupun kuota.
Keseriusan islam dalam pembiayaan pendidikan juga sangat terperinci. Apabila dalam kondisi mendesak kas negara mengalami kekosongan, maka negara boleh menarik pajak dalam rangka tetap membiayai infrastruktur pendidikan yang prioritas dan tetap menunaikan gaji para tenaga pendidikan.
Bahkan guna mempercepat pemenuhan kebutuhan tersebut, negara boleh berhutang kepada orang kaya sembari menunggu selesainya penarikan pajak kepada kaum muslimin. Tentu saja, hutang ini sifatnya sementara dan tidak mengandung unsur riba.
Seperti itulah islam menyelesaikan dilema antara kesehatan dan pendidikan. Pemimpin yang takut kepada Allah akan memegang erat prinsip wajibnya pemenuhan negara atas kesehatan dan pendidikan rakyat. Ia menjalankan kepemimpinannya sesuai dengan syariat islam.
Semua itu hanya bisa terwujud ketika syariat islam diterapkan secara kaaffah dan komprehensif. Wallahu ‘alam bish shawab.[]
*Praktisi pendidikan
Comment